Beranda Opinion Bahasa Houthi dan Syiah Yaman

Houthi dan Syiah Yaman

439
0

Beberapa tahun belakangan ini, nama Houthi Yaman mencuat, tak kalah populer dengan Hamas Palestina, Hizbullah Lebanon, atau ISIS di Irak dan Suriah. Padahal sebelumnya dunia internasional tidak mengetahui sama sekali nama Houthi. Publik mulai mengenal Houthi ketika kelompok ini muncul sebagai oposisi Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh tahun 2003 dan terutama sejak 2011 saat mereka bergabung dengan kelompok lain dalam gerakan “Intifada (Revolusi) Yaman” untuk mendongkel pemerintah dan menuntut sang presiden mundur.

Di Timur Tengah (Timteng), Saleh merupakan salah satu presiden terlama. Ia menjadi presiden sejak 1977. Pertama sebagai Presiden Republik Arab Yaman (Yaman Utara) dan setelah Yaman Utara dan Yaman Selatan bersatu membentuk Republik Yaman tahun 1990, ia kembali menjadi presiden hingga tahun 2012 saat ia mundur sebagai buntut Intifada. Kini, nama Houthi kembali populer karena terlibat “konflik Laut Merah” dengan Amerika dan Inggris.

Asal-Usul Houthi

Menurut Ahmed Addaghashi, seorang profesor di Universitas Sana’a (Yaman), gerakan Houthi berakar dari Syabab al-Mu’minin, sebuah organisasi teologi-keagamaan kaum muda yang berafiliasi Syiah Zaidiyah yang bertujuan untuk mempromosikan, menyebarluaskan, dan membangkitkan ajaran aliran Islam ini ke masyarakat luas. Organisasi pemuda yang didirikan oleh keluarga Houthi ini berdiri pada awal 1990an, pasca unifikasi Yaman Selatan dan Yaman Utara. Untuk menarik kalangan remaja dan pemuda, Syabab al-Mu’minin menggelar sejumlah program seperti summer camp dengan menghadirkan sejumlah tokoh Syiah populis seperti Muhammad Hussein Fadhlallah (ulama Syiah Lebanon) atau Hassan Nasrallah (pemimpin Hizbullah Lebanon) yang berhasil menggaet puluhan ribu partisipan. Jadi, Houthi awalnya bukan kelompok politik.

Di antara figur penting dari keluarga Houthi tersebut adalah Hussein al-Houthi. Nah, nama gerakan Houthi saat ini diambil atau diadopsi oleh para pengikut dan loyalis Hussein al-Houthi ini (disebut juga “hutiyyun”) setelah ia tewas di tangan aparat pemerintah tahun 2004 karena dituduh melakukan gerakan makar dan separatisme. Nama resmi kelompok ini sebetulnya adalah Ansar Allah. Sementara itu nama “Houthi” sendiri adalah nama sebuah sub-suku atau varian dari Bani Hamdan, salah satu kelompok suku utama beraliran Syiah Ismaili yang pernah berkuasa di Yaman utara pada abad ke-12 sebelum ditaklukkan oleh Turan Shah, saudara Salahuddin al-Ayyubi (w. 1193), pemimpin Kurdi-Sunni legendaris dan pendiri Kesultanan Ayub. Dinasti Ayub hanya beberapa tahun menguasai Yaman utara. Kelompok Syiah (kali ini Zaidiyah) dari berbagai faksi, suku, dan klan kembali berkuasa hingga berabad-abad kemudian sampai tahun 1962 ketika meletus Perang Sipil yang mengakhiri dominasi “rezim Zaidiyah.”    

Semasa hidupnya, Hussein al-Houthi disinyalir pernah menjadi anggota dewan (1993-1997) Hizb al-Haqq, sebuah partai politik Islamis yang berafiliasi Syiah Zaidiyah, yang berhasil memperoleh dua kursi legislatif saat Pemilu pertama pasca unifikasi digelar tahun 1993. Pemilu berikutnya (1997), Hizb al-Haqq kehilangan kursi dewan karena hanya memperoleh 0.2 persen suara yang menyebabkan parpol ini kongsi (koalisi) dengan partai oposisi yang juga gagal memperoleh kursi legislatif di Pemilu 2003 karena cuma memperoleh 0.1 persen.   

Konflik Houthi-Pemerintah

Meskipun Hussein al-Houthi tidak memiliki hubungan dan afiliasi resmi dengan ormas Syabab al-Mukminin, ia dianggap memiliki peran sentral dalam melakukan proses militanisasi, radikalisasi, dan ideologisasi sebagian anggota organisasi ini atau pengikut Zaidiyah secara umum. Pada tahun 2003, sebagai repons atas aneksasi Amerika di Irak, Hussein al-Houthi mulai memimpin serangkaian aksi massa sambil membawa simbol-simbol (serta meneriakkan slogan-slogan) anti-Amerika dan Yahudi.

Puncaknya tahun 2004, pemerintah yang khawatir hubungan Yaman-Amerika terganggu serta kekhawatiran atas meluasnya dampak demonstrasi masa terhadap sikap anti-pemerintah akhirnya memutuskan untuk menangkap ratusan demonstran. Awalnya, Presiden Saleh berinisiatif mengundang Hussein al-Houthi untuk berdialog tetapi ia menolak dan bahkan membalasnya dengan melancarkan serangkaian penyerangan (dikenal dengan “pemberontakan Houthi” yang kelak menjelma menjadi Perang Sipil) terhadap aparat dan pemerintah pusat. Pemerintah akhirnya menangkap (dan membunuh) Hussein al-Houthi dan memburu pengikutnya.

Meski Hussein al-Houthi tewas dan aparat berkali-kali berusaha menumpas Houthi, gerakan kelompok ini tidak ikut mati. Pasca kematiannya, gerakan Houthi berurut-turut dipimpin oleh ayah almarhum (Badruddin al-Houthi, politisi dan ulama Syiah Zaidiyah) dan kemudian sepeninggal sang ayah tahun 2010, kelompok ini hingga kini dipimpin oleh Abdul Malik al-Houthi (adik Hussein al-Houthi). Meskipun pemerintah dan Houthi berkali-kali mengadakan perundingan (sebagian difasilitasi Oman dan Arab Saudi) tetapi belum menghasilkan solusi yang memuaskan kedua pihak yang berbeda sikap dan pandangan dalam melihat Negara Yaman.

Konflik dan Perang Sipil berkepanjangan antara Houthi dan pemerintah (dan sekutunya) ini kembali membuat Yaman porak-poranda (apalagi kini ditambah serangan udara AS-Inggris yang melakukan aksi balas dendam atas tindakan Houthi yang menyerang kapal-kapal komersial dan militer di Laut Merah karena disinyalir berpotensi untuk membantu Israel). PBB menyebut Yaman sebagai salah satu negara dengan tingkat krisis kemanusiaan terbesar dan terdarurat di dunia karena menyebabkan lebih dari 21.6 juta warga hidup sengsara.  

Sejumlah Faktor

Munculnya gerakan Houthi yang sudah beberapa tahun mengontrol sebagian kawasan Yaman utara merupakan akumulasi dari sejumlah faktor internal dan eksternal. Di antara faktor internal yang mendorong pendirian gerakan Houthi, menurut para elit kelompok militan ini, adalah kemiskinan dan keterbelakangan yang melanda rakyat Yaman serta korupsi yang menimpa pemerintah.

Serangkaian aneksasi Amerika di Irak (dan Afghanistan) atau Israel di Palestina juga turut andil dalam pembentukan gerakan Houthi. Pengaruh Hizbullah, salah satu faksi politik-agama militan Syiah Lebanon, juga tidak bisa diabaikan. Sejak 1990an, para elit Houthi sudah menjalin jejaring dengan petinggi Hizbullah, meskipun keduanya dari aliran Syiah yang berbeda. Di Timteng, pengaruh Hizbullah bukan hanya terbatas di Lebanon tetapi juga di kawasan lainnya. Dulu di Arab Saudi juga ada Hizbullah Hijaz, di Kuwait ada Hizbullah Kuwait, dll. Hizbullah dibentuk pada awal 1980an oleh para tokoh Syiah Lebanon pengikut mendiang Imam Khomeini untuk melawan agresi militer Israel di Lebanon. Iranlah yang mendanai dan melatih milisi Hizbullah. Iran sendiri mengirim ribuan pasukan dari Penjaga Revolusi Islam ke Lebanon untuk membantu Hizbullah.

