Beranda Facebook Post Pasang-Surut Pendidikan Perempuan di Arab Saudi

Pasang-Surut Pendidikan Perempuan di Arab Saudi

662
0

Meskipun sekarang, di bawah bendera Visi Saudi 2030, perempuan mendapatkan akses pendidikan (termasuk pendidikan tinggi) yang luar biasa di Arab Saudi, sejarah perempuan dan dunia pendidikan di negara-kerajaan ini tidak semulus yang dibayangkan. Selama puluhan tahun mengajar di sebuah kampus milik kerajaan di Arab Saudi (King Fahd University of Petroleum & Minerals), saya mengamati fenomena pasang-surut pendidikan perempuan dan bahkan acapkali tidak mengenakkan. Semua tergantung pada corak rezim politik kerajaan dan kelompok agama yang berkuasa.

Sebagaimana negara-negara lain, termasuk negara-negara Barat, dunia pendidikan formal–dari yang dasar hingga/apalagi perguruan tinggi–di Arab Saudi (dan kawasan Timur Tengah pada umumnya) adalah “dunia laki-laki.” Selama berabad-abad atau bahkan milenia, tempat pendidikan bagi perempuan di belahan dunia manapun adalah rumah atau kalau untuk keluarga elite negara adalah istana, bukan institusi pendidikan formal seperti sekolah, madrasah, atau kampus. Dengan kata lain, sifatnya “pendidikan informal.” Materi yang disampaikan pun terbatas pada masalah akhlak, budi pekerti, kepantasan bersikap, ketaatan pada laki-laki (suami) atau orang tua, atau yang berkaitan dengan keterampilan/kerajinan tangan. Singkatnya mendidik untuk menjadi “ibu/istri yang baik dan salehah untuk suami dan anak-anak.”

Dalam konteks Timur Tengah, termasuk Jazirah Arab, sebelum pendirian “lembaga pendidikan formal” yang bernama madrasah di Abad Pertengahan (khususnya di masa Dinasti Saljuq), perpustakaan dan masjid juga digunakan sebagai tempat belajar-mengajar. Masjid Haram di Makah misalnya sudah lama digunakan sebagai pusat pembelajaran. Tetapi lagi-lagi, hanya laki-laki yang boleh belajar dan “sekolah” di masjid atau perpustakaan.  

Meskipun berakar sejak abad ke-18, Kerajaan Arab Saudi modern seperti tampak sekarang ini baru dideklarasikan tahun 1932 oleh Raja Abdulaziz (1875-1953) yang populer dengan sebutan Ibnu Saud. Meski demikian baru pada awal 1950an pemerintah mencanangkan pembangunan sekolah dasar dan menengah (baca, madrasah) secara nasional setelah mendapatkan keuntungan melimpah dari hasil penjualan minyak. Penting untuk diketahui walaupun program nasional pendirian madrasah baru dicanangkan pada awal 1950an, institusi madrasah sudah ada di Makah sejak abad ke-12. Madrasah pertama di Makah berdiri tahun 1175 bernama Madrasah al-Ursufi, didirikan oleh pengusaha Suriah Afif Abdullah bin Muhammad al-Ursufi. Sedangkan pendirian universitas pertama baru dimulai tahun 1957, yaitu King Saud University. Setelah itu baru Universitas Islam Madinah dan universitas saya, King Fahd University of Petroleum & Minerals.    

Pionir Pendidikan Perempuan dari Indonesia

Pemerintah Saudi secara resmi mencanangkan pembangunan madrasah bagi perempuan pada awal 1960an. Meski begitu bukan berarti sebelumnya tidak ada lembaga pendidikan bagi perempuan. Yang menarik, para pionir pendidikan perempuan di Arab Saudi adalah sejumlah ulama Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, yang menetap di Makah. Di antara mereka adalah Muhammad Yasin bin Isa (Syekh Yasin) dan istrinya Siti Aminah serta Siti Khairiyah (putri pendiri NU KH Hasyim Asy’ari dan istri KH Abdullah Muhaimin Lasem).

Pada pertengahan 1950an, Syekh Yasin (1916-1990), seorang ulama prolifik berdarah Minang yang menulis banyak kitab, mendirikan dua lembaga pendidikan yang didedikasikan untuk anak-anak perempuan, yaitu Ma’had al-Mu’alimat al-Ahliyah dan Madrasah Ibtidaiyah li al-Banat al-Ahliyah. Syekh Yasin juga salah satu pendiri Madrasah Darul Ulum di Makah (tahun 1934) yang pernah masyhur sebagai pusat pendidikan bagi para siswa Asia Tenggara di Makah.     

Syekh Yasin mendirikan lembaga pendidikan perempuan karena didorong oleh sejumlah alasan. Misalnya, karena lebih banyak tinggal di rumah, perempuan (ibu) lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak. Para ibu juga yang lebih banyak mendidik anak-anak mereka di rumah. Oleh karena itu, membekali perempuan dengan ilmu pengetahuan akan ikut membantu memuluskan jalan bagi kelancaran pendidikan anak-anak. Jika perempuan (ibu) mendapat pendidikan dengan baik, kata Syekh Yasin, maka anak-anak pun akan mendapatkan pendidikan yang baik pula. Alasan lain, karena sebelumnya banyak perempuan yang belajar di kediamannya.

Bisa dikatakan, Syekh Yasin adalah salah satu peletak dasar pendidikan perempuan di luar rumah serta pembela hak-hak pendidikan bagi kaum perempuan, sesuatu yang tidak lumrah dilakukan di Arab Saudi kala itu. Pada saat itu, kelompok Islam ultrakonservatif Saudi, khususnya yang berhaluan Salafi-Wahabi, masih menganggap tabu dan haram bagi perempuan untuk belajar dan sekolah di luar rumah.

Istri Syekh Yasin, Siti Aminah, juga mendirikan sekolah perempuan bernama Jam’iyyah Khairiyah di akhir 1950an. Pendirian lembaga pendidikan ini didedikasikan untuk Siti Khairiyah yang pada 1942 pernah mendirikan madrasah untuk perempuan bernama Madrasah Khuttab al-Banat meskipun hanya bertahan selama beberapa tahun. Tidak jelas apa penyebabnya. Ada sumber yang mengatakan karena pendirinya wafat atau pulang ke Indonesia.

Sayangnya, semua sekolah yang didirikan oleh para tokoh Indonesia di Makah, baik yang untuk perempuan maupun laki-laki (misalnya Madrasah Darul Ulum yang didirikan oleh Syekh Yasin dkk atau Madrasah Indonesia al-Makkiyah yang didirikan oleh Janan Muhammad Tayyip dan Muhammad Nur Salim) tidak bisa berlangsung lama karena sejumlah faktor seperti tidak ada penerusnya, kekurangan dana operasional, atau lantaran diakuisisi oleh pemerintah Saudi.

Peran Sentral Effat Al Thunayyan dan Raja Faisal      

Sementara itu untuk tokoh Saudi yang bisa dikatakan sebagai pionir pendidikan perempuan adalah Effat Al Thunayyan (1916-2000) dan tentu saja suaminya, Raja Faisal bin Abdulaziz Al Saud (1906-1975). Tanpa dukungan sang suami, sulit (bahkan mustahil) bagi Effat untuk memuluskan jalan bagi upaya pendidikan perempuan di Arab Saudi apalagi waktu itu banyak kelompok Salafi-Wahabi garis keras yang kontra pendirian sekolah perempuan masih memiliki pengaruh. Raja Faisal dulu sampai mengerahkan tentara untuk menghalau para pendemo yang menghalangi jalan pemerintah membangun sekolah perempuan di Buraidah, salah satu kawasan, pusat, atau “sarang” kelompok militan ultrakonservatif Wahabi.

Raja Faisal adalah seorang tokoh politik modern, visionir, inovatif, progresif, serta pro-emansipasi perempuan yang banyak meletakkan dasar-dasar perubahan sosial-budaya di Arab Saudi yang kelak memengaruhi kebijakan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MbS). Pada 1970, Raja Faisal membangun Riyadh University for Women yang kelak menjelma menjadi “universitas perempuan” terbesar di dunia. Pada 2008, univeritas ini diberi nama baru: Princess Nourah bint Abdulrahman University. Nourah adalah kakak sekaligus penasehat Raja Abdulaziz, pendiri Kerajaan Arab Saudi modern, yang berhaluan progresif dan anti-konservatisme.

Seperti suaminya, Effat yang berdarah campuran Arab-Turki ini adalah sosok perempuan visionir dan progresif, pendidik (edukator) yang gigih dan ulet serta guru yang moderat dan modern. Semua anaknya didikan kampus di Amerika maupun Inggris: Harvard, Princeton, Georgetown, Cranwell, dan Sandhurst.

Sebelum pemerintah secara resmi menginisiasi pendirian madrasah perempuan di awal 1960an, Effat sudah mendirikan sekolah swasta untuk perempuan bernama Darul Hanan di Jedah pada 1955. Nama “Darul Hanan” yang secara literal berarti “Rumah Kasih Sayang” dipilih sebagai simbol perhatian dan kasih sayang Effat pada anak-anak perempuan yang sudah seharusnya mendapat perhatian yang sama dengan laki-laki khususnya di bidang pendidikan. Pada tahun 1943, Effat juga membuka ruangan untuk perempuan di sebuah sekolah laki-laki di Taif. Tetapi tidak berlangsung lama karena diserbu oleh kelompok ultrakonservatif yang tidak setuju adanya sekolah perempuan.

Saat Darul Hanan pertama kali dibuka, ada 15 anak perempuan yang menjadi siswi sekolah, termasuk putrinya. Yang menarik, para siswi tidak diwajibkan memakai hijab. Setahun kemudian, tahun 1956, Effat menghibahkan tanah dan mendonasikan uang untuk membangun panti asuhan perempuan yatim-piatu yang juga dilengkapi dengan sekolah.

Kepeloporan Effat di dunia pendidikan perempuan tidak berhenti sampai di situ. Pada 1960, Effat memprakarsai pendirian sebuah perguruan tinggi khusus untuk perempuan di Riyadh yang diberi nama Kulliyat al-Banat. Kemudian pada awal 1970an, ia untuk pertama kalinya dalam sejarah Arab Saudi, mendirikan sebuah “community college” untuk perempuan. Kelak, tahun 1999, anak-anaknya khususnya Putri Lolowah dan Putri Sara, mendirikan Effat College, sebuah kampus perempan, yang pada 2009 menjadi Effat University. Kampus ini didirikan disamping Madrasah Darul Hannan yang Effat dirikan dulu. Effat University adalah kampus swasta pertama untuk perempuan yang didirikan di bawah payung King Faisal Charitable Foundation. 

Effat bukan hanya tokoh penting di balik reformasi pendidikan perempuan di Arab Saudi. Ia juga tokoh penting di balik gerakan emansipasi perempuan. Pada 1967, Effat mendirikan sebuah organisasi perempuan bernama Nahdlah al-Saudiyyah yang bertujuan untuk mendidik dan mengentaskan kaum perempuan buta huruf di Arab Saudi. Maka, jika sejak beberapa tahun terakhir ini ada gerakan masif emansipasi perempuan di Arab Saudi, maka bisa dikatakan itu berakar dari gagasan dan praktik Ratu Effat ini yang memiliki motto: “Didiklah dirimu! Seorang ibu, jika dididik dan dipersiapkan dengan baik, bisa menjadi sebuah sekolah dalam dirinya.”

Visi Saudi 2030

Sejak Raja Salman berkuasa tahun 2015 dan terutama sejak MbS menjadi Putra Mahkota tahun 2017, pendidikan perempuan mengalami proses perubahan dramatis. Di bawah payung “Visi Saudi 2030”, pemerintah gencar melakukan reformasi sosial-budaya termasuk di dunia pendidikan perempuan yang selama hampir 40 tahun nyaris termarjinalkan sejak kelompok Islam radikal ultrakonservatif diberi panggung oleh Raja Khalid di awal 1980an.

Kini perempuan mendapat “angin segar” di dunia pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Banyak beasiswa digelontorkan untuk mereka. Kampus-kampus diwajibkan memiliki kuota untuk perempuan. Dampaknya luar biasa. Data statistik pemerintah menunjukkan sekitar 69.9 persen pendaftar mahasiswa perguruan tinggi adalah perempuan. Para lulusan perguruan tinggi juga didominasi oleh perempuan. Sekarang banyak dari mereka yang bekerja di berbagai profesi di sektor publik yang dulu ditabukan oleh rezim agama.

Meski begitu, karena harus berkompetisi dengan laki-laki, penyerapan pekerjaan bagi perempuan masih belum maksimal. Di level manajerial dan posisi senior, perempuan baru terserap 6,8 persen. Problem lain adalah gaji yang menurut Global Gender Gap Report 2021 masih jauh dari gaji yang diterima laki-laki untuk profesi yang sama. Mekipun pemberdayaan dan egalitarianisme gender masih menjadi “PR” pemerintah, setidaknya kiprah dan partisipasi perempuan Saudi di sektor publik saat ini sudah jauh lebih baik dan manusiawi ketimbang era sebelumnya.

Sumber: Media Indonesia (15 Nov 2024). https://mediaindonesia.com/opini/718027/pasang-surut-pendidikan-perempuan-di-arab-saudi

Artikulli paraprakPro-Kontra Emansipasi Perempuan di Arab Saudi
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.