Ada apa dengan Yogyakarta? Sejak beberapa tahun terakhir ini, Daerah Istimewa Yogyakarta (biasa disingkat Yogya atau Jogja) banyak menjadi sorotan publik karena di “kota gudeg” ini telah terjadi sejumlah perubahan mendasar, ekstrim, dan radikal yang cukup kontras dengan beberapa tahun silam.
Dulu, Yogya dikenal sebagai kota yang cukup asri dan tertata dengan rapi sehingga cukup nyaman bagi para turis, baik turis domestik maupun mancanegara.
Dulu, Yogya populer dengan sebutan “kota budaya” sekaligus “jangkar budaya Jawa” karena di kota ini, antara lain, produk-produk tradisi dan kebudayaan (baik kebudayaan material maupun imaterial) yang erat kaitannya dengan kesejarahan Jawa diuri-uri atau dilestarikan. Keraton Yogya dijadikan sebagai simbol atau lambang hal-ikhwal yang berkaitan dengan aneka ragam kebudayaan Jawa.
Dulu, Yogya juga dikenal sebagai kota pluralis yang toleran. Sebagai pusat turisme dan pusat pendidikan, sejak dulu Yogya menjadi jujugan banyak orang, baik untuk tujuan wisata, belajar, atau “mengadu nasib” (mencari pekerjaan atau mendirikan usaha kecil-kecilan seperti kos-kosan, jualan, dan sektor ekonomi informal lain).
Karena itu sangat wajar kalau Yogya kemudian menjadi salah satu kota yang paling majemuk–multiagama, multietnis, dan multikultur–di Indonesia. Meskipun sangat majemuk, Yogya dikenal cukup ramah dan toleran dengan perbedaan dan keanekaragaman.
Tapi itu dulu. Kini, banyak perubahan drastis di “kota pelajar” ini.
Kota Yogya kini penuh-sesak dengan baliho jumbo yang berserakan di berbagai sudut kota dan ruas jalan utama sehingga tampak semrawut sekaligus mengganggu pemandangan keindahan kota.
Di kota ini sekarang juga menjamur aneka toko yang memajang aneka “busana Muslim/Muslimah” yang berpotensi menggerus produk-produk busana lokal seperti batik, kebaya, blankon dan sejenisnya. Jika kompetisi berjalan sehat tentu saja tidak masalah.
Menjadi masalah karena sering kali bisnis “busana Muslim/Muslimah” itu diiringi dengan embel-embel klaim bahwa produk-produk busana lokal Jawa itu dianggap tidak Islami atau tidak syra’i. Meskipun sejatinya tidak ada “busana Islami/syar’i” itu. Sepanjang busana itu menutup aurat dan sesuai dengan norma-norma kepantasan dan etika publik di masyarakat tersebut, maka itu bisa disebut busana Islami/syar’i.
Yang paling memprihatinkan adalah merebaknya aksi-aksi intoleransi, kontra kemajemukan, dan bahkan kekerasan antarumat beragama. Yang paling mutakhir adalah aksi penyerangan terhadap seorang pastor yang sedang memimpin ibadah di Gereja St. Lidwina, Sleman.
***
Berbagai aksi intoleran antar dan intraumat beragama itu telah mengantarkan Yogyakarta menjadi salah satu kota intoleran di Indonesia. Menurut Setara Institute, Yogyakarta, dalam survei tahun 2017, masuk sepuluh besar kota di Indonesia yang memiliki indeks toleransi sangat rendah.
Setara Institute mengsurvei 94 kota di seluruh Indonesia dan menempatkan Yogyakarta di urutan keenam terendah dengan skore 3,40. Selain Yogyakarta, kota lain yang masuk sepuluh besar kota paling tidak toleran menurut Setara Institute adalah DKI Jakarta (yang menjadi juara intoleransi), Banda Aceh, Bogor, Cilegon, Depok, Banjarmasin, Makasar, Padang, dan Mataram.
Berbagai kritik tajam berhamburan atas maraknya aksi intoleransi dan kekerasan yang mengatasnamakan agama serta lambannya pemerintah dan aparat penegak hukum setempat dalam menangani kasus-kasus tersebut. Kritik-kritik tajam, antara lain, dialamatkan kepada Sultan Jogja yang dianggap tidak mampu menjaga toleransi sehingga bermunculan berbagai aksi kekerasan di masyarakat yang mengusung isu politik identitas primordial, khususnya agama.
Kritik keras juga dilontarkan oleh KH Abdul Muhaimin, Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman, Yogyakarta, dan merupakan salah satu tokoh yang mengusung nilai-nilai toleransi antarumat beragama dan menginisiasi Jogja City of Tolerance.
Selain mengkritik ketidakbecusan pemerintah dan lambannya aparat penegak hukum dalam menangani berbagai tindakan intoleran dan kekerasan, KH Abdul Muhaimin juga menilai kelompok intoleran atau pelaku tindak kekerasan itu sebagai orang-orang yang tidak memahami ruh, spirit, substansi dan tujuan agama, yakni untuk menebarkan cinta-kasih, persaudaraan global, rasa aman, kenyamanan, serta rahmat bagi alam semesta.
***
Mengelola masyarakat supermajemuk dan superkompleks seperti Yogya memang tidak mudah. Dibutuhkan ketelatenan, kesadaran, dan sekaligus ketegasan. Pula, diperlukan pendekatan komprehensif untuk mengelola sebuah masyarakat plural dimana masing-masing individu dan kelompok sosial memiliki aneka ragam motif dan tujuan.
Pluralitas (istilah lain: kemajemukan, keragaman, atau heteroginitas) adalah sesuatu yang bersifat alami, maka tidak ada orang yang bisa menghindar dari pluralitas itu. Karena pluralitas bersifat alami, maka upaya-upaya menciptakan homoginitas atau keseragaman, apalagi dilakukan dengan paksa dan kekerasan, selalu menimbulkan problem atau masalah di masyarakat.
Sayangnya tidak semua individu dan kelompok memahami pluralitas sebagai sebuah berkah yang perlu disyukuri, melainkan bencana yang perlu diratapi dan dipangkas habis. Tidak semua orang memandang kemajemukan sebagai sebuah potensi untuk merajut hidup bersama dalam satu makrokosmos tetapi sebagai sebuah hambatan atau halangan untuk mewujudkan pandangan, agama, atau ideologi tertentu yang mereka impikan dan idealkan di masyarakat.
Karena sikap dan pandangan masyarakat yang berlainan itulah, maka sering kali terjadi benturan-benturan disana-sini. Oleh karena itu, untuk merawat kebhinekaan atau pluralitas dibututuhkan sejumlah prasyarat mendasar. Selain diperlukan kesadaran publik, perlu upaya intensif dan terus-menerus untuk berdialog atau membangun “dialog budaya” dengan berbagai kalangan oleh berbagai kalangan.
Selain itu juga diperlukan intervensi pemerintah sebagai “manajer masyarakat” untuk membuat kebijakan-kebijakan publik di semua sektor (politik, pendidikan, bisnis, dan agama) yang bersifat toleran-pluralis, menghargai hak-hak agama dan politik masing-masing individu, serta menjamin kekebasan, keamanan, dan kenyamanan masyarakat.
Tidak kalah penting juga adalah ketegasan aparat dan penegak hukum dalam menindak para aktor dan pelaku tindakan intoleransi dan kekerasan di masyarakat. Jika ada kesan meremehkan atau membiarkan para pelaku tindakan intoleransi dan kekerasan, maka mereka berpotensi melakukan hal serupa di kemudian hari. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus tegas (bukan keras) menghukum siapapun yang melakukan tindakan kekerasan, intoleransi, dan antikemajemukan, atas nama apapun (agama, ideologi, partai, aliran, ormas, dlsb).
Individu dan kelompok sosial jangan dibiarkan bertindak sendiri atau “main hakim” sendiri atas feomena sosial yang terjadi di masyarakat karena hidup bermasyarakat memiliki norma-norma sosial, nilai-nilai kultural, dan aturan-aturan legal yang perlu ditaati bersama guna merawat kebhinekaan, melestarikan perdamaian serta menjaga keseimbangan kosmos tempat manusia hidup, tinggal dan berpijak ini.
Jelasnya, berbagai pendekatan–kultural, legal, dan struktural–perlu diterapkan untuk mengelola kemajemukan. Hanya dengan mengombinasikan berbagai pendekatan itulah, maka kebhinekaan akan tetap lestari di bumi pertiwi, bukan hanya di Yogyakarta saja tetapi juga di daerah lain di Indonesia.
Sumber: liputan6.com