Saya sering berpikir, agama ini katanya untuk “menyatukan” umat manusia tetapi dalam prakteknya banyak yang sebaliknya. Contoh ringan saja soal nikah. Betapa ribetnya urusan yang satu ini. Bukan hanya beda agama, dalam satu rumpun agama saja tidak gampang untuk melakukan praktek kawin-mawin.

 Bukan hanya pasangan beda agama, pasangan seagama saja hanya karena beda mazhab, aliran, kongregasi, organisasi dan sebagainya susahnya minta ampun untuk menjalankan pernikahan (“pernikahan formal” lho ya, bukan “perkawinan informal”).

Sudah bukan rahasia lagi jika pengikut Sunni susah menikahi pujaan hatinya hanya karena ia Syiah, Ibadiyah, Ahmadiyah, “Wahabiyah” dan sebagainya. Begitu juga sebaliknya. Warga Syiah pun yang beraliran Itsna Asyariyah sulit menikahi sesama Syiah hanya karena ia pengikut Syiah Zaidiyah atau Ismailiyah misalnya. Sunni juga sama.

Faksi-faksi dalam Sunni juga sulit untuk kawin-mawin jika tidak “sealiran” atau seorganisasi. Dulu, mungkin sampai sekarang, orang tua NU tidak mau menikahkah anaknya dengan Muhammadiyah. Bahkan aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) juga susah kalau mau berpacaran dengan aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) atau IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).

Bukan hanya Islam. Kristen juga sama. Jangankah Protestan dengan Katolik yang seperti serial kartun “Tom and  Jerry”, sesama rumpun Protestan juga kadang sulit menikah hanya karena “beda gereja” dan kongregasi. Kelompok Kristen Anabaptis (Mennonite atau Amish) juga sulit menikah dengan pengikut Kristen non-Anabaptis.

Begitu pula pengikut Mormon, Gereja Ortodoks Timur, Koptik dan sebagainya susah sekali menikah dengan pasangan Kristen yang bukan dari “gereja”-nya. Tuhan itu mempermudah urusan, tetapi kadang atau bahkan sering manusialah yang justru mempersulitnya. Bukan begitu? [SQ]

Artikulli paraprakApakah Ajaran Agama Hanya Empati Pada Kelompoknya ?
Artikulli tjetërUmat Beragama Memang “Aneh”
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.