Pemilu Parpol, Pilpres, maupun Pilkada adalah sebuah “even politik”. Meski begitu, setiap kali Indonesia menggelar “pentas politik” ini, agama selalu campur tangan dan ikut nimbrung. Setiap kali pagelaran politik ini digelar, para ulama dan tokoh agama (termasuk ustad, pemimpin ormas keagamaan, penceramah, pimpinan institusi agama, akademisi, dlsb.) ikut sibuk menjadi “corong” atau “echo” para politisi dan kandidat (paslon) tertentu. Bahkan tidak sedikit para tokoh agama dan ulama yang ikut terjun langsung menjadi “paslon” dan “cawan” (calon dewan) bersaing dengan tokoh-tokoh dari kubu lain.

Fenomena paslon dan “cawan” dari kelompok ulama dan tokoh agama ini sudah menjadi trend dan “menggurita” pasca rontoknya rezim Orde Baru tahun 1998 yang menandai dibukanya kembali kran demokrasi di Indonesia setelah sekian lama “mati suri.” Sejak itu, lantaran ada peluang dan kesempatan untuk menjadi politisi atau birokrat, banyak para tokoh agama dan ulama yang kambuh “syahwat” politiknya. Sampai saat ini, banyak tokoh agama dan ulama yang “ereksi” terhadap politik-kekuasaan.

Tentu saja ada ada tokoh agama dan ulama yang memilih menjadi “golput” dan menjaga jarak dengan dunia politik-kekuasaan. Ulama jenis ini saya sebut sebagai “ulama asketis”, yaitu ulama yang lebih memilih mengurusi umat, memberdayakan warga, dan menjauhi hingar-bingar dunia politik praktis kekuasaan yang korup. Harus diakui, ulama jenis ini kini populasinya semakin menurun dan nyaris menjadi “makhluk langka” sehingga perlu dilindungi supaya tidak terancam punah. Penting untuk dicatat, ulama asketis ini bukan berarti tidak berpolitik. Mereka juga berpolitik tetapi menggunakan mekanisme, cara, strategi, taktik, dan tujuan yang berbeda dengan “ulama politik”, yaitu ulama (dan tokoh agama manapun) yang secara terang-terangan maupun “malu-malu kucing” terjun di dunia politik praktis. Dalam sejarahnya, memang ada bermacam-macam “politik ulama”: ada yang pro dan anti-politik-kekuasaan, tapi ada pula yang memilih di “jalur abu-abu” (istilahnya dulu, “akomodatif-kritis”—akomodatif tetapi tetap kritis terhadap pemerintah).

Simaklah hiruk-pikuk para tokoh agama dan ulama menjelang Pilkada ini. Karena didorong oleh “nafsu”, ambisi, keinginan, dan kepentingan tertentu (baik kepentingan politik-ekonomi maupun kepentingan ideologi-keagamaan), mereka rela menjadi “bamper” paslon tertentu. Mereka rela “berkelai” dan “berperang” (psywar) dengan para tokoh agama dan ulama yang mendukung paslon lain. Demi memuluskan jalan bagi paslon yang mereka dukung itu, mereka juga tidak segan-segan menyitir ayat-ayat dan teks-teks keagamaan sebagai “legitimasi teologis”.

Tidak puas dengan ayat Al-Qur’an dan hadis, pendapat para ulama “zaman bahoela” maupun ulama kesohor kontemporer, apalagi dari kawasan Arab dan Timur Tengah, juga ikut disitir guna menyokong pendapat mereka. Ayat dan teks apapun (baik itu Firman Tuhan, sabda nabi, ataupun perkataan para ulama / sarjana agama) memang tidak bertulang sehingga mudah untuk dibelak-belokkan dan ditafsiri sesuai dengan selera dan kepentingan pembacanya. Naifnya atau tragisnya, para “ulama politik” ini saling mengklaim bahwa ayat, hadis, dan pendapat ulama yang mereka pilih, seleksi, dan sitir itulah yang paling sahih, paling valid, paling benar, paling aurat, dan paling agamis.

Dalam konteks Pilkada Jakarta misalnya, para “ulama politik” pro-Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) menyitir sejumlah ayat, hadis, tafsir, dan pendapat para ulama yang membolehkan memilih non-Muslim sebagai kepala daerah, sedangkan mereka yang anti-Ahok mengutip sejumlah ayat, hadis, tafsir, dan pendapat para ulama yang melarang dan mengharamkan memilih non-Muslim sebagai kepala daerah di kawasan yang mayoritas berpenduduk Muslim.

Menariknya, pernyataan larangan bagi umat Islam untuk memilih kepala daerah non-Muslim itu tidak berlaku universal (baca, menyeluruh di semua daerah di Indonesia). Bahkan sering kali pernyataan mereka tidak konsisten. Sering kali larangan itu hanya bersifat lokal-partikular-temporal saja, sesuai dengan “kepentingan pragmatis” para ulama dan tokoh agama itu, selain disesuaikan dengan situasi, dinamika, dan perkembangan sosial-politik-budaya masyarakat setempat. Maka, apa yang terjadi di Jakarta, berbeda dengan realitas politik di Semarang, Solo, Ambon, Pontianaak, Manado, Kupang, dan seterusnya.

***

Dalam konteks sejarah Islam dan Indonesia, dialektika ulama dan kekuasaan itu selalu pasang surut, tidak pernah menunjukkan garis lurus-linier. Sejak zaman dahulu, bahkan sejak era formasi Islam awal, para ulama sudah terbelah dalam menyalurkan aspirasi politik mereka. Sebagian dari mereka pro terhadap pemimpin politik tertentu, sebagian lain menjadi “cheerleader” pemimpin politik lain. Sama seperti perkembangan dewasa ini, para ulama dulu juga hobi “berdendang” menggunakan ayat, hadis, aqwal (perkataan/pendapat) para sahabat Nabi Muhammad dan ulama / fuqaha (ahli hukum Islam) tertentu.

Pada suatu saat, para ulama berada di “margin” kekuasaan, sementara di lain waktu mereka berperan penting di panggung struktural (baca, kekuasaan). Saat ini, setelah sekian lama berada di “pinggiran” dan “pojok” kekuasaan karena ruang gerak politik mereka yang dibatasi oleh Pak Harto di zaman Order Baru dulu, para ulama kembali berusaha masuk dan merangsek ke “tengah,” ke pusat kekuasaan politik.

Baik “ulama negeri” (baca, ulama yang berada di struktur pemerintahan dan aktif di institusi-institusi yang berafiliasi dengan pemerintah) maupun “ulama swasta” (yakni mereka yang berada di panggung diluar pemerintah dan lembaga pemerintahan) sama-sama sedang “bermain” dan berpolitik guna mendapatkan akses kekuasaan, mendukung paslon ini-itu, atau melindungi kepentingan kelompok dan ideologi mereka.

Seperti saya sebutkan sebelumnya, dialektika atau relasi dinamis ulama-kekuasaan ini sudah berlangsung sangat klasik, seklasik Islam itu sendiri. Dunia ulama dengan dunia politik-kekuasaan memang tidak bisa dipisahkan secara ketat dan ekstrim. Dalam sejarah keislaman dan keindonesian kita bisa saksikan bahwa perkelahian dan pergumulan antara para penguasa politik dan penguasa agama ini. Kadang penguasa politik di atas angin, kadang penguasa agama yang di atas angin. Di tempat dan waktu lain, para pemimpin politik dan pemimpin agama saling berkolaborasi atau saling memusuhi.

Dalam sejarah Indonesia, pemerintah Belanda dulu pernah membatasi peran politik ulama. Berbagai Undang-Undang Pemerintah (Regeering Reglement) dan Undang-Undang Politik (Politieke Maatregel) dibuat untuk mengisolasi para ulama / tokoh agama dari berbagai kegiatan atau aktivitas yang dapat menimbulkan implikasi politik (rust en orde—ketentraman dan ketertiban).

Mereka membonsai peran politik ulama karena mereka merupakan kelompok elit agama yang memiliki “kharisma tradisional” (ini istilah Max Weber) yang mampu memobilisir massa untuk menentang pemerintah kolonial sehingga berpotensi menciptakan kekacauan sosial-politik.

Sejarah mencatat, sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 memang telah bermunculan agitasi militan terhadap Belanda yang disponsori para elit agama (kiai, haji, guru, dlsb). Mereka berhasil meningkatkan pengaruhnya atas masyarakat petani, sementara institusi keagamaan semacam pondok pesantren dijadikan sebagai instrumen yang efektif bagi kampanye politik dalam menentang penguasa kolonial.

Sikap penentangan para ulama dan elit agama atas Belanda itu ada yang berbentuk perang terbuka seperti “Perang Jawa” (1820–1825) atu Pemberontakan Petani Banten tahun 1888. Adapula yang berbentuk “perang terselubung” (silent protest) seperti ditunjukkan oleh Kiai Ahmad Rifa’i, pemimpin Sekte Rifa’iyyah di pedalaman Jawa Tengah. Sejarawan ternama Sartono Kartodirdjo telah mendokumentasikan dengan baik fakta-fakta sosial perlawanan ulama ini dalam beberapa bukunya, antara lain, Protest Movement in Rural Java, Religious Movement in Java in the 19th and 20th Centuries, dan The Peasant Revolt of Banten in 1888.

