Suatu saat saya pernah membaca beberapa buku yang mengritik bangunan pemikiran “Islam liberal” atau “Islam progresif” terutama yang disuarakan oleh para intelektual-aktivis dari Jaringan Islam Liberal (JIL). Di antara buku yang saya baca adalah Bahaya Islam Liberal (ditulis Hartono Ahmad Jaiz), Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal (karya Adnin Armas), kemudian Islam Liberal: Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya karangan Adian Husaini.
Isi buku-buku itu pada dasarnya sama saja, yakni menganggap pemikiran liberal Islam adalah “sesat dan menyesatkan”. Untuk mengukuhkan pendapat sekaligus mempertahankan (baca, membenarkan) argumentasi, mereka pun mengutip sejumlah ayat dan hadis Nabi. Di antara hadis yang langganan dikutip adalah sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab al-Jami’ al-Shahih. Bunyinya: “Pada akhir zaman, akan muncul sekelompok anak muda usia yang bodoh akalnya. Mereka berkata menggunakan firman Allah, padahal mereka telah keluar dari Islam, bagai keluarnya anak panah dari busurnya. Iman mereka tak melewati tenggorokan. Di manapun kalian menjumpai mereka, bunuhlah. Orang yang membunuh mereka akan mendapat pahala di hari kiamat.”
Padahal jika ditelisik sejarah hadis itu diwartakan Ali ketika hendak menumpas para pembangkang kaum Khawarij, yakni kelompok yang sangat literal dalam memahami Al-Qur’an dan menilai telah kafir. Khawarij adalah sekte dalam Islam yang dikenal mudah mengafirkan sesama Muslim dan tak segan membunuh Muslim yang mereka vonis kafir.
Komunitas jenis inilah yang dimaksud dalam hadis itu seperti diterangkan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari, sebuah elaborasi atas Shahih Bukhari. Dengan demikian, jika menggunakan perspektif hadis ini, siapa sebetulnya yang wajib dibunuh? Kelompok Islam liberal yang menolak formalisasi syari’at Islam atau “mereka” yang gemar mengafirkan atau bahkan membunuh sesama Muslim? Inilah salah satu kelemahan kelompok radikal-konservatif dalam mengapresiasi teks keagamaan. Sebuah teks yang hanya dilihat dari sudut pandang literal saja tanpa pendekatan kesejarahan maka akan menyesatkan.
***
Hal lain dari “kekonyolan” pendapat kaum konservatif agama ini adalah menganggap bahwa ide Islam liberal merupakan “proyek” Barat-Kristen untuk menggembosi umat Islam seperti tersurat dalam buku Adnin Armas di atas. Tuduhan ini jelas salah alamat. Sebab dalam dunia Kristen juga berkembang pemikiran liberal bahkan ultra-liberal yang juga mendapat reaksi keras dari kalangan Kristen konservatif.
Pertentangan antara kubu liberal dan konservatif di dunia Kristen juga berlangsung begitu sengit yang berujung pada saling mengafirkan satu sama lain sesama pengikut Kristus. Anggapan bahwa Barat-Kristen lah yang mempengaruhi watak liberal sebagian umat Islam menunjukkan miskinnya wawasan keagamaan kelompok konservatif-fundamentalis ini. Mereka mengira bahwa dunia Kristen itu bersatu, tunggal, monolitik tanpa ada skisme sebagaimana yang terjadi dalam dunia Islam. Padahal tidak ada agama di dunia ini yang bersifat monolitik dan tunggal, dalam pengertian tidak terjadi perpecahan teologis.
Tidak sebatas itu, anggapan bahwa Barat identik dengan Kristen adalah pandangan yang picik sama piciknya dengan menganggap penduduk Timur Tengah itu semuanya Muslim. Sebab tidak semua orang Barat itu Kristen sebagaimana tidak semua orang Timur Tengah itu Muslim. Dan harap diingat, tidak semua orang Kristen memusuhi Islam!