Pendirian gerakan radikal Houthi bisa juga lantaran dipicu oleh kegagalan partai Hizb al-Haqq dalam menarik suara rakyat dalam Pemilu 1997 dan 2003. Bisa jadi kegagalan berjuang lewat jalur politik  ini mendorong Hussein al-Houthi dan loyalisnya memilih “jalur singkat” insurgensi dengan cara perlawanan fisik dan pemberontakan bersenjata untuk menguasai Yaman utara. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah keinginan untuk melakukan “revivalisme” (kebangkitan kembali) otoritas kekuasaan politik-agama Syiah Zaidiyah yang pernah berkuasa di Yaman utara selama berabad-abad pasca hengkangnya Dinasti Ayub.

Motivasi membangkitkan otoritas politik atau kekuasaan lama ini juga disinyalir yang menjadi alasan dan agenda tersembunyi Taqiyuddin al-Nabhani ketika mendirikan Hizbut Tahrir pada awal tahun 1950an, yakni untuk mewujudkan kembali kekuasaan leluhurnya (Bani Nabhan), yaitu Dinasti Nabhani (Daulah Nabahina) yang pernah menguasai sebagian wilayah Timteng (khususnya Oman) selama beberapa-abad setelah berhasil mengkudeta Bani Saljuk.

Keragaman Syiah

Houthi hanyalah sekelumit dari sekian cerita Syiah di Yaman dan Timteng pada umumnya yang beragam dan kompleks. Umat Syiah di Yaman sekitar 30-35 persen (selebihnya, sekitar 65-70 persen, adalah Sunni-Syafii). Meskipun mayoritas Syiah di Yaman adalah pengikut Zaidiyah, kelompok Syiah lain seperti Imamiyah (Itsna ‘Asyariyah) dan Ismailiyah (Ismaili) juga ada. Dominasi Zaidiyah di Yaman menjadi menarik dan “spesial” karena mayoritas Syiah di Timteng adalah pengikut Imamiyah. Selain Yaman, negara-negara Timteng dengan populasi Syiah cukup signifikan adalah Irak, Lebanon, Bahrain, dan Arab Saudi. 

Selain ketiga kelompok Syiah ini, ada beberapa varian Syiah lainnya yang tinggal di sejumlah kawasan di Timteng seperti Ismaili Nizari, Mustaali Dawoodi Bohra, Alawi, Sulaimani Bohra, dll. Di Madinah (Arab Saudi) ada sekelompok umat Syiah yang menamakan diri Nakhawila. Pengikut Zaidiyah sendiri bukan hanya tinggal di Yaman tetapi juga Arab Saudi bagian selatan seperti Najran yang berbatasan dengan Yaman.

Seperti Sunni, Syiah juga beraneka ragam dari aspek ajaran, doktrin, tradisi, kultur, etnisitas pengikut, praktik ritual, pemahaman dan wacana keagamaan, afiliasi dan ekspresi politik, dll. Misalnya, dalam konteks Houthi, meskipun kelompok ini berafiliasi Zaidiyah bukan berarti semua pengikut Syiah ini mendukung gerakan Houthi. Banyak dari mereka yang kontra terhadap visi, misi, platform, strategi, taktik, dan praktik kekerasan Houthi (misalnya merekrut anak-anak sebagai milisi, menyandra warga sipil, dll).

Akankah Houthi mampu mewujudkan mimpinya membangkitkan kembali supremasi “Dinasti Zaidiyah” di Yaman? Tanpa dukungan signifikan dari dalam negeri Yaman yang mayoritas Sunni dan dunia internasional, mimpi Houthi sepertinya hanya tinggal mimpi belaka.

Keterangan: artikel ini pertama kali diterbitkan oleh Kompas pada 21 Januari 2024.

Artikulli paraprakAmbivalensi Bela Manusia
Artikulli tjetërKristen Palestina yang Terlupakan
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini