Apakah Anda merasakan kalau budaya atau tradisi silaturahmi di Indonesia kini sudah mulai meredup? Saya merasakannya. Fenomena ini sebenarnya bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga Saudi tempat saya tinggal saat ini, dan bahkan di seluruh kawasan Arab Teluk terjadi gejala dan fenomena serupa. Mungkin juga di kawasan dan masyarakat lain terjadi gejala dan fenomena yang sama.  

Kata “silaturahmi” (atau kadang-kadang disebut juga “silaturahim”) yang dipakai di Indonesia berakar dari Bahasa Arab, yaitu “shilah” yang berarti hubungan atau relasi, dan “rahim” yang berarti “kerabat” atau “kasih-sayang”. Jadi kata “silaturahmi” atau “silaturahim” bisa dimaknai sebagai hubungan kekerabatan atas dasar kasih-sayang.

Menariknya, masyarakat Arab sendiri tidak mengenal istilah “silaturahmi” sebagai sebuah praktik kebudayaan, meskipun mereka mengetahui ada sejumlah doktrin keislaman yang berisi tentang pentingnya menjalin persaudaraan dengan sesama umat Islam.   

Tidak bisa dipungkiri, dewasa ini tradisi silaturahmi telah mengalami pengayaan, perubahan, pengikisan, atau pergeseran bentuk. Meskipun di desa-desa, tradisi silaturahmi ala konvensional-tradisional dengan keluarga dan kerabat masih cukup terpelihara (meskipun dengan kualitas berbeda dengan masa lampau), di kota-kota, khususnya di kota-kota besar-metropolitan, tradisi ini cukup lumer dan bergeser.

Perbedaan yang cukup mencolok misalnya dulu silaturahmi itu sangat tulus, hangat, dan penuh “emosional” diiringi dengan “sujud sungkem” anak terhadap orang tua atau berpelukan hangat antar-keluarga yang tidak jarang diiringi dengan tangisan dan permintaan maaf yang sangat ikhlas.

Kini, saya melihat, silaturahmi, di sebagian masyarakat tentunya tidak semuanya, menjadi semacam “komoditi politik” atau “medium basa-basi” atau “gula-gula” menurut orang Papua yang serba kurang kualitasnya: kurang hangat, kurang dekat, dan kurang tulus. 

Sejumlah Faktor yang Mempengaruhi Merosotnya Budaya Silaturahmi

Ada banyak faktor yang turut memberi kontribusi pada lumernya budaya silaturahmi antarangggota keluarga, antarteman, maupun antarumat manusia pada umumnya seperti modernisasi, industrialisasi, perkembangan teknologi, Internet, ormas, parpol, agama, dlsb.

Perkembangan teknologi telekomunikasi misalnya telah menyebabkan intensitas perjumpaan fisik menjadi menurun drastis beralih menjadi “silaturahmi udara”. Selanjutnya, teknologi Internet dan medos (media sosial) kini membuat banyak orang (baik laki-laki maupun perempuan, tua-muda, orang desa atau warga kota, orang kampus atau bukan) semakin intim dengan aneka gadjet dan dunia virtual.

Dampak langsung dari perkembangan teknologi ini, perjumpaan fisik untuk membangun dan mempererat tali-persaudaraan menjadi semakin terkisis dan berkurang. Untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga, teman atau saudara yang tinggal jauh disana, masyarakat dunia modern saat ini cukup menelpon dengan ponsel atau skype atau cahtting via Facebook dan WhatsApp yang dianggap jauh lebih praktis dan ekonomis.

Dengan kata lain, dengan perkembangan Internet dan medsos, “silaturahmi fisik” yang dulu dipraktikkan masyarakat kemudian berubah menjadi “silaturahmi virtual”.

Faktor lain yang turut mempengaruhi terkikisnya budaya silaturhami adalah politik. Sudah bukan rahasia lagi jika pilihan-pilihan politik yang berbeda bisa mengakibatkan rontoknya jalinan silaturahmi yang sudah dibangun lama. Lihat saja di Indonesia.

Hanya karena berbeda pilihan partai politik atau pilihan kandidat presiden, gubernur, dan walikota/bupati, banyak teman atau bahkan saudara sekeluarga kemudian berubah menjadi “lawan”. Politik dengan begitu bisa “menyatukan” tetapi pada saat yang sama juga bisa membuat umat manusia cerai berai.

Saya mengamati faktor politik sebagai pembelah masyarakat yang menyebabkan melorotnya nilai-niai silaturahmi ini semakin menguat intensitasnya justru di era reformasi pasca rezim Suharto ini. Di zaman Pak Harto dulu (bahkan sejak zaman Orde Lama), masyarakat memang sudah terbelah karena perbedaan pilihan politik.

Tetapi perpecahan itu sifatnya masih sangat sederhana, tidak serumit dewasa ini. Sekarang, bukan hanya perbedaan pilihan parpol yang jumlahnya bejibun itu yang menyebabkan turunnya budaya silaturahmi, tetapi juga perbedaan pilihan calon kepala negara atau kepala daerah.

Sejak Pilpres 2014 yang mengantarkan Joko Widodo sebagai Presiden RI, khususnya, fenomena segregasi masyarakat dan merosotnya kohesi sosial semakin tampak nyata. Kondisi ini semakin meruncing dan memburuk sejak Pilgub Jakarta yang menyebabkan jalinan pertemanan dan ikatan persaudaraan menjadi merosot.

Pilgub DKI 2017 adalah yang terburuk dalam sejarah Pilkada di Indonesa karena sejumlah kelompok politik-bisnis-agama, demi ambisi untuk memenangkan kandidat mereka, bersatu padu menggelorakan kampanye dengan mengeksploitasi simbol-simbol dan isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan) yang memalukan.      

Agama juga sama. Ia juga menjadi faktor penyebab mengikisnya budaya silaturahmi ini. Menjamurnya berbagai institusi dan kelompok keagamaan di Indonesia, tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan budaya toleransi dan silaturahmi.

Seperti partai politik, institusi dan grup berbasis agama juga berpotensi menciptakan ruang-ruang tertutup, eksklusif dan intoleran yang penuh-sesak dengan semangat fanatisme, etnosentrisme, dan chauvinisme.

Sejumlah kelompok agama Islam konservatif bahkan menyerukan tidak penting menjalin silaturahmi dengan orang tua, keluarga, tetangga, kerabat, apalagi masyarakat umum karena, bagi mereka, yang utama dan paling utama adalah membangun “silaturahmi dengan Tuhan”, bukan dengan umat manusia. Alih-alih menjaga silaturahmi, mereka bahkan menuding silaturahmi sebagai “bid’ah” atau bentuk penyimpangan dari ajaran Islam.

Akar Budaya Silaturahmi di Indonesia

Bagi umat manusia, menjalin hubungan keluarga atau kekerabatan atau silaturahmi adalah sesuatu yang bersifat “natural” (alami) sekaligus “cultural” (bersifat budaya atau “konstruksi sosial” sebuah masyarakat). Alami karena setiap insan mempunyai naluri untuk berasosiasi dengan kerabat yang memiliki hubungan darah (blood ties).

Jangankan manusia yang dalam antropologi disebut sebagai “human primates”, kelompok “non-human primates” saja seperti apes, chimps, baboon, atau “binatang sosial” lain memiliki naluri atau kecenderungan alamiah untuk “bersilaturahmi” dengan kerabat.

Selain bersifat natural, silaturahmi juga merupakan sebuah “budaya” yang dikonstruksi atau dibentuk oleh sebuah komunitas atau masyarakat tertentu, baik masyarakat non-industri-tradisional maupun masyarakat industri-modern melalui sebuah proses yang disebut dengan “enkulturasi”, yakni pengenalan sebuah tradisi, tindakan, praktik, atau kebiasaan baik dari “generasi tua” ke “generasi muda” yang berlangsung secara turun-temurun dalam sebuah keluarga, komunitas, atau masyarakat.

Itu artinya bahwa silaturahmi sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat setempat di Indonesia (dan dimana saja), bukan sesuatu yang bersifat “asing”. Bahwa dalam perkembangannya, ada “unsur-unsur luar atau asing” (seperti tradisi Arab, Barat, Cina, Islam, Kristen, Konghucu, Budha, dlsb) yang turut mewarnai dan memperkaya aneka ragam jenis silaturahmi di Indonesia.

Contoh dari budaya atau tradisi lokal silaturahmi di Indonesia, misalnya, pela-gandong di Maluku, yaitu sebuah institusi sosial-budaya masyarakat lokal di Ambon dan Maluku Tengah untuk merekatkan tali-kekerabatan dan relasi persaudaraan bahkan bukan hanya dalam “keluarga kecil” tetapi juga dalam “keluarga besar” antardesa atau antarsuku.

Di Jawa juga ada ungkapan “ngumpulke balung pisah,” yakni sebuah upaya untuk merekatkan kembali relasi kekerabatan dan kekeluargaan yang mungkin sudah mulai lumer karena diserbu oleh parpol, ormas, atau agama yang berlainan.

Makna Silaturahmi Bagi Kehidupan Berbangsa

Di tengah mengikisnya budaya silaturahmi ini, perlu ada upaya serius untuk membangkitkan kembali dan merawat “tradisi Nusantara” yang sangat baik ini. Perlu menanamkan kembali kepada masyarakat, khususnya generasi muda, tentang pentingnya merawat keutuhan anggota keluarga dan nilai-nilai kekeluargaan.

Nilai-nilai keagamaan khususnya tentang pentingnya silaturahmi bisa juga “diinjeksikan” ke masyarakat. Dalam Islam misalnya disebutkan dengan jelas kalau silaturahmi adalah salah satu “jalan menuju surga”. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad juga menegaskan tentang “tidak masuknya surga bagi siapa saja yang memutus hubungan silaturahmi”.

Ini menunjukkan betapa pentingnya masalah silaturahmi dalam Islam. Meski begitu, ajaran-ajaran normatif saja tidak cukup, perlu ada berbagai upaya atau cara kreatif agar tetap bisa menjaga keutuhan keluarga dan memelihara persaudaraan, misalnya saja metode retreat, kemah keluarga, makan-makan bersama dalam even-even tertentu. Semua itu sangat bermanfaat untuk terus menjalin silaturahmi.

Spirit silaturahmi bukan hanya penting bagi individu dan keluarga saja tetapi juga bagi masyarakat atau bangsa secara umum. Bayangkan jika kita (“warga Indonesia”) memandang semua warga negara di Tanah Air ini—apapun partai, etnis, ormas, agama, dan bahasa mereka—sebagai sebuah “keluarga” atau “kerabat” yang harus dibantu dan dikasih-sayangi, maka dampaknya akan sangat dramatis dan revolusioner bagi perubahan sosial masyarakat dan bangsa ini.

Salah satu makna penting silaturahmi misalnya sebagai “mekanisme rekonsiliasi” yang sangat efektif bagi upaya penyelesaian berbagai kekhilafan, perselisihan, ketegangan, atau konflik—baik antar anggota keluarga atau masyarakat—yang terjadi di masa silam.

Silaturahmi juga bisa dijadikan sebagai sarana atau medium relasi sosial untuk memecahkan perbagai kebuntuan dan problem ruwet di dalam keluarga maupun masyarakat secara umum. Semoga bermanfaat.    

Sumber : liputan6.com

Artikulli paraprak#QUOTE 1
Artikulli tjetërArabs and “Indo-Arabs” in Indonesia: Historical Dynamics, Social Relations and Contemporary Changes
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.