Beranda Opinion Bahasa Kristen Palestina yang Terlupakan

Kristen Palestina yang Terlupakan

684
0

Setiap konflik Israel-Palestina meletus (sejak 1948), dunia selalu tertuju pada umat Islam dan Yahudi. Memang mayoritas masyarakat menganggap perang Israel-Palestina sebagai kekerasan agama antara Yahudi dan muslim, bukan konflik rebutan tanah dan teritori. Kelompok pro-Israel biasanya membela Yahudi dan menganggap Yahudi sebagai korban keganasan Hamas dan faksi militan Islam Palestina lainnya, sementara yang pro-Palestina membela umat Islam yang mereka pandang menjadi korban aneksasi dan kebrutalan Israel dan Yahudi tentunya.

Tumbuhnya kelompok anti-Semitisme di negara-negara Barat, khususnya Amerika dan sejumlah negara Eropa, yang marak belakangan ini merupakan bukti bahwa kelompok pro-Palestina tidak semata-mata anti-Israel tetapi juga anti-Yahudi. Begitu pula sebaliknya, kelompok pro-Israel di Barat menjadi penyumbang signifikan dalam maraknya aksi Islamopobia, meskipun fenomena ini sebetulnya sudah berlangsung lama, dan bukan dipicu oleh konflik Israel-Hamas saat ini.

Sementara itu, umat Kristen nyaris terlupakan di tengah pusaran konflik Israel-Palestina. Padahal Palestina sudah menjadi rumah umat Kristen jauh sebelum Islam lahir di abad ketujuh Masehi. Di Palestina pula Yesus dilahirkan. Pula, umat Kristen di Palestina turut mendapat “getah” alias ikut menjadi korban kekerasan Israel-Palestina sejak Perang Arab-Israel meletus tahun 1948 atau bahkan jauh sebelumnya, misalnya ketika Palestina di bawah otoritas Turki Usmani.

Perang Israel-Hamas sekarang ini juga berdampak negatif pada ribuan umat Kristen Gaza. Bukan itu saja, umat Kristen Palestina juga turut andil dalam upaya melakukan proses perdamaian antaragama, baik di tingkat elit maupun akar rumput. Tetapi sayangnya, eksistensi, realitas, dan kiprah mereka luput dari amatan publik akademik maupun non-akademik.   

Pluralitas Kristen Palestina

Sebagaimana umat Islam dan Yahudi, umat Kristen Palestina juga sangat majemuk. Yang dimaksud Kristen Palestina di sini adalah umat Kristen yang tinggal di Palestina–baik umat Kristen lokal (khususnya Arab) maupun pendatang–bukan warga Palestina yang beragama Kristen dan tinggal dimanapun, termasuk Israel dan negara lainnya atau diaspora Kristen Palestina. Menurut Bernard Sabella, pengajar di Universitas Bethlehem, sebuah kampus Katolik di Tepi Barat, sekitar 56 persen warga Palestina yang memeluk Kristen tinggal di luar Palestina.

Yang jelas tidak jelas berapa persisnya populasi umat Kristen Palestina karena sejumlah sumber menyajikan data yang berbeda. Ketika PBB melakukan survei penduduk Palestina di akhir tahun 1946, terdapat sekitar 145,000 umat Kristen atau sekitar 12 persen dari penduduk Arab Palestina. Perang Arab-Israel tahun 1948 mengakibatkan sekitar 75,000 Kristen Palestina menjadi pengungsi di sejumlah negara tetangga di Timur Tengah, khususnya yang banyak populasi Kristennya seperti Yordania, Lebanon, dan Suriah. Sebagian lainnya mengungsi di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Sedangkan sekitar 39,000 Kristen Palestina tetap tinggal di tempat semula yang kelak mejadi Negara Israel. Menurut data Badan Statistik Palestina tahun 2020, populasi umat Kristen turun menjadi 8 persen, dan terakhir diperkirakan tinggal 6 persen. Tentu saja faktor terbesar penyebab penurunan populasi Kristen Palestina karena konflik, kekerasan, dan perang Israel-Palestina yang sudah berlangsung beberapa dekade.