Politik segregasi model Belanda inilah yang kelak “difotokopi” oleh pemerintah Orde Baru sepanjang kekuasaan politiknya sehingga tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa politik Orde Baru adalah politik Neo-Kolonialisme. Pada waktu itu, ulama berada di “pinggiran” yang jauh dari kekuasaan, bukan karena kemauan sendiri atau katakanlah pilihan sadar-rasional tetapi karena memang dipinggirkan dari arena kontestasi politik.

Pak Harto dulu memang tidak suka kalau ulama berpolitik seperti di zaman Orde Lama, kecuali tentu saja jika politik mereka untuk membela kekuasaannya. Para ulama dari Nahdlatul Ulama (NU) dulu banyak yang terpinggirkan dan menjadi korban politik kekuasaan Pak Harto dan rezim Orde Baru.

Karena terpinggirkan dari gelanggang politik, para ulama NU kemudian mengembangkan model politik baru: “politik kultural” yang mengembangkan berbagai bentuk dan mekanisme perlawanan terhadap pemerintah. Ada yang terlibat aktif advokasi membela rakyat dalam berbagai insiden dan perseeruan dengan pemerintah. Ada yang menggunakan medium pengajian dan dakwah sebagai instumen untuk mengkritik pemerintah. Ada pula yang menciptakan “fiqih sosial” yang dalam batas tertentu sebetulnya bermakna “fiqih perlawanan” terhadap langgam kekuasaan Orde Baru.

Di kalangan NU, dulu, sempat muncul anggapan bahwa ulama jangan mengurusi politik-kekuasaan karena dunia politik-kekuasaan itu profan dan korup yang tidak layak ulama yang berkecimpun di bidang spiritual-keagamaan yang sakral. Meskipun sekarang masih banyak para ulama di lingkungan NU yang “emoh” berpolitik praktis dan lebih memilih “jalur budaya”. Tetapi pandangan ekstrim tentang larangan berpolitik praktis bagi ulama itu mulai memudar seiring dengan tumbangnya Pak Harto dan Order Baru.

***

Kini, pemandangan sudah berubah. Karena ada peluang dan kesempatan, para ulama politik berhamburan dimana-mana. Saya sendiri secara pribadi tidak mempermasalahkan “ulama politik”. Itu hak masing-masing individu untuk menentukan pilihan-pilihan politiknya. Berpolitik praktis silakan, tidak juga silakan. Mau mendukung paslon ini-itu silakan, mau menolak paslon-itu juga silakan. Islam sama sekali tidak melarang umatnya untuk berpolitik praktis. Hanya saja penolakan dan dukungan itu hendanya dilakukan dengan cara-cara santun dan elegan, bukan dengan sikap kekerasan dan makian.

Semangat persaudaraan sebagai seiman, seagama, sebangsa, senegara dan sesama umat manusia harus terus dijaga, dirawat, dan dilestarikan jangan sampai hancur berkeping-keping hanya karena berebut “kue kekuasaan”. Pula, keterlibatan ulama di dunia politik praktis (baik langsung maupun tidak langsung) harus diniati atau dimotivasi untuk menciptakan keadilan sosial, kemaslahatan umat, dan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk memenuhi ambisi politik-kekuasaan pribadi maupun untuk membantu mengembangbiakkan ideologi dan ormas keagamaan tertentu.

Jika ada ulama yang ingin terjun langsung menekuni profesi sebagai politisi dan birokrat juga sah-sah saja. Yang mestinya diperdebatkan adalah bukan boleh tidaknya ulama masuk kekuasaan melainkan mampu dan tidaknya mereka jika ikut berkompetisi di dunia politik kekuasaan yang profan dan korup itu. Di sinilah diperlukan pra-syarat berupa kompetensi personal, yakni kualitas individual, integritas moral, dan kemampuan untuk memahami politik dengan baik. Jika para ulama memiliki kapabilitas untuk memahami dan mengelola politik, kenapa tidak mereka diberi kesempatan untuk ikut bertarung di panggung politik?

Tetapi sebaliknya, jika—mohon maaf—ulama itu hanya bisa mengimami salat, mengaji, berkhutbah, mengisi pengajian atau ceramah saja, sementara “nol jumbo” wawasan politik-pemerintahannya, maka sebaiknya memang mereka mengambil peran sebagai “penyokong moral,” pengayom masyarakat dan penjaga aset kultural saja seperti yang pernah dipraktekkan oleh Walisongo dan para ulama tempo doeloe. Peran ini akan jauh lebih bermanfaat untuk umat dan masyarakat ketimbang ikut-ikutan terjun ke kancah politik yang bisa jadi justru “menjerumuskan” ulama itu sendiri karena “watak” kekuasaan yang korup itu.[]

Sumber: Deutsche Welle

Artikulli paraprakBisnis Agama untuk Kekuasaan
Artikulli tjetërBangsa Kuli, Mental Inlander?
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini