Belum lama ini, saya memosting di akun Facebookku tentang relasi agama, manusia dan Tuhan. Dalam postingan itu saya mengajukan pertanyaan tentang asal-usul agama: apakah ia diciptakan oleh Tuhan untuk manusia, diciptakan oleh manusia untuk Tuhan, diciptakan oleh manusia untuk manusia, atau diciptakan oleh Tuhan untuk Tuhan?
Diluar dugaan ada ribuan pembaca Facebook Indonesia yang membalas postingan itu dengan jawaban yang beraneka ragam dengan beragam perspektif dan argumen.
Ada yang menjawab dari sudut-pandang agama (Islam, Kristen, Budha dan lainnya), sekular-filosofis, atau ilmu-ilmu sosial. Ada tanggapan yang bersifat idealistik tapi ada pula yang bersifat realistik berdasarkan fakta-fakta sosial-kesejarahan masyarakat pemeluk agama. Sangat menarik dan memperkaya diskusi tentang korelasi antara agama, manusia dan Tuhan.
Meskipun jawaban pembaca Facebook beraneka ragam tentang hal ini, saya perhatikan mayoritas dari mereka menjawab bahwa agama itu diciptakan oleh manusia untuk manusia.
Menurut mereka, Tuhan tidak membutuhkan agama (dan kemungkinan juga tak beragama). Manusialah yang membutuhkan agama, maka dari itu mereka menciptakannya.
“Agama itu produk budaya, diciptakan [oleh manusia] supaya penganutnya mengenal Tuhanya,” tulis Rina Kamim. Hal yang kurang lebih sama juga dikatakan oleh Laksmi Hartayanie: “Agama diciptakan manusia untuk berdialog dengan Tuhan”. Ada lagi yang berargumen bahwa agama itu berasal dari akar kata a = tidak dan gama = kacau. Jadi, agama itu diciptakan oleh manusia agar kehidupan menjadi tertib alias tidak kacau.
Praktik Beragama di Masyarakat
Dalam realitasnya, masyarakat atau umat beragama—baik masyarakat suku maupun non-suku, masyarakat tradisional maupun modern—memang warna-warni dalam memahami, menafsiri, meyakini, mengekspresikan, dan mempraktikkan makna agama, ajaran, doktrin, dan norma-normanya.
Selain pandangan bahwa agama itu diciptakan oleh manusia untuk manusia seperti disebutkan diatas, ada yang juga menganggap dan meyakini bahwa agama itu diciptakan oleh Tuhan untuk umat manusia agar mereka hidup di jalan yang benar.
Mereka percaya bahwa Tuhanlah sang pencipta agama beserta ajaran-ajaran normatif dan teks-teks sakralnya sebagai pedoman hidup bagi manusia agar mereka tidak tersesat selama menjalani kehidupan di dunia.
Ada pula yang memandang bahwa agama itu sebetulnya diciptakan oleh manusia untuk Tuhan mereka. Maksudnya, agama memang diciptakan oleh manusia tetapi dimaksudkan untuk “menyuap” dan “merayu” Tuhan (atau apapun nama-Nya) dengan ibadah-ibadah ritual (sembahyang dan sejenisnya) dan aneka sesaji, sajen, atau “sesembahan” (atau persembahan) agar Dia terus mengasihi manusia dan tidak menurunkan musibah, malapetaka atau bencana. Jadi, ritual dan sesaji adalah sejenis “medium rayuan dan penyuapan” kepada Tuhan Sang Supranatural.
Ada juga yang mengandaikan bahwa agama itu sengaja diciptakan oleh Tuhan—melalui perantaraan malaikat, nabi, rasul, atau orang-orang suci—sebagai medium untuk mengenal eksistensi-Nya.
Umat beragama yang sibuk memikirkan urusan Tuhan dan alam akhirat sementara melupakan urusan kemanusian di dunia nyata ini pada hekikatnya juga menganggap muara agama adalah Tuhan atau untuk mengurus masalah ketuhanan.
Tafsir Kata Agama
Kata “agama” sendiri yang dipakai dalam Bahasa Indonesia (dan Melayu) sebetulnya berasal dari Bahasa Sansekerta (Sanskrit) atau Pali “agama” (Jamak: agamas) dan berakar dalam tradisi agama-agama kuno India seperti Hinduisme (Hindu)), Buddisme (Buda) dan Jainisme (Jain).
Di ketiga agama kuno India ini, kata “agama” dimaknai sebagai “kitab suci” (scripture). Dalam konteks Buda, agama adalah kumpulan kitab-kitab suci dari berbagai mazhab awal Buddisme (Tripitaka = Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka dan Abhidamma Pitaka). Dalam Jainisme, agama adalah kumpulan teks suci berdasarkan wacana-wacana tirthankara. Sementara dalam Hinduisme, agama merujuk pada kumpulan kitab suci di sejumlah aliran atau mazhab dalam Hindu.
Meskipun akar kata “agama” berasal dari Bahasa Sansekerta atau Pali, tetapi penggunaan kata agama dalam Bahasa Indonesia itu lebih ke terjemahan dari kata “religion” dalam Bahasa Inggris ketimbang Bahasa Sansekerta atau Pali, yaitu seperangkat dogma yang berisi tentang aturan mengenai hubungan manusia dengan Tuhan atau tentang kepercayaan manusia atas sesuatu (Zat) yang dianggap sakral, mutlak, dan supranatural (baca, Tuhan). Berikut ini sejumlah definisi mengenai kata “religion”.
Misalnya “the belief in and worship of a superhuman controlling power, especially a personal God or gods” (oxforddictionaries.com) atau a set of beliefs concerning the cause, nature, and purpose of the universe, especially when considered as the creation of a superhuman agency or agencies, usually involving devotional and ritual observances, and often containing a moral code governing the conduct of human affairs (dictionary.com). Ada pula yang mendefinisikan kata “religion” sebagai “human beings’ relation to that which they regard as holy, sacred, absolute, spiritual, divine, or worthy of especial reverence” (Encyclopaedia Britannica).
Sementara itu orang Jawa biasanya mengartikan kata agama dari akar kata “ageman” atau semacam pedoman atau pegangan hidup yang berisi norma-norma tertentu harus harus ditaati.
Bukan hanya itu saja, dalam implementasinya, masyarakat juga sering menggunakan kata agama (baik sengaja dan serius maupun sekedar gurauan) untuk subyek-subyek lain.
Misalnya, warga Amerka sering bilang bahwa “American football” itu adalah “agama” bagi mereka, sepak bola (football/soccer) adalah agama bagi warga Brazil, hockey adalah “agama” buat warga Kanada, atau rugby adalah “agama” buat warga Salandia Baru. Juga sering kita dengar ungkapan: “agama orang itu adalah uang”.
Ungkapan-ungkapan itu merefleksikan atau mengandaikan bahwa agama itu merujuk pada entitas apapun yang dianggap sakral dan fundamental dalam kehidupan sehari-hari.
Agama Menurut Antropologi
Antropologi—atau ilmu-ilmu sosial secara umum—memahami makna agama sangat kompleks. Tidak ada definisi, tafsir dan pengertian tunggal mengenai “agama”. Pula, tidak ada teori antropologi baku mengenai agama dan tidak ada metodologi yang seragam mengenai studi sistem kepercayaan dan ritual.
Hal itu tersirat dan tersurat dari penjelasan berbagai ilmuwan sosial dan antropolog yang konsen dengan studi agama: Max Muller, W. Robertson Smith, Edward B. Taylor, Sir James Frazer, Max Weber, Emile Durkheim, Evans-Pritchard, Raymond Firth, Clifford Geertz, Talal Asad, dan masih banyak lagi.
Saya sendiri menganggap agama sebagai sebuah sistem spiritual berdimensi sosial yang terorganisir yang berisi kumpulan norma, ritual, ajaran, doktrin, tradisi, dan aneka nilai (baik tertulis dalam teks maupun tidak tertulis, tersimpan dalam memori dan tradisi lisan masyarakat) yang mengikat bagi pemeluknya.
Sebagai sebuah produk kebudayaan manusia, agama bukan hanya dimaksudkan sebagai sarana untuk berkomunikasi kepada Zat yang dianggap, diandaikan, dipersepsikan, atau diimajinasikan Supranatural, melainkan juga sebagai medium “perekat sosial” dan “identitas kelompok”.
Melalui agama dan institusi-institusi keagamaanlah, antara lain, manusia membangun jejaring sosial dan komunikasi serta menegaskan identitas primordial sebuah suku, etnik dan kelompok masyarakat tertentu.
Berbeda dengan anggapan umum yang mengatakan bahwa kelahiran agama itu mendahului politik maupun ekonomi, saya berpendapat bahwa agama lahir belakangan beriringan dengan politik.
Jika mengkaji sejarah, asal-usul, dan perkembangan agama di masyarakat suku (misalnya berbagai masyarakat suku di Afrika), maka kita akan mengetahui bahwa setelah manusia menemukan sumber-sumber ekonomi untuk kehidupan, maka mereka kemudian menciptakan sistem politik-pemerintahan, organisasi-organisasi sosial-kemasyarakatan (kesukuan), dan kemudian sistem spiritual-keagamaan. Semua itu, pada mulanya, dimaksudkan untuk merawat dan memproteksi sumber-sumber ekonomi itu.
Ekonomi (bukan agama, politik, atau tradisi) adalah hal yang paling penting dan mendasar bagi umat manusia dimanapun mereka berada karena manusia masih bisa hidup tanpa agama, politik, maupun adat dan tradisi. Tetapi siapa yang bisa hidup tanpa sumber-sumber ekonomi? Dari situlah maka agama itu sebetulnya diciptakan sangat erat kaitannya dengan masalah perekonomian.
Hanya saja dalam perkembangannya, manusia tidak bisa menghindari dari: kematian, penyakit, dan ancaman dari kelompok lain, dan karena itu mereka juga menggunakan dan mengembangkan agama menjadi ritual-ritual yang bersifat atau bernuansa spiritual, megis, transendental, dan “dunia lain” (“keakhiratan”) karena keterbatasan mereka dalam mengatasi masalah kematian, penyakit, dan ancaman kelompok lain itu. Dari situlah kemudian agama berkembang bukan hanya untuk mengatasi hal-ikhwal yang bersifat “alam nyata” tetapi juga “alam gaib”.
Tetapi apapun pemahaman, praktik, dan ekspresi manusia atas agama, yang jelas manusia memiliki kemampuan adaptasi dan bertahan hidup yang sangat baik dan unik, berbeda dengan makhluk lain (hewan misalnya).
Agama adalah bagian dari mekanisme atau cara umat manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan dan bertahan hidup itu dari gempuran berbagai rintangan kehidupan yang membentang: kelaparan, kematian, penyakit, serta ancaman dari orang-orang jahat.
Sumber : Geotimes
Alat Politik Makhluk Cerdas / Jenius, untuk mengikat Hati Manusia Prof, Agar tunduk dan patuh.
Menarik ketika prof katakan agama adalah satu sistem spiritual yg berdimensi sosial…. dstnya…kl boleh saya berusaha utk memahami,ada hubungan yg pribadi antara manusia dgn Tuhan yg setidaknya memberikan dampak yg baik atau positif dalam hubungan dgn sesama manusia (terlepas sesama itu seagama atau tidak).. Dengan demikian maka seyogyanya manusia beragama tdk benar kl saling membenci, berkelahi, sampai saling membunuh atas nama agama itu sendiri…kl sudah begitu, menjadi ironis karena tdk membawa pemeluknya kepada kedamaian,malah sebaliknya…sistem spiritual yg berdimensi sosial ini menjadi kabur dan sia2 akibat ulah oknum yg beragama…
Komentar ditutup.