Kristen Palestina bukanlah sebuah kelompok agama yang tunggal dan monolitik. Mereka sangat beragam dalam berbagai hal: denominasi kekristenan, wacana dan praktik keagamaan, pandangan terhadap isu pendirian Negara Israel, atau penyikapan atas konflik Israel-Palestina. Ada sejumlah denominasi Kristen di Palestina. Mayoritas dari Gereja Ortodoks Timur, kemudian disusul Katolik, Anglikan, Lutheran, dll. Keragaman denominasi ini turut andil dalam menciptakan keragaman wacana dan praktik ritual-keagamaan.

Kemudian, meskipun ada kelompok Kristen Palestina yang pro-Israel (misalnya sejumlah Kristen Evangelis yang berafiliasi dengan gereja Amerika), mayoritas dari mereka menentang aneksasi dan kekerasan yang dilakukan rezim ultranasionalis Israel dan kelompok garis keras Yahudi. Penentangan itu disebabkan karena umat Kristen Palestina juga menjadi target dan korban aksi kekerasan yang dilakukan oleh sebagian faksi politik/agama Israel/Yahudi.

Korban Kekerasan

Tahun 2021, para pemimpin gereja Yerusalem membuat statemen bersama yang menyatakan bahwa meskipun pemerintah Israel menggaransi keamanan dan kenyamanan umat Kristen, tetapi sejumlah kelompok radikal, pemerintah, dan polisi lokal sering melakukan tindakan kekerasan verbal (intimidasi, pelecehan) dan fisik (penyerangan, pengrusakan) terhadap umat kristiani, termasuk para pendeta, pastor, serta gereja dan properti mereka. Tindakan ini, menurut statemen tersebut, dimaksudkan untuk membuat umat Kristen tidak nyaman dan akhirnya pindah dari Yerusalem dan kawasan lain di Palestina.

Fenomena kekerasan atas umat Kristen juga diungkapkan oleh sejumlah tokoh Kristen Palestina seperti Profesor Mitri Raheb (pendeta Lutheran dan pendiri Dar al-Kalima University College of Arts and Culture di Bethlehem) dan Omar Haramy (direktur Sabeel Jerusalem, sebuah organisasi teologi pembebasan akar rumput Kristen Palestina). Keduanya menyatakan otoritas Israel dan kelompok radikal Yahudi sudah lama melakukan tindakan kekerasan terhadap umat Kristen Palestina serta aksi pengrusakan dan penyerangan terhadap berbagai gereja dan institusi Kristen lainnya seperti sekolah, rumah sakit, bar, dan bahkan kuburan. Menurut keduanya, ada upaya sistematis dari pemerintah Israel dan kelompok radikal Yahudi untuk mengubah demografi Yerusalem, Gaza, dan kawasan lainnya. 

Salah satu kelompok  ekstrimis Yahudi yang sering melakukan aksi kekerasan terhadap warga Kristen Palestina adalah Lehava (akronim dari bahasa Ibrani yang berarti “Pencegahan Asimilasi di Tanah Suci”) yang dipimpin oleh Ben-Zion Gopstein. Kelompok ini mengklaim bahwa Tanah Suci Palestina adalah “milik Yahudi” dan tindakan kekerasan itu dimaksudkan untuk “merestorasi kejayaan Yahudi.” Atas nama menjaga keaslian etnis Yahudi, kelompok ini juga melarang “perkawinan eksogami” antara Yahudi dan non-Yahudi.

Sementara itu, organisasi Zionis Eteret Cohanim rajin membeli properti di Yerusalem dan kawasan lainnya untuk kemudian disisi oleh warga Yahudi. Sejak 2018, pemerintah Israel juga menerapkan pajak tinggi untuk properti-properti yang dimiliki oleh gereja sehingga menyebabkan aksi protes para pemimpin gereja. Pula, otoritas Isarel (dengan alasan atau dalih keamanan) sering melarang warga Kristen dari luar daerah (misalnya Gaza) untuk merayakan Natal di Bethlehem (hal ini sama dengan muslim Gaza yang dilarang masuk Masjid Aqsa).   

Jadi jelasnya, dalam konteks Palestina, bukan hanya muslim, umat Kristen juga menjadi sasaran dan korban aneksasi rezim politik Israel dan kekerasan sejumlah kelompok radikal Yahudi (simak misalnya, laporan penelitian bertajuk “Faith Under Occupation: The Plight of Indigenous Christians in the Holy Land” yang disponsori oleh gereja-gereja di Yerusalem bekerja sama dengan World Council of Churches dan the Middle East Council of Churchues.

Pembangunan Perdamaian

Meskipun menjadi korban kekerasan, banyak umat Kristen Palestina yang aktif melakukan gerakan pembangunan perdamaian dan toleransi antaragama. Sejumlah tokoh Kristen dan pemimpin gereja menjadi aktor penting dalam proses penciptaan koeksistensi dan proeksistensi damai di masyarakat. Hal yang sama juga terjadi di kalangan Yahudi dan muslim. Meskipun ada faksi radikal seperti Lehava, banyak umat Yahudi (misalnya kelompok Haredi) dan warga Israel yang anti-perang, pro-perdamaian, dan pendukung toleransi antaragama. Umat Islam pun demikian, tidak semua muslim Palestina mendukung ideologi dan gerakan politik Hamas, Jihad Islam, dan lainnya.

Selain Pdt. Mitri Raheb yang mendapat penghargaan “Bintang Bethlehem” dari Presiden Mahmoud Abbas, tokoh Kristen ternama lain yang aktif melakukan perdamaian adalah Abuna Ilyas Syakur (Elias Shacour, l. 1939) atau “Romo Syakur,” seorang sarjana, penulis, pendidik, aktivis dialog antaragama, pastor Gereja Katolik Melkite, dan Uskup Agung Galilee (sekarang sudah pensiun). Karena kompleksitas sejarahnya, Romo Syakur yang juga penulis buku Blood Brothers: The Dramatic Story of a Palestinian Christian Working for Peace in Israel sering menggambarkan dirinya sebagai seorang “Arab, Kristen, Palestina, dan Israel.”

Sepanjang hidupnya, ia dedikasikan untuk merajut relasi harmoni antara umat Kristen dan pemeluk agama lain, khususnya Islam, Yudaisme, dan Druze yang memiliki pengikut signifikan di Palestina dan Israel. Beragam aktivitas perdamaian, baik formal maupun informal, telah ia lakukan dari berbagai level: akar rumput, nasional, maupun internasional.

Upaya pembangunan perdamaian juga ia lakukan melalui dunia pendidikan untuk menyasar generasi muda. Merasa banyak anak yang terlantar pendidikan mereka serta kekhawatiran tumbuhnya sektarianisme, eksklusifisme, militanisme, dan sentimen keagamaan di kalangan generasi muda akibat konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan, Romo Syakur, pada tahun 1982, mendirikan Prophet Elias High School yang dibangun di atas fondasi toleransi dan respek terhadap pluralitas etnis dan agama.

Sekolah lintas-agama ini didesain sebagai tempat pembelajaran bersama para siswa dari berbagai agama dengan spirit saling menghormati keunikan dan kekayaan masing-masing ajaran, tradisi, dan budaya. Kelak, sekolah ini berubah nama menjadi Mar Elias Educational Institution dari TK hingga universitas dengan ribuan siswa dan mahasiswa dari berbagai etnis dan agama. Di ruangan lembaga pendidikan ini, terpampang simbol-simbol Kristen, Islam, Yahudi, dan Druze, serta tokoh-tokoh perdamaian dari berbagai agama dan suku-bangsa. Semua itu menunjukkan prinsip dan komitmen Romo Syakur dalam pembangunan perdamaian antaragama yang berbasis pada nilai dan ajaran fundamental agama yang ia yakini memiliki tujuan baik dan positif bagi umat manusia. 

Upaya baik dan positif Romo Syakur tidak selalu mendapat respons dan sambutan baik dan positif dari pemerintah maupun masyarakat. Selalu saja ada orang dan kelompok yang mencurigai dan bahkan melakukan aksi kekerasan verbal dan fisik baik terhadap dirinya, gereja, maupun sekolah yang ia dirikan. Tapi ia tak bergeming. Meskipun usianya sudah uzur (84), ia terus bergerak tanpa kenal lelah untuk “menyalakan lilin di tengah kegelapan”: merajut kembali relasi antarkelompok agama yang terkoyak akibat konflik serta menebarkan benih-benih perdamaian di masyarakat.

Keterangan: artikel ini pertama kali diterbitkan oleh Kompas pada 30 Desember 2023.

Artikulli paraprakHouthi dan Syiah Yaman
Artikulli tjetërMusik di Indonesia; Sejarah dan Perkembangan Kontemporer
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.