Beranda Facebook Post Lebaran Yes, Puasa No

Lebaran Yes, Puasa No

1681
0
Banyak orang di kampungku dulu (mungkin hingga kini) yang berprinsip “lebaran yes, puasa no”. Merayakan lebaran bagi mereka jauh lebih penting ketimbang puasa. Sependek yang saya ingat, tidak banyak orang kampung dulu yang berpuasa. Mungkin hanya dari keluarga kami (orang tuaku) plus sebagian kecil yang lain yang selalu mentradisikan berpuasa. 
Almarhum ayah, yang semasa hidupnya mengabdi sebagai seorang modin, imam masjid/musholla, dan tokoh agama di kampung, adalah sosok penggemar puasa dan hobi tirakat. Bukan hanya di bulan Ramadan saja tapi juga di bulan-bulan lain. Puasa Senin-Kamis, puasa Sura (poso Suro), dan aneka jenis puasa lain sudah biasa ia lakukan. Maklum, ia pengikut “Islam Jawa” totok, dan puasa merupakan ritual yang sangat penting bagi orang Jawa yang mengikuti ajaran Kejawen. Bukan hanya Islam saja. 
Tapi bagi sebagian besar warga kampung, puasa bukan hal penting. Apakah mereka menganut Islam? Ya. Tapi ya itu “Islam KTP” (Islam nominal). Mereka menjadi “Muslim” bukan karena membaca kalimat syahadat tetapi karena di kolong agama di KTP mereka tertulis “Islam”. Saya jamin, mayoritas warga Musim di kampung itu tidak tau kalimat syahadat dan tidak bisa melafalkannya. 
Mereka mengaku Islam dan menuliskan kata “Islam” di kolong KTP mereka karena lebih banyak alasan atau pertimbangan pragmatis saja bukan karena “mendapat hidayah” atau persoalan akidah / keyakinan bahwa Islam sebagai agama yang paling benar. Sama sekali bukan. Misalnya, supaya tidak diledek oleh perangkat desa; kalau mati kelak jasadnya ada yang mengurus dan menguburkan; agar bisa bersosialisasi dengan beragam tradisi dan budaya setempat seperti mantenan, tahlilan, ruwahan, sedekahan, dlsb; supaya bisa membaur dengan warga lain; dlsb. 
Singkatnya, kalau warga kampung memilih Kristen, Hindu, atau Budha dan lainnya nanti mereka akan kerepotan bersosialisasi di masyarakat dan berpartispasi dalam berbagai acara atau aktivitas sosial-keagamaan karena tidak ada tokoh pendeta, pandita, pastor, atau bikhu di kampung. 
Tetapi meskipun mereka memeluk Islam bukan berarti mereka paham dengan seluk-beluk keislaman. Sebagian besar warga kampung (mungkin 99,9%) babar blas tidak paham dengan seluk-beluk keislaman. Mereka tidak bisa membaca Al-Qur’an (apalagi membaca dengan tartil dan tajuwid yang benar), tidak menguasai tata-cara salat dan ibadah lain, tidak tau tentang apa itu “pekih” (fiqih) dan Syariat Islam, dan seterusnya. Ada yang tahu tapi dikit-dikit saja. Dikit sekali. 
Oleh karena itu tidak heran kalau mereka tidak memandang puasa sebagai hal penting dan wajib dilakukan sebagai seorang Muslim/mah. Begitu pula dengan salat, zakat dan rukun Islam lain. Yang menarik adalah warga kampung biasa saja hidup santai. Mereka yang menjalankan puasa tidak membully yang tidak berpuasa. Bahkan saat ngobrol bareng dengan orang yang berpuasa, yang tidak puasa santai saja makan, minum, dan ngebul merokok sambil bercengkerama dan guyon cekikikan.
***
Jika mereka tidak memandang penting puasa tapi mereka menggap penting lebaran. Merayakan lebaran adalah sebuah kewajban bagi mereka. Karena itu mereka berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan dan mengumpulkan uang agar bisa merayakan dan memeriahkan hari lebaran itu. Misalnya, untuk membeli baju baru (termasuk untuk anak-istri), belanja aneka kebutuhan lebaran di pasar (makanan, minuman, atau bahan-bahan masak lain untuk dihidangkan saat lebaran), memotong ayam, dlsb. Pada saat hari lebaran itu bisa dipastikan bau orang masak ayam membahana dimana-mana. 
Mereka juga sempatkan untuk melakukan ritual seperti mandi dini hari (dulu ritual mandi dilakukan di sawah tapi sekarang cukup di kampung atau di rumah sendiri) menjelang salat Id dan tentu saja sembahyang Idul Fitri. Masjid yang biasanya kosong melompong berubah menjadi penuh-sesak oleh warga yang salat Id. Bisa dipastikan mereka salat Id tapi tidak salat Subuh. Saya tau itu karena saya dulu mantan imam salat. 
Padahal, salat Id itu hukumnya sunah. Yang wajib adalah salat Subuh. Tapi bagi warga kampung, sunah-wajib itu tidak penting. Bagi mereka, salat Id adalah bagian dari rangkaian tradisi lebaran (bukan ibadah/syariat Islam) di kampung yang wajib untuk dilakukan. Pada saat salat Id itu nanti mereka saling bersalam-salaman dan bermaaf-maafan yang juga bagian dari tradisi lebaran di kampung. Terakhir, sebagai rangkaian tradisi lebaran, mereka saling mengunjungi saudara dan orang-orang yang dituakan di kampung untuk berhalal bihalal. Kalau lebaran sudah kelewat, mereka “kumat” lagi. LOL.
Artikulli paraprakTerrorism and Counter-terrorism in Saudi Arabia and Indonesia
Artikulli tjetërTradisi Lebaran Masyarakat Sunni dan Syiah di Arab Saudi
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini