Setelah beberapa bulan anakku kuliah di sebuah universitas berbahasa Inggris di Indonesia, banyak sekali cerita yang ia dapat dan bagi ke kitah.
Ia cerita kalau Bahasa Indonesia-nya sudah mulai lumayan lancar. Ia cerita kalau pernah naik KA ke bandara, bersama teman-temannya mengantar temannya ke bandara.
Ia cerita kalau sudah punya banyak “teman Indo.” Sebelumnya, teman-teman akrabnya dari Saudi, Yordania, Pakistan, Suriah, Turki, Mesir, Libenon, dlsb.
Ia cerita kalau banyak temannya yang memanggilnya “bule”, bukan karena body dan paras mukanya tetapi karena aksen Bahasa Inggrisnya. Makanya ia sering diminta tampil mewakili kelompoknya.
Ia cerita kalau banyak temannya yang mengira ia Chinese dan Kristen (padahal “wong Jowo” dan keknya sih “muslimah”). Ia juga cerita kalau mulai bisa mencuci pakaian daleman (pakaian lain “dilondriin”).
Ia juga cerita kalau sudah bisa masak mi, jika kepepet Hingga kini ia belum bisa menikmati masakan kantin di asrama. Belum bisa sepenuhnya makan nasi dan sebagian besar masakan ala Indonesia (gudek, pecel, oncom, oreg-oreg, rujak congor). Ia lebih sering beli onlen, makanan yang ia sukai (makanan ala bule, Jepang/Korea, Ngitali, dll).
Yang menarik ia cerita kalau banyak temannya yang pada saat awal bertemu memakai hijab terus tidak memakai lagi. Kampus tempat ia kuliah memang tidak mewajibkan busana tertentu bagi mahasiswa. Mereka dibebaskan memakai busana apa saja (asal sopan). Mau berhijab silakan, nggak juga silakan. Prinsipnya harus saling menghormati: yang tidak berhijab menghormati yang berhijab, yang berhijab menghormati yang tidak berhijab. Bullying dilarang.
Anak wedokku termasuk yang tidak berhijab. Mungkin karena ketularan saat sekolah TK/SD di Amerika dan SMP/SMU di Arab Saudi yang tidak ada aturan memakai hijab sehingga para siswi banyak yang tidak berhijab.
Saya sendiri juga tidak pernah memaksakannya untuk berhijab karena bagiku itu juga tidak penting. Mau berhijab silakan, nggak juga nggak apa-apa. Yang penting respek: baik pada mereka yang berhijab maupun bukan.
Karena itu anakku tak masalah berteman dengan siapa saja dari agama mana saja. Sejak di Amerika temannya dari mana-mana. Bahkan teman sekamarnya di asrama kampus saat ini pemeluk Kristen dari Manado yang sering bantu masakin dan “ngompres” kalau ia sedang sakit. Anak wedokku senang sekali digituin. Maklum ia tu agak manjah gitu kek bapake.