Sejak pertengahan Juli lalu, hubungan Israel dan Palestina kembali memanas. Pemicunya adalah Israel memasang kamera CCTV dan menggunakan metal detector di pintu masuk Masjid al-Aqsha guna mengawasi setiap orang yang memasuki kompleks masjid yang menjadi salah satu simbol kesucian umat Islam itu. Protes massa dan penembakan pun tak terelakkan.

Lagi dan lagi korban pun, baik di pihak tentara Israel maupun masyarakat sipil Palestina, kembali berjatuhan. Sejak deklarasi pendirian Negara Israel pada 14 Mei 1948, sudah tak terhitung lagi aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Meskipun tahun 1948 bukanlah awal dari drama kekerasan di kawasan ini. Upaya damai terus diserukan tetapi perdamaian tak kunjung datang.     

Dan seperti biasa, setiap terjadi tragedi dan kekerasan antara Israel dan Palestina, sejumlah kelompok Muslim di Indonesia selalu mengarahkan jari telunjuk mereka kepada “pihak Yahudi” tanpa kecuali sebagai biang keroknya tanpa melihat secara jernih kompleksitas problem dan persoalan yang menjadi pemicu konflik, ketegangan, dan kekerasan. Ironisnya, sejumlah pihak di Indonesia berusaha menggiring konflik Israel-Palestina menjadi gerakan anti-Yahudi yang kebablasan.

Padahal, realitasnya, banyak warga Arab yang menjadi warga negara Israel, dan banyak orang Yahudi yang anti-Zionisme dan bahkan tidak menyetujui pendirian Negara Israel modern seperti yang dilakukan oleh kelompok Yahudi Heredi dan Lev Tahor.

Jika kaum Muslim di Indonesia lebih cenderung membela Palestina yang mereka anggap sebagai “representasi Islam”, maka umat Kristen condong mendukung Israel lantaran ada legitimasi teologis tentang seruan pembelaan atas Yahudi dalam Kitab Suci mereka. Kedua klaim ini sama-sama tidak valid karena konflik itu sesungguhya tidak ada kaitannya dengan identitas keislaman dan keyahudian.       

Tulisan ini tidak bermaksud menganalisis konflik Israel-Palestina yang sudah sering diulas dan ditulis oleh banyak pihak tetapi hendak membahas tentang bias-bias gerakan anti-Yahudi di Indonesia dengan harapan supaya masyarakat, khususnya umat Islam, menjadi lebih bijak dan adil dalam menilai masalah kekerasan Israel-Palestina. Harapanku tentu saja umat Kristen juga harus lebih fair dan bijak dalam melihat dan menganalisis konflik Israel-Palestina ini.

***

Dulu pernah ada sebuah ironi. Di saat Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima “World Statesman Award” dari sebuah lembaga Yahudi berbasis di New York, Appeal of Conscience Foundation, karena dinilai telah berjasa dalam mempromosikan toleransi beragama dan kebebasan beribadah di Indonesia, pada saat yang bersamaan, sebuah Sinagoge (tempat ibadah umat agama Yahudi) di Surabaya justru diratakan dengan tanah.

Tempat ibadah yang masuk daftar “Bangunan Cagar Budaya” berdasar Surat Keputusan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surabaya No. 646/1654/436.6.14/2009 tertanggal 16 April 2009 ini telah dihancurkan oleh sekelompok massa tak bertanggung jawab. Nota protes kepada pemerintah yang dipandang telah lalai dalam melestarikan warisan budaya bangsa sudah berulang kali dilayangkan oleh pihak Sjarikat Poesaka Soerabaia (SPS). Tetapi hasilnya nihil. Surat pun tidak pernah digubris.

Perlu diketahui bahwa sinagoge di Surabaya yang dulu tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja tetapi juga tempat pendidikan dan pertemuan umat Yahudi ini merupakan bangunan langka di Indonesia. Menurut sejarawan Rotem Kowner dari University of Haifa, Israel, yang telah melakukan penelitian dan studi sejarah komunitas Yahudi Indonesia, sinagoge seluas 2,000 m2 ini sudah ada sejak zaman Belanda.

Selain Sinagoge yang berlokasi di Jalan Kayun 4-6 ini, juga terdapat sebuah “menoreh Yahudi” di Manado serta sejumlah makam yang bertuliskan nama-nama Yahudi di batu nisannya. Makam, sinagoge, dan menoreh ini merupakan “saksi bisu” dan bukti tak terbantahkan tentang eksistensi komunitas Yahudi Indonesia yang, berdasarkan catatan sejarah, sudah ada sejak beberapa abad silam.

Dalam tulisannya, “The Japanese Internment of Jews in Wartime Indonesia and its Causes” (Indonesia and the Malay World, 2010), Rotem Kowner menuturkan bahwa pada waktu Perang Pasifik (1941-45) di zaman kolonial Jepang, pengikut Yahudi Indonesia berjumlah 3,000-an sehingga mencatat Indonesia sebagai rekor negara dengan komunitas Yahudi terbesar di Asia Tenggara.

Eksistensi Yahudi mendapat momentum ketika Belanda pernah melegalkan Yahudi sebagai salah satu agama di East Indies. Pengakuan pemerintah Belanda itu diwujudkan dalam pemberian ijin mendirikan sinagoge di Surabaya tadi.

Tetapi sayang jumlah pengikut Yahudi terus berkurang sejak Indonesia merdeka. Pada tahun 1957, jumlah mereka hanya sekitar 450 saja. Jumlah ini terus menyusut seiring dengan tidak diakuinya agama Yahudi sebagai “agama resmi” negara.

Kini, karena faktor keamanan, para pengikut Yahudi di Indonesia susah untuk diidentifikasi. Sebagian besar pengikut Yahudi di negeri ini, seperti dituturkan oleh Benjamin (Meyers) Verbrugge, memilih diam dan melakukan aktivitas ibadah di rumah masing-masing, ketimbang secara terang-terangan memproklamirkan diri identitas keyahudian mereka yang bisa mengundang resiko.

***

Sayang, sinagoge bersejarah ini telah dimusnahkan oleh sejumlah kelompok massa intoleran. Penghancuran sinagoge ini semakin menambah daftar hitam gerakan anti pluralisme dan toleransi agama di Indonesia yang tidak hanya menimpa warga Kristen, Ahmadiyah, Syi’ah, Baha’i, dan sejumlah pengikut sekte lokal dan aliran tarekat, malainkan juga Yahudi.

Ketua MUI Jawa Timur waktu itu, H. Abdusshomad Buchori, seperti dilaporkan situs Rakyat Merdeka Online (RMOL), berdalih penutupan dan penghancuran sinagoge di Surabaya ini sebagai aksi protes sekaligus solidaritas umat Islam atas perlakuan buruk Israel terhadap warga Muslim Palestina.

Sejak beberapa tahun silam, MUI dan sejumlah kelompok Islam garis keras di Jawa Timur memang sudah bersikeras menutup sinagoge ini dengan alasan karena Yahudi adalah musuh Islam.

Aksi vandalisme dan pengrusakan terhadap Sinagoge itupun sudah dilakukan berulang kali oleh sejumlah ormas Islam radikal dan intoleran. Sementara itu pihak pemerintah, dalam hal ini Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kota Surabaya, berdalih, seperti biasa, sinagoge ini tidak memiliki ijin mendirikan bangunan (IMB) sehingga “halal” untuk dimusnahkan.

Seribu alasan bisa dicari dan direkayasa untuk menihilkan kelompok yang tidak disukai. Tetapi aksi penghancuran sinagoge di Surabaya yang konon dilakukan sebagai bentuk protes atas kekejaman Israel di Palestina itu tentu bukan sekedar perbuatan anarkis dan pengrusakan cagar budaya semata tetapi juga sebuah tindakan bodoh, konyol, dan sia-sia.

Warga Yahudi Indonesia, jika masih tersisa, tentu tidak ada sangkut-pautnya dengan kebijakan politik pemerintah Israel. Jangankan komunitas Yahudi Indonesia—sekali lagi, jika masih ada—para pentolan Yahudi di Israel pun sering tidak berdaya menghadapi politik garis keras rezim konservatif Benjamin Netanyahu.

***

Perlu diketahui, tidak semua warga Yahudi, baik yang di Israel maupun di manca negara, mendukung gerakan Zionisme serta pro kebijakan perang atas Palestina. Seperti dituturkan oleh David Landy, seorang akademisi berdarah Yahudi Irlandia dan mantan ketua Ireland Palestine Solidarity Campaign, dalam bukunya Jewish Identity and Palestinian Rights: Diaspora Jewish Opposition to Isarel, banyak faksi Yahudi—rabbi, akademisi, aktivis, politisi, dlsb—di berbagai negara yang anti “politik rasis-nasionalis” Zionisme dan menentang kebijakan politik dan aksi brutalisme yang diterapkan sejumlah kelompok garis keras pemerintah Israel dan kaum agama Yahudi radikal.

Alih-alih menyokong aneksasi Israel atas Palestina, kelompok pro-perdamaian Yahudi ini justru lebih memilih membela dan mengadvokasi hak-hak politik rakyat Palestina sambil terus mengupayakan perdamaian kedua negara. Di Amerika, negara yang selama ini dipandang sebagai pendukung utama otoritas Israel, juga terdapat banyak organisasi dan tokoh Yahudi yang anti-Zionis dan pro-Palestina serta getol membangun perdamaian kedua negara sebut saja, misalnya, Marc Gopin, Yehezkel Landau, Peter Ochs, Robert Eisen, dan masih banyak lagi. 

Penting juga untuk dicatat bahwa tidak semua warga Israel itu beretnik Yahudi. Berdasarkan catatan Badan Statistik Israel, sekitar 20,4% penduduk Israel adalah warga Arab yang kebanyakan beragama Islam. Warga Arab Israel ini mengidentifikasi diri mereka sebagai “bangsa Arab yang berkewarganegaraan Israel.” 

Sebagian warga Arab-Israel ini juga bergabung di kesatuan militer pemerintah Israel yang tentu saja ikut andil dalam penyerangan dan tindakan kekerasan terhadap warga sipil Palestina.

Warga Palestina juga tidak semuanya Muslim. Ada kelompok Druze, Samaritan, dan umat Kristen dari berbagai denominasi. Palestina memang daerah asal-mula umat Kristen dan tempat Yesus dilahirkan sehingga wajar jika banyak warga Kristen disini.

Proses konversi ke Islam berlangsung sejak abad ke-7 ketika kaum Muslim menguasai kawasan ini. Berbagai catatan sejarah juga menunjukkan bahwa kaum Muslim Palestina merupakan keturunan umat Kristen, Yahudi, dan pemukim awal di Levant selatan.

Karena menjadi bagian dari Palestina, maka tidak heran jika kelompok non-Muslim ini juga turut menjadi korban kekerasan Israel, dan karena itu mereka juga bekerja sama dengan kaum Muslim Palestina untuk mengakhiri perang seperti yang dilakukan oleh tokoh Katolik ternama Uskup Abuna Elias Chacour yang mengabdikan sepanjang hidupnya untuk proses rekonsiliasi dan perdamaian Palestina-Israel.

Jelasnya, konflik Israel-Palestina itu sangat kompleks, tidak bisa dengan serta-merta dipandang melulu sebagai peperangan Yahudi-Muslim. Kekerasan ini lebih tepat dibaca sebagai perang antara kubu ektremis Palestina (yang antara lain diwakili Hamas) dan kelompok garis keras Israel (katakanlah, “faksi Benjamin Netanyahu”).

Dengan demikian tindakan pemusnahan sinagoge dan gerakan anti-Yahudi tanpa kecuali yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam di Indonesia merupakan tindakan fanatik yang konyol karena (1) mengabaikan kompleksitas dan dinamika sejarah sosial-politik konflik Palestina-Israel, (2) mengabaikan atau tidak menghargai koalisi global antar-agama, termasuk Yahudi-Muslim, dalam menentang terorisme dan kekerasan atas warga sipil baik yang dilakukan oleh Hamas maupun otoritas Israel, dan (3) mengabaikan pluralitas masyarakat Israel maupun Palestina.

Aksi vandalisme terhadap sinagoge dan aksi pengutukan yang heroik terhadap kaum Yahudi hanya akan menguntungkan sejumlah kelompok ekstrimis agama dan petualang politik belaka yang hobi mengambinghitamkan non-Muslim dengan memobilisasi masa umat Islam yang sesungguhnya tidak tahu-menahu tentang “jeroan” politik dan dinamika konflik Israel-Palestina. Wallahu a’lam.  

Sumber : liputan6.com

Artikulli paraprakReligious Violence and Conciliation in Indonesia
Artikulli tjetërChristianity and Militancy in Eastern Indonesia: Revisiting the Maluku Violence
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.