Beranda Opinion Bahasa Arab, Israel dan Yahudi

Arab, Israel dan Yahudi

904
0

Menarik memperhatikan dinamika hubungan negara dan bangsa Arab dengan Israel maupun Yahudi di Timur Tengah (Timteng). Yang saya maksud dengan “Israel” disini mengacu pada negara modern Israel yang mendeklarasikan kemerdekaan sejak 1948. Sedangkan kata “Yahudi” mengacu pada etnis atau suku-bangsa Yahudi (baik yang menganut Yudaisme maupun bukan) yang tersebar di seantero Timteng yang sudah eksis ribuan tahun jauh sebelum pendirian negara modern Israel.

Tidak seperti yang dibayangkan oleh sebagian warga Indonesia yang memandang buruknya relasi Arab-Israel/Yahudi, hubungan mereka di Timteng sesungguhnya sangat dinamis, tidak melulu diwarnai dengan kekerasan dan permusuhan tetapi juga perdamaian dan pertemanan.

Tentu saja konflik Yahudi-Arab di Palestina sejak 1920an yang didukung dan dikompori oleh Inggris dan Zionis kemudian beberapa kali perang antara Israel dengan sejumlah negara Arab sejak 1948 sebagai buntut dari partisi atau pembagian Palestina oleh PBB (baca, Resolusi PBB 181) menjadi “negara Yahudi” (Israel) dan “negara Arab” (Palestina) turut mempengaruhi dan memperkeruh hubungan sebagian bangsa Arab dengan Israel maupun Yahudi.

Meskipun demikian, realitasnya, baik di tingkat negara maupun  masyarakat, relasi mereka tidak selamanya negatif dan destruktif. Bahkan di Israel dan Palestina sendiri, hubungan Arab-Yahudi tidak selalu buruk. Relasi positif dan konstruktif antara Arab dan Muslim dengan Israel dan Yahudi juga terjadi. Pada umumnya, masyarakat Arab membedakan mana “rezim militan Israel” dan mana “umat Yahudi”. Yahudi juga membedakan mana “rezim Palestina militan” (Hamas) dan mana masyarakat Arab Timteng yang tidak ada sangkut pautnya dengan faksi politik miltan Palestina.

Fenomena ini tentu saja sangat kontras dengan persepsi masyarakat Indonesia yang sebagian besar menganggap negara Israel = Yahudi dan Yahudi = Israel. Mereka juga mengasumsikan kalau Palestina = Muslim/Arab. Padahal Israel dan Yahudi atau Palestina dan Muslim/Arab adalah kategori atau entitas yang berbeda.

Sebagai sebuah teritori politik, Israel dihuni oleh warga dari berbagai etnis, suku-bangsa, dan agama termasuk Arab, Druze, Berber, Muslim, Kristen, dlsb. Jadi bukan melulu Yahudi. Tercatat sekitar 20 persen penduduk Israel adalah Arab. Palestina pun begitu. Ada beragam etnis, suku-bangsa, dan agama di kawasan ini, bukan hanya Arab dan Muslim. Yahudi pun banyak disini.  

Masing-masing kelompok etnik-agama ini, baik di Israel maupun Palestina, memiliki pandangan, sikap, dan praktik beragam dalam hal kepolitikan maupun keagamaan. Misalnya, tidak semua kelompok Yahudi itu mendukung aneksasi Israel atas Palestina. Begitu pula tidak semua masyarakat Arab itu pro-Hamas. Jadi sangat variatif dan dinamis.       

Hubungan Arab-Israel

Jamak dimaklumi kalau sejumlah negara Muslim/Arab di Timteng seperti Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Maroko, dan Sudan belakangan ini menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Menlu Israel Yair Lapid sendiri, seperti dilansir The Times of Israel, secara terang-terangan ingin memperluas hubungan diplomatik dengan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dimanapun termasuk Indonesia. Sebelumnya, Mesir, Yordania, dan Turki sudah lama menjalin hubungan diplomatik maupun dagang dengan Israel. Turki bahkan sudah sejak tahun 1949.

Meskipun hingga kini Oman, Qatar, Kuwait, dan Arab Saudi belum menyusul negara-negara tetangga mereka di kawasan Teluk Arab (atau Teluk Persia), hubungan informal dan “bawah tanah” para pejabat tinggi negara dengan Israel sudah berlangsung lama.

