Beranda Opinion Bahasa Prahara Sudan

Prahara Sudan

418
0

Sudan, untuk kesekian kalinya, kembali dilanda kekerasan dan krisis kemanusiaan hebat. Antarfaksi kembali berperang dan berebut kekuasaan. Kali ini, terhitung sejak 15 April, yang berperang adalah faksi militer Abdel Fattah al-Burhan yang berkuasa sejak 2021 melalui kudeta militer versus rivalnya Mohamed Hamdan Dagalo, komandan Rapid Support Forces (quwwat ad-da’m as-sari’), sebuah organisasi paramiliter yang beranggotakan ratusan ribu milisi, khususnya dari kelompok Janjawid yang disinyalir menjadi salah satu aktor utama kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Darfur, Sudan Barat.

Tak pelak, akibat perang dan kekerasan ini, ratusan nyawa kembali melayang sia-sia. Harta benda kembali sirna. Ribuan lainnya kembali menderita luka-luka. Khartoum dan sejumlah kota lainnya kembali porak-poranda.

Perang antarfaksi militer kali ini hanya memperparah dan memperburuk situasi Sudan yang sudah lama mengalami krisis kemanusian kronis yang memakan korban jutaan jiwa, jauh dari apa yang terjadi di Palestina. UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs memperkirakan tahun 2023 ini setidaknya 15.8 juta penduduk Sudan (lebih dari tiga kali lipat penduduk Palestina) mengalami kelaparan dan membutuhkan bantuan kemanusiaan, 3.6 juta warga kehilangan tempat tinggal dan menjadi Internally Displaced People, 3.1 juta mengalami kekerasan berbasis gender, 10.1 juta mengalami krisis kesehatan, 4 juta mengalami malnutrisi (gizi buruk), 3.7 juta tidak mendapat akses pendidikan, dan 3.8 juta anak-anak hidup terlantar.

Sejarah Kekerasan

Entah sudah berapa kali Sudan yang lebih dari 90 persen berpenduduk muslim ini dilanda perang sipil dan kekerasan brutal yang memilukan. Sejak merdeka dari Inggris dan Mesir tahun 1956, Sudan berkali-kali mengalami kudeta militer yang berbuntut perang dan kekerasan yang memakan jutaan korban. Para penguasa Sudan bisa dipastikan tampil di panggung kekuasaan melalui kudeta berdarah. Jafar Nimeiri, Omar al-Bashir, Ahmed Awad ibn Auf, dan Abdel Fattah al-Burhan, semua memimpin melalui kudeta militer. Kini, Mohamed Hamdan Dagalo mencoba keberuntungan melalui cara dan taktik yang sama. Karena itu, tak salah jika Sudan bisa disebut sebagai “negeri kudeta.”

Tetapi harap diingat, perang dan kekerasan di Sudan bukan hanya terjadi setelah merdeka. Jauh sebelum merdeka, Sudan sudah akrab dengan perang dan kekerasan antarfaksi. Bahkan sejak pendirian Kerajaan Kerma tahun 2500 SM, Sudan sudah menjadi ajang perebutan kekuasaan berbagai kelompok. Sejak itu, berbagai faksi agama, politik, ideologi, dan suku terlibat saling serang, saling bunuh, dan saling balas dendam.

Berbagai suku-bangsa silih berganti berusaha menaklukkan Sudan: Nubia, Arab, Turki, Inggris, dan etnik-etnik Afrika. Berbagai rezim silih-berganti menguasai Sudan: Kush, Nubia, Sennar, Turki, Mahdi, Anglo-Mesir, dlsb. Berbagai kelompok ideologi dan agama (Islamisme, Salafisme, Sufisme, Sekularisme, Komunisme, Sosialisme, Pan-Arabisme, Republikanisme, dan lainnya) juga saling berusaha mempengaruhi dan mengontrol Sudan. Begitu pula berbagai aktivis partai politik, kelompok separatis, dan grup milisi/paramiliter juga saling baku hantam dan berebut kekuasaan. Semuanya ingin memerintah, mengontrol, dan menguasi Sudan.

Entah kapan perang dan kekerasan akan berakhir. Dimanapun kekerasan rakyatlah yang menjadi korban: pembunuhan, penjarahan, pemerkosaan, pembumihangusan, dlsb.

Pelajaran Berharga

Ada sejumlah pelajaran berharga yang bisa dipetik bagi bangsa dan pemerintah Indonesia dari kasus tragedi Sudan.

Pertama, pluralitas atau kemajemukan jika tidak dikelola dengan baik, cermat, dan hati-hati bisa berubah atau menjelma menjadi bencana dan malapetaka. Sebagaimana Indonesia, Sudan memang negeri yang sangat majemuk, baik dari aspek etnis, suku, klan, agama, politik, maupun kelompok ideologi. Berbagai kelompok etnis dan suku besar tinggal di Sudan: Arab, Nubia, Beja, Fur, Nuba, Dinka dlsb.

Ini belum termasuk ratusan sub-suku dan klan. Etnik Arab yang dominan di Sudan (lebih dari 70 persen) juga terpecah menjadi sejumlah faksi besar seperti Jalayin dan Juhainah yang masing-masing juga terpecah lagi menjadi sub-sub klan yang kompleks. Meskipun muslim mayoritas tetapi mereka terpecah belah menjadi berbagai kelompok: Islamis, Salafi, Sufi, nasionalis, sekularis, tradisionalis, komunis, dlsb. Tragisnya, masing-masing faksi agama, ideologi, politik, dan etnis atau suku ini ingin menjadi penguasa Sudan.

Kedua, demi kekuasaan, pemimpin (penguasa) bisa berubah bak bunglon dan bergabung dengan kelompok mana saja (sekalipun berseberangan secara ideologi) yang dipandang menguntungkan serta bisa mempertahankan atau menyelamatkan kekuasaan. Jelasnya, watak penguasa itu pragmatis-oportunis, jauh dari idealisme seperti yang mereka kampanyekan. Misalnya, Jafar Nimeiri, awalnya seorang sekularis, sosialis, dan pan-Arabis tetapi kemudian belakangan, awal 1980an, bergagung dengan kelompok militan Islamis (pendukung ideologi Islamisme) yang menyebabkan perang sipil berkepanjangan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Omar al-Bashir, penguasa terlama Sudan yang berhasil memerintah setelah mengkudeta kekuasaan Sadiq al-Mahdi yang juga seorang pemimpin ordo Sufi, al-Ansar.

Ketiga, ideologi, agama, dan aliran apapun yang dianut penguasa tidak menjamin negara dan rakyat menjadi adil, makmur, aman, damai, dan sentosa. Kelompok sekuler, sosialis, demokrat, nasionalis, Sufi, dan Islamis sudah silih berganti menguasai dan memerintah Sudan. Tetapi tidak ada satupun yang berhasil membawa Sudan menjadi negeri sejahtera, damai, dan bebas perang. Itu artinya bahwa identitas apapun yang dianut oleh penguasa tidak selalu berbanding lurus dengan tindakan atau perilaku mereka. Dengan kata lain, yang diperlukan oleh seorang pemimpin sejatinya bukan “identitas primordial” (agama, ideologi, atau etnis) yang melekat pada dirinya melainkan lebih pada watak dan perilaku yang bersih, jujur, dan adil; kemauan untuk bekerja demi kemaslahatan publik; serta komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan dan terpeliharanya keragaman.

Keempat, sistem politik-ekonomi dan hukum apapun yang dipakai, termasuk penerapan Syariat (Hukum) Islam secara formal yang dipaksakan oleh pemerintah sejak awal 1980an di era rezim Nimeiri sebelum dihapus tahun 2019, hanyalah “kendaraan” atau “alat tunggangan” rezim penguasa guna mengeruk atau menguasai aset-aset ekonomi dan kekayaan negara, bukan demi, misalnya, menegakkan Islam atau ideologi apapun seperti yang mereka propagandakan.

Demikianlah sekelumit kisah mengenai krisis dan tragedi Sudan. Semoga bisa membukakan mata, hati, dan pikiran kita agar lebih waspada dalam menyikapi fenomena sosial-keagamaan dan kepolitikan serta bijak dalam mengelola kemajemukan bangsa. Jika lengah, bukan tidak mungkin apa yang menimpa Sudan bisa melanda negeri kita tercinta Indonesia.

Keterangan: artikel ini semula diterbitkan di Kompas

Artikulli paraprakGrassroots Peacebuilding in Indonesia 
Artikulli tjetërUnraveling the Mysteries of Ancient Arabia
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.