Kita tahu, dalam dunia Kristen telah muncul beberapa pemikir yang menggetarkan dunia ke-Kristen-an karena buku-bukunya yang mengkritik Alkitab yang selama ini dianggap sebagai “Firman Allah”. Para sarjana Kristen yang bermarkas di Graduate Theological Union (GTU), Berkeley, Amerika Serikat misalnya, seperti Norman Gottwald atau Robert Goote telah menulis beberapa karya intelektual yang membuat kuping merah bagi kalangan Kristen konservatif. Lewat pendekatan sosiologi-historis, mereka berhasil membongkar perselingkuhan politik, intrik dan konspirasi para penguasa dan pujangga hingga melahirkan Alkitab yang, kini diagungkan oleh hampir 2 milyar umat Kristen di penjuru dunia.
Robert Coote dan David Robert Ord menulis beberapa buku provokatif seperti The Bible’s First History: From Eden to the Court of David with the Yahwist kemudian In the Beginning: Creation and the Priestly History. Professor Coote sendiri menulis In Defense of Revolution: The Elohist History, sebuah buku yang bercerita tentang proses revolusi sejak rezim Daud yang menggunakan simbol-simbol keagamaan. Sementara Norman Gottwald menulis beberapa buku yang juga tidak kalah provokatifnya. Di antara karya Gottwald adalah The Tribes of Jahweh: A Sociology of the Religion of Liberated Israel 1250-150 BCE, The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction kemudian The Politics of Ancient Israel. Dalam karyanya itu, dengan terang-terangan, Gottwald menyebut Alkitab sebagai “perangkap Yahudi” (a trap of Jews) yang bisa menyesatkan jika tidak dibaca dengan kritis dalam optik kesejarahan.
Di bidang teologi, juga banyak para sarjana Kristen liberal yang mengkritik warisan teologi klasik. Di antara mereka adalah John Hicks, John Cobb, Paul Knitter atau yang paling spektakuler John Shelby Spong. John Hicks pernah menulis buku teologi yang cukup bagus berjudul God Has Many Names. Disini Hick mempertanyakan klaim para teolog klasik-konservatif bahwa Allah Tritunggal Kristen sebagai “representasi Tuhan yang sebenarnya”.
Hick bersama Paul Knitter juga mengedit buku provokatif: The Myth of Christian Uniqueness: Toward a Pluralistic Theology of Religion. John Cobb adalah teolog Kristen liberal lain yang patut diapresiasi pemikiran teologisnya. Cobb adalah pengembang “teologi proses” yang pernah dirintis Whitehead. Teologi Proses adalah “teologi yang sedang menjadi.” Dalam pengertian ini maka tidak ada konsep teologi yang dianggap baku, final, selesai. Teologi (baca, konsep ketuhanan) terus berproses sesuai dengan tantangan-tantangan teologis masyarakat beragama. Cobb telah menulis beberapa buku teologis yang menggairahkan salah satunya adalah Transforming Christianity and the World Religion: A Way Beyond Absolutism and Relativism.
Satu lagi pemikir Kristen liberal atau lebih tepatnya “ultra-liberal” adalah John Spong. Beberapa karya intelektual Spong seperti A New Christianity for A New World: Why Traditional Faith is Dying and A New Faith is Being Born, Why Christianity Must Change or Die, kemudian Rescuing The Bible from Fundamentalism telah menggegerkan dunia Kristen.
Spong, dalam A New Christianity, mengkritik 5 dalil fundamental yang kemudian menjadi kredo keKristenan (semacam rukun iman dalam Islam yang dirumuskan secara sembrono oleh ulama klasik skolastik). Kelima dalil fundamental yang dimaksud adalah: l) Alkitab sebagai inspirasi literal firman Allah; 2) Kelahiran Kristus dari Perawan Maria —yang dilukiskan secara ajaib dan literal— sebagai tanda keilahian Kristus; 3) Karya penebusan Kristus yang diwujudkan melalui kuasa penyelamatan melalui darah-Nya dan anugerah keselamatan yang dilengkapi lewat kematian-Nya; 4) Kepastian kebangkitan secara fisikal dan kematian yang ditampilkan melalui kubur kosong dan cerita-cerita dalam tradisi Injil; 5) Kebenaran tentang kedatangan Yesus yang kedua, realitas Hari Penghakiman yang didasarkan atas catatan kehidupan seseorang serta kepastian surga dan neraka sebagai tempat kekal untuk upah dan penghukuman.
Kelima dalil inilah yang menjadi titik tolak Spong dalam melontarkan ide-ide progresifnya yang kemudian ia dicaci maki oleh kalangan Klerus (elite gereja) bahkan tidak sedikit yang menyebutnya atheis, anti Kristus, inkarnasi iblis, pelacur jemaat, dst.
Sebagaimana Spong, saya juga berpendapat bahwa umat beragama sekarang ini telah menjadi “korban” rumusan teisme klasik. Padahal konsep teistik merupakan bagian dari pengalaman traumatis yang lahir akibat kehadiran suatu kuasa yang lain (the others) yang didefinisikan oleh manusia menurut kesadaran dirinya (ingat teori the theory of self consciousness dari Freud dan the shock of non-being-nya Tillich). Theisme itu beda dengan Allah. Theisme adalah ciptaan manusia, sementara Allah jauh melampaui batas-batas konsepsi ide dan definisi. Hakekat Allah tidak dapat ditangkap dengan kata-kata (termasuk melalui ungkapan “firman Allah” sekalipun).
Di sinilah perlunya gagasan Allah non-teistik, yakni god is the ultimate source of life, god is the ultimate of love dan god is the basis of being. Allah bukanlah satu entitas supernatural yang berjalan dalam lintasan ruang dan waktu untuk menyelamatkan orang-orang sengsara melainkan “sumber hidup, sumber kasih dan dasar dari yang hidup”.
***
Mengikuti kerangka berpikir Spong di atas, maka sikap ateisme harus dipahami sebagai “anti terhadap teisme” bukan “anti terhadap Tuhan” seperti selama ini dipersepsikan oleh sebagian besar umat beragama. Seorang ateis bisa saja menolak Allah Tritunggal, Allah SWT, Yahweh dan lain-lain (konsep Tuhan dalam rumusan teologi klasik) akan tetapi tidak menolak eksistensi Tuhan penguasa alam ini. Dengan kata lain, yang ditentang kelompok ateis adalah “Tuhan sejarah” (ini istilah Eric Form) atau “Tuhan budaya” (“cultural God”) bukan “Tuhan Alam” (natural God).
“Tuhan sejarah” atau “Tuhan budaya” adalah “Tuhan hasil ‘ciptaan’ manusia,” Tuhan hasil konstruksi pemikiran manusia. Dari sinilah kemudian muncul konsep tentang YHWH (baca, Yahweh) dalam tradisi Judaisme, Allah SWT dalam Islam, Allah Tritunggal dalam tradisi Kristen, Tao atau Thien dalam tradisi Konfusianisme dan Taoisme atau Puang Matua dalam tradisi sebagian masyarakat Sulawesi. Sementara “Tuhan Alam” adalah Tuhan penguasa jagat raya ini yang tidak bisa didefinisikan, dijangkau dan dikonseptualisasikan oleh siapapun, nabi sekalipun.
Tuhan dalam pengertian ini adalah simbol “ke-Segala Maha-an” yang tidak bisa ditangkap oleh kemiskinan bahasa manusia. Inilah yang oleh para teolog pluralis dianggap sebagai “Tuhan yang sesungguhnya”. Dalam konteks inilah semestinya kita mendudukkan pemikiran para tokoh ateis seperti Nietszhe.
Demikianlah ilustrasi singkat tentang pemikiran Kristen liberal dengan harapan menjadi bahan renungan bagi saudara-saudaraku Muslim yang masih berpikiran dan berwawasan “sempit.” Saya menganjurkan agar kita tidak mudah terperangkap ke dalam syakwasangka, maka tradisi kajian lintas keagamaan harus dikembangkan bagi siapa saja tidak hanya Muslim tapi juga Kristen dan lainnya.