Omar Rahman, spesialis kajian Timteng dari Brookings Doha Center, mencatat komunikasi politik, kerjasama bisnis/dagang, atau pertukaran intelijen antara negara-negara Arab, terutama yang tergabung di GCC (Gulf Cooperation Council, yaitu Arab Saudi, UEA, Kuwait, Qatar, Bahrain, dan Oman) di kawasan Teluk Arab yang dikenal makmur, maju, dan kaya minyak, dengan Israel sudah berlangsung lama, khususnya sejak penandatanganan Perjanjian Oslo (Oslo Accords) antara otoritas Palestina (Organisasi Pembebasan Palestina) dan Israel tahun 1993.  

Tercatat, misalnya, sejak 1990an, Israel membuka kantor-kantor niaga di Qatar, Oman, dan lainnya. Arab Saudi belakangan juga intens membangun komunikasi politik-ekonomi tingkat tinggi dengan Israel serta menjajagi kerjasama di bidang bisnis, keamanan, pertahanan, pertanian, dan teknologi modern (seperti Artificial Intelligence). Negara-kerajaan ini juga gencar membangun kawasan AlUla yang sangat kaya dengan peninggalan arkeologi-kesejarahan purba, termasuk jejak Yahudi yang pernah mendiami Jazirah Arabia di masa lampau, antara lain bertujuan untuk  menarik turisme Yahudi-Israel.

Pembukaan hubungan diplomatik antara Israel dan sejumlah negara Arab tersebut membawa sejumlah konsekuensi logis. Misalnya, Israel bisa membuka kantor kedutaan (atau konsulat) di negara-negara tersebut (begitu pula sebaliknya). Pemegang paspor Israel juga boleh leluasa keluar-masuk wilayah negara-negara Arab tersebut (begitu juga sebaliknya). Jadi mereka tidak perlu kucing-kucingan lagi seperti dulu. Apalagi kini penerbangan langsung dari dan ke Israel sudah dibuka.

Sebelumnya, pemegang paspor Israel (baik yang Yahudi maupun bukan) dilarang masuk ke negara-negara Arab Timteng. Berbagai negara Arab juga melarang warganya (baik yang Muslim maupun bukan) masuk teritori Israel. Karena itu biasanya kalau ada warga Arab non-Israel yang ingin masuk teritori Israel, misalnya untuk keperluan turisme atau mengunjungi teman dan kerabat, mereka minta petugas imigrasi untuk tidak mengstempel paspor mereka. Petugas sudah maklum mengenai “kongkalikong” kecil-kecilan ini.

Selain itu, hubungan ekonomi dan bisnis Arab-Israel juga semakin “lancar jaya” dan terang-terangan tidak lagi sembunyi-sembunyi seperti dulu lagi. Berbagai kerja sama investasi dan bisnis di berbagai bidang pun diteken. Di antara negara-negara Arab yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, UEA sepertinya yang paling gencar bekerja sama di berbagai sektor bukan hanya urusan dagang saja tetapi juga kerjasama di bidang kemiliteran dan teknologi canggih.  

Sejumlah pengamat menilai “normalisasi” hubungan Arab-Isarel ini karena didorong oleh sejumlah hal mendasar seperti untuk menghadapi ancaman dari (1) negara ekspansionis Iran yang sering memakai “kaki tangannya” (seperti Hezbullah, Houti, dlsb) untuk mengganggu urusan “dalam negeri” negara-negara Arab serta (2) gerakan politik kelompok militan Islamis transnasional.

Baik Iran maupun kelompok Islamis militan sama-sama dianggap membahayakan bagi stabilitas keamanan internal serta eksistensi kepolitikan dan pemerintahan negara-negara Arab. Alasan lain adalah faktor perekonomian yang lumayan lesu akibat krisis minyak beberapa tahun terakhir ini ditambah serbuan pandemik covid yang meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian global.        

Hubungan Arab-Yahudi

Sekarang bagaimana dinamika hubungan bangsa Arab, terutama Arab Muslim, dan Yahudi? Seperti relasi Arab-Israel yang dinamis, hubungan Arab-Yahudi juga sama. Sangat dinamis. Tidak monolitik. Tentu saja bagi sejumlah kelompok Islam garis geras seperti Hizbullah, Ikhwanul Muslimin, Houti, ISIS, Jabhah al-Nusra, al-Qaeda al-Arabia, dlsb, Yahudi dianggap umat terkutuk sehingga harus diperangi dan dilenyapkan dari muka bumi.

Tetapi tidak semua bangsa Arab dan umat Islam Timteng memiliki sentimen, spirit, dan antusiasme seperti faksi militan-konservatif tadi. Banyak yang mengabaikan dan mengkritik pandangan dan propaganda mereka. Di tingkat akar rumput, jalinan masyarakat Arab/Muslim dan Yahudi berjalan normal. Bahkan mereka turut melindungi sinagog (tempat ibadah umat Yahudi).

Ada beberapa sinagog diluar Israel yang masih eksis hingga kini di Timteng. Misalnya Eliyahu Hanavi Sephardik di Mesir, Slat Alfassiyine di Maroko, Magen Abraham di Libanon, El Ghriba di Tunisia, Pol-e-Khoubi di Iran, Neve Shalom di Turki, dlsb. Indonesia juga mempunyai sinagog di Surabaya dan Manado. Saya sendiri sempat mengunjungi sinagog di Manado. Sayang sinagog yang di Surabaya sudah dihancurkan dan konon dibangun sebuah hotel di area tersebut.

Perlu diketahui, di Timteng, Yahudi bukan hanya tinggal di Israel. Meskipun di Timteng (termasuk Afrika Utara), sebagian besar populasi Yahudi berada di Israel (sekitar 6,9 juta), mereka tersebar di negara-negara lain termasuk Iran, Maroko, Tunisia, Mesir, Bahrain, Uni Emirat Arab, Yaman, Libanon, Yordania, Palestina, dlsb. Di Palestina, ada sekitar setengah juta umat Yahudi, menurut data dari Jewish Virtual Library dan World Population Review. Negara dengan populasi Yahudi terbanyak adalah Amerika Serikat (sekitar 7,3 juta atau 48% dari total populasi Yahudi yang kini mencapai 15,2 juta). Yang menarik, menurut data ini, ada sekitar 300an umat Yahudi di Indonesia.

Sebagaimana Arab dan umat Islam, umat Yahudi Timteng juga beraneka ragam dalam hal mazhab pemikiran, pandangan keyahudian, dan praktek keagamaan. Dari yang ultrakonservatif sampai yang ultraliberal semua ada. Meskipun mereka tersebar di seantero Timteng, mereka tidak berani mengekspresikan secara terang-terangan aktivitas sosial-keagamaan di ruang publik dengan menggunakan simbol dan identitas keyahudian (selain di Israel tentunya). 

Tetapi belakangan ini, sebagai dampak normalisasi hubungan diplomatik Arab-Israel, umat Yahudi di negara-negara Teluk Arab membentuk sebuah ormas bernama Associaton of Gulf Jewish Communities yang diketuai oleh Rabbi Elie Abadie. Tentu saja ini sebuah sinyal positif dan menggembirakan.

Peluang Hubungan Indonesia-Israel

Seperti sejumlah negara Arab Timteng, tidak ada salahnya jika Indonesia juga melakukan hubungan diplomatik dan dagang dengan Israel. Jika ada kendala konstitusi yang menghambat hubungan diplomatik Indonesia-Israel, ya tinggal diamandemen saja. Zaman sudah berubah pesat jadi perlu terobosan pesat juga, apalagi Menlu Isarel sudah memberi sinyal positif. 

Dibandingkan dengan Palestina, membangun relasi bisnis apalagi diplomatik dengan Israel itu akan sangat strategis dan menguntungkan Indonesia. Kalau dengan Palestina saja Indonesia sudah menjalin hubungan dagang dan diplomatik, harusnya lebih intensif dengan Israel supaya lebih imbang. Jadi, bersahabat dengan Palestina harus tetapi berteman dengan Israel juga penting.


Karena jika dilihat dan diukur dari aspek manapun–ekonomi, bisnis, teknologi, pendidikan, SDM, dlsb–Israel jauh lebih unggul dan lebih maju daripada Palestina. Penduduk Israel juga sekitar dua kali lipat dari penduduk Palestina yang cuma 5 juta jiwa. Produk Domestik Bruto (PDB) Palestina cuma sekitar US$ 16,2 Milyar (bandingkan dengan Israel yang mencapai US$ 394,7 Milyar). Perguruan tinggi di Israel juga banyak yang berkualitas dan berkelas dunia seperti Tel Aviv University, Hebrew University, dlsb. Palestina mana?

Apalagi secara geografi, Indonesia jauh sekali dari Israel sehingga konflik Israel-Palestina tidak akan merugikan dan membawa dampak apapun bagi Indonesia. Kalau sejumlah negara Arab Timteng yang secara teritori lebih dekat dengan Israel saja berani menjalin hubungan diplomatik dan niaga dengan Israel, kenapa Indonesia tidak?

Keterangan: tulisan ini semua diterbitkan di Kompas, 5 Maret, 2022

Artikulli paraprakSelamat Jalan Mas Amir
Artikulli tjetërLanguage, Islam, and Muslim Societies: Perspectives from the Asia-Pacific
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini