Nasser Qassim al-Qasabi (lahir 1961), aktor dan komedian terkenal Saudi, pernah membintangi sebuah acara serial TV, Selfie, yang kemudian cukup terkenal dan memicu perdebatan luas di media sosial. Selfie adalah acara serial film TV yang sangat populer (ditayangkan oleh stasiun TV MBC–Middle  East Broadcasting Center–milik Waleed Al-Ibrahim yang masih anggota keluarga kerajaan Saudi).

Popularitas Selfie bukan hanya di Arab Saudi saja tetapi juga di seantero Timur Tengah, karena menampilkan isu-isu yang selama ini dianggap sensitif, tabu, haram, dan tidak lumrah di masyarakat Arab (khususnya Saudi) seperti soal menyetir bagi perempuan, krisis pengungsi, ketidaksetaraan gender, segregasi laki-perempuan, ekstrimisme, terorisme, konservatisme, sektarianisme, dan sebagainya.

Yang membuat program Selfie ini menarik bukan hanya karena menampilkan “isu-isu bawah tanah” tapi sudah menjadi “rahasia publik” melainkan juga lantaran dikemas dalam bentuk komedi dan satir.

Nah, Nasser al-Qasabi di atas yang sempat melejit karena perannya lewat TV seri No Big Deal (Thas Ma Thas) membintangi sebuah episod film tentang dua keluarga militan: militan Sunni dan militan Syiah yang keliru merawat bayi dan membesarkan anak atau “salah asuhan”. Jadi plot ceritanya begini. Alkisah, di sebuah rumah sakit di Saudi, ada dua bayi. Yang satu dari keluarga Sunni, satunya lagi dari keluarga Syiah.

Tetapi tanpa sengaja mereka tertukar mengambil bayi (berdasarkan informasi dari rumah sakit): yang keluarga Sunni mengambil “bayi Syiah”, sedangkan yang keluarga Syiah tertukar mengambil “bayi Sunni”. Maka demikianlah, setelah bertahun-tahun dan bayi sudah beranjak remaja dan menjadi “pemuda tanggung”, pihak rumah sakit baru menyadari kekeliruannya.

Segera setelah itu, masing-masing anak kemudian diserahkan ke orang tua mereka yang sebenarnya. Tentu saja, masing-masing orang tua asli ini berjuang keras untuk menyadarkan sang anak yang semula “salah asuh dan salah didik” itu agar kembali ke jalan yang benar dan lurus sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing.

Dari situlah bermula kisah-kisah lucu dan kadang konyol karena memang dikemas dalam bentuk humor dan satir, yang menariknya justru mendapat apresiasi positif dan sambutan meriah, baik dari publik Sunni maupun Syiah.

Relasi Akar Rumput Sunni–Syiah di Timur Tengah

Ilustrasi di atas menggambarkan tentang relasi Sunni–Syiah di Timur Tengah yang secara umum tidak akur dan kurang harmonis dalam banyak hal karena dipicu sejumlah perbedaan fundamental.

Meskipun baik Sunni maupun Syiah berbagi keyakinan tentang sejumlah doktrin mendasar Islam dan memiliki Al-Qur’an yang sama tetapi mereka memiliki praktik keagamaan, ritual, kultur, organisasi, partai, pandangan politik, atau buku-buku hadis yang berbeda sehingga sering kali memicu konflik dan bahkan kekerasan.

Meskipun gambaran umum tentang hubungan Sunni–Syiah itu kurang positif dan harmonis, apalagi setelah mencuatnya kekerasan politik sektarian Sunni–Syiah di sejumlah negara, tetapi bukan berarti relasi antara warga Sunni dan Syiah di akar rumput itu buruk sama sekali.

Di sejumlah negara dimana warga Sunni maupun Syiah lumayan banyak (misalnya, Libanon, Irak, Iran, Bahrain, Saudi, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, India atau Pakistan) hubungan di akar rumput antara kedua aliran yang dominan dalam Islam ini cukup cair dan baik, tidak selalu seperti yang dibayangkan banyak orang.

Bahkan di Saudi pun, yang sering dipersepsikan sangat buruk relasi antara Sunni dan Syiah, hubungan antara kedua kelompok ini pun, terutama warga biasa tidak seburuk yang diimajinasikan banyak orang.

Banyak ruang-ruang publik: pasar tradisional, “pasar kaget”, kedai kopi, warung teh, restoran lokal, dan sebagainya yang menjadi “melting pot”, tempat berkumpulnya warga Sunni dan Syiah, baik sebagai penjual maupun pembeli. Bukan hanya itu saja. Bahkan cukup banyak dijumpai dalam sebuah keluarga dimana anggotanya terdiri atas Sunni dan Syiah.

Pada waktu saya melakukan penelitian lapangan di sejumlah daerah di Provinsi Timur (Ash Sharqiyah) yang dikenal sebagai basis warga Syiah, para asisten penelitiku (warga Saudi Sunni dan Syiah) sering menunjukkan kawasan di mana banyak dijumpai Sunni dan Syiah tinggal dalam satu keluarga.

“Sepupuku juga Sunni, meskipun saya Syiah. Kami biasa dan baik-baik saja”, terang Mahdi Al-Mabruk.

Ketika saya tanya kenapa itu biasa terjadi. Jawaban mereka rata-rata adalah karena diikat oleh faktor kesukuan. Artinya, meskipun mereka menjadi pengikut Sunni atau Syiah tetapi mereka berasal dari “keluarga besar” suku atau klan yang sama. Jadi, identitas kesukuan (“tribalisme”), selain etnisitas (“Arabisme”), ini menjadi faktor pemersatu yang bisa menjembatani perbedaan atau segregasi Sunni–Syiah.

Menurut informasi dari murid-murid Arabku, di Saudi memang ada suku, klan, atau marga dimana anggotanya bisa campuran Sunni atau Syiah, tidak homogen: melulu Sunni atau Syiah saja.

Jaringan antarsuku dan antarklan ini bisa dijadikan sebagai medium atau akses untuk mendapatkan pekerjaan, kenaikan jabatan, relasi sosial dan hal-ihwal yang berkaitan dengan hajat hidup sehari-hari, baik dalam konteks politik, ekonomi maupun sosial-budaya.

Praktik Kawin Mawin Sunni–Syiah  

Meskipun tidak lumrah, praktik kawin–mawin antara Sunni dan Syiah yang kemudian melahirkan keturunan yang kelak sering dipelesetkan dengan istilah “Susyi” (anak-anak yang merupakan hasil kawin campur Sunni-Syiah) juga terjadi. Bahkan di Irak dan Libanon, dimana populasi Syiah cukup besar, perkawinan antara Sunni dan Syiah merupakan pemandangan yang lumrah di masyarakat, kata Nesrine Kamal dari BBC yang sering menulis tentang isu-isu ini.

Jurnalis Mina al-Lami, yang juga produk dari perkawinan Sunni–Syiah, juga menegaskan hal serupa. Tradisi “kawin silang” antara Sunni dan Syiah adalah hal biasa di Libanon dan Irak. Sejak invasi Amerika ke Irak tahun 2003 yang memicu konflik sektarian, praktik pernikahan Sunni-Syiah memang agak menurun, tuturnya, tetapi bukan berarti hilang dari budaya masyarakat setempat.

Praktik kawin mawin antara Sunni dan Syiah ini pernah diangkat dalam sebuah film dokumenter berjudul Why I Can’t be a Sushi? (Sushi = Sunni Shia dalam versi penulisan Bahasa Inggris). Film ini dibuat oleh Hoda El Soudani, seorang keturunan Inggris–Irak. Ditanya tentang alasan membuat film dokumenter ini, Hoda menjawab:

My main intention was to objectively address as many key issues as possible that one sect may have towards the other sect, and then break down the misconceptions so that some kind of bridge could be built once they realize they have so much in common” (BBC 2016).

Bukan hanya di Libanon dan Irak saja, di India dan Pakistan, seperti pernah ditulis oleh Narjis Fatema (DAWN 2014), praktik pernikahan Sunni–Syiah juga sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat.

Pandangan Agamawan dan Sarjana Muslim

Bagaimana pandangan agamawan dan sarjana Muslim mengenai perkawinan Sunni-Syiah ini?

Memang ada beragam pendapat, pro-kontra, tentang perkawinan Sunni-Syiah ini. Kelompok Muslim konservatif, baik Sunni maupun Syiah (misalnya Maulana Murtaza Karbalai atau sejumlah ulama Salafi) sudah bisa dipastikan mengharamkan praktik kawin campur ini karena masing-masing menilai sebagai aliran atau kelompok Islam yang paling benar dan otentik sementara yang lain menyimpang dan sesat dari kanon resmi doktrin Islam.

Tetapi bagi kalangan Islam moderat, tidak mempermasalahkan praktik pernikahan ini. Salah satu yang menarik adalah pendapat Syeikh Abdul Rahman Qureshi, mantan direktur sebuah lembaga Islam di Paris, Association Interculturelle des Pakistanais en France, yang mendukung penuh praktik perkawinan Sunni-Syiah. Menurutnya, perkawinan silang Sunni–Syiah bisa menjadi energi positif atau sumber produktif yang diharapkan mampu mengurangi mispersepsi dan menjembatani perbedaan Sunni-Syiah.

Baginya, Sunni dan Syiah tetaplah keluarga besar Islam yang masih mempercayai dan meyakini ajaran-ajaran fundamental Islam serta berpedoman pada kitab suci yang sama. Oleh karena itu, kedua umat ini tidak perlu dan tidak ada gunanya saling mengafirkan, memurtadkan, dan menyesatkan.

Apapun pendapat para klerik dan sarjana agama, orang memiliki alasan, logika, dan nalar sendiri untuk mempraktikkan apa yang mereka anggap baik, termasuk “perkawinan silang” Sunni-Syiah ini.

Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah soal kekuatan cinta yang bisa merontokkan sekuat apapun aturan, tradisi, budaya, dan dogma agama. Karena cinta itulah, sebagian warga Sunni dan Syiah merayakan pernikahan dan menjalani rumah tangga dengan riang gembira.

Sumber : Geotimes

Artikulli paraprakKontroversi Tentang Busana Perempuan di Arab Saudi
Artikulli tjetërPendeta Gharib dan Umat Kristen Kuwait
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini