Beranda Opinion Bahasa Dilema Pengungsi di Timur Tengah

Dilema Pengungsi di Timur Tengah

425
0

Saat mengunjungi Lebanon beberapa tahun silam, saya sempatkan mampir ke sebuah kawasan yang dihuni banyak pengungsi. Di sini [khususnya Lebanon dan Suriah], pengungsi tersebar di sejumlah daerah: Homs, Jabal Saman, Idleb, Ar-Raqqa, Bekaa (Biqa), dan lain-lain. Teman saya, warga Arab Lebanon, yang merangkap pemandu jalan, menjelaskan, sebagian besar pengungsi itu berasal dari Suriah dan Palestina. Selebihnya dari negara-negara lain, seperti Irak.

Sebagaimana laiknya tempat dan kamp pengungsian, situasi dan kondisi lokasi penampungan para pengungsi di Lebanon sangat memprihatinkan. Menurut data Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Lebanon menampung sekitar 1,5 juta pengungsi Suriah serta ratusan ribu pengungsi Palestina dan negara lain di Timteng. Dalam laporan bertajuk ”The Vulnerability Assessment for Syrian Refugees in Libanon”, yang ditulis UNHCR, Unicef, dan Program Pangan Dunia PBB (WFP), sekitar 90 persen dari pengungsi Suriah (dan juga Palestina) tersebut dinyatakan dalam kondisi ”kemiskinan ekstrem” dan perlu respons segera.

Gelombang pengungsi Suriah di Lebanon dimulai sejak 2011 ketika perang sipil mulai meletus. Sementara pengungsi Palestina datang jauh lebih awal karena perang Israel-Palestina sudah berlangsung lama, sejak pendirian negara Israel tahun 1948 yang kemudian memicu ketegangan sejumlah negara Arab. Perang antara Israel dan sejumlah negara Arab (termasuk Mesir, Jordania, Suriah, dan Palestina) pun tak terelakkan. Perang Arab-Israel berakhir dengan kemenangan Israel tahun 1949 dan menyebabkan wilayah Palestina terbelah jadi tiga bagian: negara Israel, Tepi Barat (di kawasan Sungai Jordania dan Laut Mati), serta Jalur Gaza (di kawasan Laut Mediterania dan perbatasan Mesir).

Perang Arab-Israel 1948/1949, menurut data Center for Preventive Action, menyebabkan sekitar 750.000 warga Arab Palestina mengungsi ke sejumlah daerah di Palestina (khususnya Tepi Barat dan Jalur Gaza) ataupun kawasan Timteng lain, khususnya Lebanon, Jordania, dan Suriah. Perang Israel-Arab/Palestina tak hanya berlangsung saat itu. Sudah puluhan kali perang Israel-Palestina meletus (termasuk Perang Israel-Hamas tahun 2023 saat ini) sehingga menjadi perang terlama di Timteng. Berkali-kali pula, perang ini menyebabkan gelombang pengungsi warga setempat (Palestina) ke berbagai kawasan di Timteng, Eropa, dan Amerika, baik atas inisiatif sendiri maupun di bawah naungan PBB.

Penyuplai dan penampung

Menurut laporan UNHCR Global Focus, di pengujung 2022, ada sekitar 2,4 juta pengungsi, 12,6 juta internally displaced people (IDPs), 251.800 pencari suaka, dan 370.300 orang tanpa status kewarganegaraan (stateless people) di seantero Timteng dan Afrika Utara. Belum jelas apakah data ini sudah termasuk kelompok ”Arab Bidun” atau ”Bidun Jinsiyah”, yakni warga Arab yang tidak mempunyai negara dan identitas nasional, yang hidup terlunta-lunta di sejumlah wilayah gurun Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), dan Irak.

Para pengungsi dan kelompok lainnya ini kebanyakan karena kekerasan dan perang (baik perang sipil seperti terjadi di Yaman, Suriah, Irak, Sudan, Libya, dan lainnya maupun perang antarnegara, seperti Perang Teluk 1 antara Irak dan Iran serta Perang Teluk 2 antara Irak dan Kuwait) yang melanda negara mereka. Sebagian besar wilayah Timteng dan Afrika Utara adalah daerah rawan perang dan kekerasan sosial-politik-struktural sehingga wajar kalau kawasan ini menjadi salah satu ”pusat pengungsi” terbesar di dunia. Sebagian lagi karena masalah kemiskinan, malagizi, atau minimnya lapangan pekerjaan.

Negara-negara yang jadi penyuplai atau penampung (host) pengungsi sangat kompleks. Ada negara yang menjadi penampung pengungsi saja, misalnya Jordania, Lebanon, atau negara-negara di kawasan Teluk Arab/Persi, seperti Arab Saudi, UEA, Kuwait, Oman, Qatar, dan Bahrain. Ada juga yang jadi penampung dan penyuplai sekaligus, misalnya Suriah, Irak, Yaman, atau Palestina. Di Afrika Utara, Sudan termasuk negara penyumbang pengungsi, Maroko menjadi penampung pengungsi, sementara Libya (juga Mesir dan Tunisia) penampung dan penyumbang pengungsi. Dalam hal ini, Lebanon menjadi contoh menarik. Meskipun negaranya tak stabil, ekonominya kurang baik, serta berkali-kali terjadi kekerasan, terorisme, konflik sosial, dan perang sipil (misalnya Sunni-Syiah), hal itu tidak memicu gelombang pengungsi warga setempat.

Kondisi sosial-ekonomi

Secara umum, kondisi sosial-ekonomi jutaan pengungsi sangat buruk dan memprihatinkan. Sebagian besar hidup serba kekurangan fasilitas, tinggal di kamp-kamp dengan tenda atau bangunan seadanya, serta mengandalkan bantuan/suplai makanan dan pakaian dari lembaga donor internasional ataupun lokal dan pemerintah yang menjadi tuan rumah pengungsi. Anak-anak juga tidak bisa melanjutkan sekolah secara layak.

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan buruknya kondisi sosial-ekonomi pengungsi, antara lain keterbatasan lembaga-lembaga donor yang mengurusi pengungsi yang tak sebanding dengan jumlah pengungsi yang demikian besar. Selain itu, minimnya dukungan politik-ekonomi-finansial negara-negara penampung. Sebagian negara penampung itu masih berjuang keras mengatasi problem kemiskinan dan pengangguran di negaranya sendiri. Yaman, misalnya. Negara ini masuk kategori negara termiskin dan terkrisis di dunia. PBB memperkirakan lebih dari 80 persen warganya hidup di bawah garis kemiskinan. Sebanyak 66 persen di antaranya membutuhkan bantuan kemanusiaan serta lebih dari 5 juta penduduk, termasuk anak-anak, mengalami kelaparan dan malagizi.

Sementara itu, karena perang sipil berkepanjangan, Yaman harus menampung lebih dari 4,5 juta IDPs (warga Yaman yang kehilangan tempat tinggal akibat perang) serta ratusan ribu pengungsi dan pencari suaka, termasuk dari Somalia dan Etiopia. Problem yang lebih kurang sama juga dialami negara-negara lain di Timteng dan Afrika Utara, seperti Lebanon, Suriah, Irak, Aljazair, dan Palestina.

Respons pemerintah

Respons pemerintah Timteng sangat beragam dalam menyikapi masalah pengungsi. Jordania, sebagai penampung pengungsi Palestina terbesar di Timteng sejak Perang Arab-Israel 1948/1949, misalnya, membolehkan pengungsi yang tinggal di kamp-kamp untuk mengakses fasilitas publik. Pemerintah juga membolehkan sebagian pengungsi Palestina untuk mendapatkan akses pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.

Dari sekitar 2 juta pengungsi Palestina di Jordania, pemerintah hanya memberikan status kewarganegaraan kepada sekitar 167.000 pengungsi, khususnya yang berasal Tepi Barat. Sementara pengungsi dari Jalur Gaza dibatasi oleh pemerintah karena kekhawatiran akan pengaruh ideologi militan Hamas. Perang Israel-Hamas menimbulkan sekitar 5.200 korban jiwa dan 18.500 korban luka dari kedua belah pihak dalam kurun 7-19 Oktober 2023. Di samping korban tewas dan korban luka, ada pula masalah kemanusiaan lain yang pelik, yaitu pengungsi.

Menariknya, belakangan Raja Abdullah memberikan peringatan keras pada kelompok yang coba mendorong para pengungsi baru Palestina akibat Perang Israel-Hamas saat ini untuk ke Jordania atau Mesir. Raja mengusulkan agar para pengungsi tetap ditampung di wilayah sekitar Jalur Gaza atau Tepi Barat. Di Lebanon, dinamikanya cukup berbeda. Seperti Jordania, Lebanon juga menjadi penampung pengungsi Palestina sejak Perang Arab-Israel 1948/1949. Para pengungsi Kristen Palestina, karena dukungan dari kelompok Kristen Maronite Lebanon, hampir bisa dipastikan mendapat status kewarganegaraan penuh. Sebagian pengungsi Muslim (Sunni ataupun Syiah) juga mendapat status kewarganegaraan.

Sebagian besar pengungsi Palestina hidup serba terbatas. Hingga 2005, pemerintah melarang pengungsi Palestina yang tak punya ”KTP Lebanon” bekerja resmi di ”sektor formal” meski belakangan ada sedikit perubahan kebijakan. Sikap Pemerintah Lebanon terhadap pengungsi Suriah lebih ketat lagi sehingga kondisi mereka sangat memprihatinkan.

Pemerintah (seperti belakangan diungkapkan oleh caretaker PM Najib Mikati) terang-terangan mengkhawatirkan gelombang pengungsi Suriah yang berpotensi mengubah demografi, menyerobot lapangan pekerjaan warga, memperbanyak jumlah penganggur, dan memengaruhi kehidupan sosio-kultural masyarakat Lebanon. Pemerintah memberikan mandat kepada para tentara yang menjaga perbatasan Lebanon-Suriah untuk mencegah pengungsi baru Suriah yang coba masuk wilayah Lebanon. Seperti Jordania dan Lebanon, Suriah juga sudah lama menampung pengungsi Palestina. Namun, sejak perang sipil meletus tahun 2011, banyak dari mereka yang kabur ke daerah lain di Timteng atau ke Eropa (lewat jalur laut). Hal yang sama juga dilakukan oleh warga Suriah.

Perang sipil di Suriah dan Irak telah menyebabkan gelombang baru pengungsi Timteng di Eropa. Arab Saudi juga menampung sebagian pengungsi Palestina, tetapi mereka tak diberi hak untuk mendapat status kewarganegaraan. Irak juga menampung pengungsi Palestina, tapi sejak perang sipil meletus, mereka sebagaimana warga Irak, banyak yang kabur ke Lebanon atau Jordania.

Solidaritas Islam/Arab

Dalam banyak hal, ”solidaritas Islam/Arab” hanyalah sebatas jargon/slogan politik. Dalam praktiknya, tak mudah dilaksanakan karena setiap negara memiliki problem sosial-politik-ekonomi dan kepentingan nasional sendiri. Mengurusi warga negara sendiri saja masih jadi pekerjaan rumah besar, apalagi mengurusi ”pengungsi asing”.

Konflik antarnegara juga bisa memengaruhi sikap pemerintah terhadap pengungsi. Misalnya, Kuwait dulu di awal 1990-an pernah mengusir ratusan ribu pengungsi Palestina karena Yasser Arafat bersekutu dengan Saddam Hussein yang menyerbu Kuwait pada Perang Teluk II. Sementara Iran tidak mau menampung pengungsi warga Kurdi Irak karena kekhawatiran pengaruh ideologi dan gerakan politik mereka.

Jadi, ambivalensi sikap pemerintah di Timteng terhadap pengungsi bisa karena faktor internal, konflik antarnegara, atau kekhawatiran terhadap pengungsi yang bisa mengganggu stabilitas kehidupan sosial, ekonomi, dan politik negara mereka. Bagi pemerintah Timteng, kepentingan negara lebih diutamakan ketimbang solidaritas Islam/Arab.

*Keterangan: tulisan ini semula diterbitkan di Kompas, 2 Desember 2023. https://www.kompas.id/baca/opini/2023/12/01/dilema-pengungsi-di-timur-tengah?open_from=Search_Result_Page

Artikulli paraprakThe Refugee Dilemma in the Middle East
Artikulli tjetërWhy is the divorce rate so high in Saudi Arabia?
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.