Meski tidak lepas dari human error, Pilihan Raya Umum (istilah kita Pemilu) ke-11 Malaysia yang digelar 21 Maret 2004 lalu berjalan dengan gemilang, lancar dan aman. Padahal perhelatan akbar itu hanya dipersiapkan selama tidak kurang dari tiga pekan saja, sejak PM Abdullah Badawi membubarkan Parlemen pada 3 Maret. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu dinilai cukup berhasil  menyediakan kertas suara bagi 10,28 juta pemilih dan mendistribusikannya ke 13 negara bagian yang terbentang dari perbatasan dengan Thailand di Utara hingga perbatasan dengan Indonesia di Pulau Kalimantan (bandingkan dengan kerja KPU kita yang molor dan “semrawut”).

Yang lebih mengejutkan barang kali adalah suksesnya kubu Barisan Nasional (BN) yang dimotori United Malay Nation Organization (UMNO) pimpinan PM Abdullah Badawi sendiri yang berhasil merebut sekitar 90% dari total kursi Parlemen! Dari 219 kursi Parlemen yang diperebutkan, Barisan Nasional menyabet 198 kursi, sisanya Partai Aksi Demokratik 12 kursi, Partai Islam se-Malaysia (PAS) 7 kursi, Partai Keadilan 1 kursi dan kandidat independen meraih 1 kursi. Barisan Nasional juga berhasil merebut Negara Bagian Trengganu yang sejak 1999 dikuasai Partai Islam se-Malaysia (PAS) dengan perolehan 28 kursi, sementara PAS hanya mendapat 4 kursi. Di Kelantan, meski masih dikuasai PAS perolehan UMNO juga spektakuler, yakni merebut 21 kursi berbanding 24 kursi untuk PAS.

Kita tahu, PAS adalah partai politik yang mengusung isu Islam (baik dalam pengertian ideologi maupun praktek syari’at) untuk mengais dukungan pemilih. Partai ini, sebagaimana kecenderungan partai-partai Islam di negara-negara berbasis Islam lain selalu “menjual” akidah Islam sebagai alat kampanye. Islam dalam optik PAS juga Partai Keadilan, harus ditampilkan secara formal dan eksklusif baik dalam lembaga-lembaga kenegaraan, pranata sosial masyarakat maupun dalam praktek kultural masyarakat Muslim. Syari’at Islam tidak cukup dipraktekkan secara kultural oleh publik Muslim tetapi harus dilegalkan dalam bentuk konstitusi (perundang-undangan syari’at). Islam tidak hanya ditampilkan sebagai agama tetapi harus mampu menjadi kekuatan ideologis dan dasar negara. Isu-isu seperti ini sempat meraih simpati kaum Muslim di Trengganu dan Kelantan sehingga kedua Negara Bagian ini dikenal sebagai basis PAS.

Yang lebih tragis lagi adalah nasib Partai Keadilan pimpinan Wan Azizah Wan Ismail, partai yang kurang lebih ber-platform sama dengan PAS. Partai yang menjual penderitaan suaminya, Anwar Ibrahim ini akhirnya harus menderita karena hanya mendapatkan satu kursi di Parlemen. Satu kursi itu diraih dari daerah pemilihan Pematang Pauh di Negara Bagian Penang, kota yang menjadi simbol “gerakan reformasi” yang dicanangkan Anwar Ibrahim setelah dipecat tahun 1998 dengan tuduhan sodomi. Kemenangan itupun sangat mengenaskan karena Wan Azizah hanya dapat kelebihan suara 590 setelah penghitungan dilakukan empat kali.

Pertanyaanya kemudian adalah kenapa partai-partai yang mengusung ideologi Islam gagal menarik simpati publik dalam Pemilu Malaysia 2004 ini? Padahal Malaysia dikenal sebagai negara yang memiliki sentimen keislaman cukup kuat. Menurut Mursyidul Am (Pemimpin Spiritual) PAS, Datuk Nik Abdul Azis Nik Mat, kekalahan PAS tidak lepas dari lemahnya sarana-prasarana, kurangnya infrastruktur dan jaringan partai yang menjangkau sampai ke basis, birokrasi pemerintah yang tidak memihak, minimnya dana kampanye dan lain-lain. Keluhan Tuan Guru (sebutan Nik Abdul Aziz Nik Mat) di atas memang bisa dimaklumi. Dimanapun partai yang berkuasa apalagi UMNO yang sudah puluhan tahun malang melintang menjadi kampium politik di Malaysia, hampir selalu unggul dalam segala hal: uang, jaringan, infrastruktur, basis pendukung. Mereka juga bisa menggunakan dengan “seenaknya” segala fasilitas negara untuk mendulang suara pemilih dalam Pemilu.

Namun demikian, jika kita mau fair, kekalahan PAS tidak melulu faktor diskriminasi otoritas yang dimainkan Pemerintahan Malaysia tetapi lebih disebabkan oleh sejumlah faktor signifikan yang membuat masyarakat Malaysia tetap mendukung Barisan Nasional dengan UMNO sebagai komponen utamanya. Sejumlah faktor dimaksud antara lain: pertama, pesatnya pertumbuhan ekonomi Malaysia. Harus diakui, selama kekuasaan Mahathir Mohamad, Malaysia maju pesat di bidang pembangunan ekonomi dan teknologi. Hebatnya lagi, kemajuan ekonomi Malaysia dengan cara menumbuhkan etos, kemandirian warga serta kesadaran membangun kembali bangsa yang terpuruk akibat krisis ekonomi beberapa tahun silam. Bukan dengan cara menggantungkan uluran dana dari lembaga funding asing sebagaimana yang sering dilakukan oleh berbagai negara berkembang termasuk Indonesia.

 Kemandirian dalam pembangunan ekonomi inilah yang menyebabkan Malaysia begitu berwibawa di mata dunia (tidak hanya Islam tapi juga Barat) sehingga tidak heran jika Dr M (panggilan Mahathir) dijagokan menjadi ketua Organisasi Konferensi Islam. Mahathir juga mampu menjadi simbol perlawanan politik dan kultural Dunia Islam atas Barat. Bukan hanya itu, sekarang ini di Malaysia muncul istilah The New Malay, yakni orang-orang Melayu baru dari kelas menengah yang pintar dan terdidik serta punya kemampuan untuk mengelola ekonomi dengan baik. Fakta sosiologis inilah yang menyebabkan publik Malaysia berpikir berulang kali untuk beralih ke rezim lain terutama PAS sebagai pesaing terkuat Barisan Nasional.

Kedua, seperti yang pernah disinyalir oleh Prof.Azyumardi Azra, yakni bahwa kemenangan telak UMNO mengindikasikan bahwa isu-isu agama apalagi yang ditampilkan secara literal, eksklusif dan rigid seperti yang dilakukan PAS ternyata tidak efektif lagi untuk mendulang suara. Sentimen keislaman yang ditanamkan PAS bukan justru mendongkrak pemilih untuk setia pada PAS tetapi justru menimbulkan kekhawatiran bukan hanya di kalangan non-Muslim seperti puak China dan India tetapi juga di kalangan puak Melayu sendiri. Bagi warga Melayu sendiri—yang sebagian besar Muslim dan selama ini diklaim sebagai basis utama pendukung PAS—penampilan Islam eksklusif dipandang justru semakin membuat citra Islam semakin bopeng  di mata Barat dan non-Muslim pada umumnya.

Eksklusivisme dalam beragama juga membuat publik Muslim pada umumnya dihantui rasa was-was dan tidak aman karena setiap saat bisa menimbulkan ledakan kekerasan sosial. Padahal, Islam sebagai sebuah agama sangat terbuka (all-inclusive) dan bersahabat dengan produk-produk kebudayaan lain. Berbagai peristiwa terorisme dan kekerasan yang “disponsori” oleh kaum fundamentalis Islam belakangan ini semakin membuat PAS terpuruk, dan dengan sendirinya mampu mendongkrak harga jual partai-partai yang lebih inklusif semisal UMNO. Partai terbuka seperti UMNO jelas mempunyai prospek yang lebih besar untuk mendapat dukungan baik dari kaum Muslim maupun kalangan luar, apalagi dalam sebuah negara yang majemuk dan plural seperti Malaysia. Secara demografis, kaum Melayu disana hanya 55% saja dari total jumlah penduduk. Fakta demografis ini mengharuskan partai dari kalangan Melayu harus bisa bekerja sama dengan partai dari puak-puak lain seperti MCA (Malay Chinese Association) dan MIC (Malay Indian Congress).

Diluar kedua alasan tadi, faktor PM Abdullah Ahmad Badawi sebagai komandan UMNO juga sangat signifikan. Abdullah Badawi dinilai memiliki Islamic credentials (“atribut-atribut keislaman yang cukup meyakinkan”) karena genealogi Pak Lah dari darah bangsawan dan ulama cukup terkemuka. Selain itu, Pak Lah juga mempunyai background pendidikan Islam yang mumpuni sehingga wajah Islam pluralis yang ia tampilkan mempunyai legitimasi intelektual yang kuat.

Apa yang saya uraikan di atas sebetulnya ingin saya tujukan kepada sejumlah Partai Islam di Indonesia yang selama ini mengusung ideologi Islam sebagai bahan kampanye. Dalam setiap kampanye, partai yang mengaku “Partai Islam” ini selalu menjual formalisasi Syari’at Islam sebagai menu utama, seolah tidak ada masalah lain yang lebih penting. Padahal, isu Syari’at Islam di tengah bangsa yang sedang “sekarat” akibat tumpukan masalah kemanusiaan yang tak kunjung usai ini jelas tidak strategis. Belum lagi fakta mayoritas umat Islam di Indonesia yang—meminjam istilah antropolog Clifford Geertz— “abangan” bukan “Islam normatif” maka partai yang mensegmentasi pemilihnya untuk kalangan tertentu saja akan kesulitan mendulang suara. Indonesia, seperti Malaysia, adalah negara dengan tingkat kemajemukan tinggi. Dengan begitu, partai yang mengusung pluralitas dan memiliki platform kebangsaan yang diprediksikan akan tetap memenangkan Pemilu. Kita tunggu saja.

Artikulli paraprakIslam, Arab dan Indonesia: Kuliah Virtual Facebook 4
Artikulli tjetërPelajaran dari Kasus Kekerasan Sudan
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini