Timur Tengah bukan hanya tempat lahirnya Judaisme, Kristen dan Islam tetapi juga agama-agama lokal lain. Salah satunya adalah Samaritanisme. Samaritanisme adalah sebuah agama lokal atau sekte agama yang pemeluknya memadukan identitas ke-Yahudian, ke-Araban, ke-Israelan, dan ke-Palestinaan.

Tetapi mereka tidak mengaku sebagai Yahudi maupun Arab, melainkan “orang-orang Samarita”. Pula, meskipun memegang dua paspor Israel dan Palestina, mereka tidak mau disebut sebagai orang Israel maupun orang Palestin. Mereka juga mengaku agama mereka bukan Yudaisme (apalagi Islam) tetapi Samaritanisme. Dalam hal bahasa, mereka menggunakan bahasa Ibrani, selain Arab. Untuk nama, mereka mengadopsi nama Yahudi dan/atau Arab. Foto ini adalah contoh bangsa Samarita pengikut Samaritanisme.

Populasi mereka kini tersebar di wilayah Israel (khususnya daerah Holon, Tel Aviv) dan Palestina (khususnya daerah Kiryat Luza, Nablus, West Bank). Sejak Tragedi Intifada, sebuah perang sipil antara Palestina dan Israel yang berlangsung selama lima tahun sejak 1987, mayoritas pengikut Samaritanisme tinggal di area Gunung Gerizim, sebuah gunung yang mereka anggap sakral karena dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Tuhan.

Pemeluk Samaritanisme saat ini tidak banyak, hanya berkisar ribuan saja. Tetapi para sejarawan mengatakan berabad-abad silam jumlah mereka mencapai jutaan. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan merosotnya populasi Samaritanisme seperti penyakit / endemik, pelarangan praktik perkawinan eksogami (dengan non-Samarita), maupun proses konversi paksa ke agama lain (baik ke Yahudi, Kristen, maupun Islam).

Perang, kekerasan, dan persekusi juga menjadi faktor lain penyebab merosotnya populasi pengikut Samaritanisme. Sebagaimana kelompok sosial lain, sepanjang sejarah, orang-orang Samarita juga terlibat perang dengan berbagai suku-bangsa dan rezim politik: Yahudi Hasmonea, Bizantium, Romawi, Dinasti Arab, hingga Turki Usmani.

Kekerasan, verbal maupun fisik, masih berlanjut hingga kini. Konflik Israel–Palestina yang seperti tak berujung ini juga berdampak ke mereka. Sekelompok fanatik Muslim maupun Yahudi, kaum fundamentalis Israelis maupun Palestin sering menjadikan mereka sebagai sasaran. Tetapi mereka bergeming: tetap bertahan memelihara warisan agama, tradisi, dan budaya yang diwariskan oleh leluhur mereka.

***

Siapakah gerangan bangsa Samarita ini? Apa perbedaan mereka dengan bangsa Yahudi dan Judaisme?

Setidaknya ada dua versi mengenai asal-usul bangsa Samarita ini. Menurut orang-orang Samarita, mereka merupakan keturunan dari suku-suku Menashe dan Ephraim, anak-anak Joseph (Yusuf), yang disebut dalam Bibel yang hidup sekitar 3000 SM. Menurut sejawaran Samarita Benjamin Tsedeka, leluhur bangsa Samarita dari wilayah utara Kerajaan Israel kuno, sementara kaum Yahudi dari selatan. Saat Raja Assyria, King Sargon II, menaklukkan Kerajaan Israel Utara, mereka melawan dan bertahan disana, meskipun banyak penduduk yang dibawa ke Assyria.

Versi Yahudi lain lagi. Menurut mereka, orang-orang Samarita itu adalah keturunan bangsa Cuthea (atau Kutha) yang dulu mendiami wilayah Samaria. Itulah sebabnya ketika bangsa Yahudi kuno (Yahudi Alkitab) kembali dari pengasingan mereka di Babylonia ke Yerusalem ada 6 SM dan kemudian membangun Second Temple, mereka menolak pengikut Samaritanisme (bangsa Samarita) sebagai “saudara agama” (“coreligionists”).

Terlepas dari kontroversi tentang asal-usul nenek-kakek moyang mereka, yang jelas ada sejumlah persamaan (selain perbedaan) antara bangsa Samarita dan Yahudi, antara Samaritanisme dan Yudaisme. Misalnya, baik bangsa Yahudi maupun Samarita sama-sama mengimani Yahweh, beribadah di sinagog, memakai bahasa Ibrani, mempraktikkan Sabbath, atau merayakan hari-hari penting Yahudi seperti Passover dan Sukkot meski berbeda tanggal.

Meskipun ada sejumlah persamaan, ada perbedaan doktrin, ajaran, kitab suci, dan keyakinan yang cukup signifikan antara pengikut Samaritanisme dan Yudaisme. Misalnya, pengikut Samaritanisme hanya memegang teguh Kitab Yosua (juga disebut “Samaritan Chronicle”), selain Torah Samarita (Samaritan Pentateuch) yang mereka yakini sebagai kitab Torah asli, orisinal, dan belum ada perubahan. Mereka menuduh kitab Torah (Oral Torah) yang dipakai umat Yahudi sudah tidak asli, penuh korupsi dan intervensi manusia. Mereka juga menolak Talmud-nya Yahudi. Jika bangsa Yahudi meyakini Temple Mount sebagai tempat tersakral, bangsa Samarita mengimani Gunung Gerizim sebagai yang tersuci. Dlsb.

Terlepas dari persamaan dan perbedaan, bangsa Samarita dan Samaritanisme merupkan fenomena menarik dalam konteks Timur Tengah modern. Semakin menarik karena mereka, meskipun berjumlah sangat terbatas dan menjadi minoritas, mampu bertahan melanggengkan agama, tradisi, dan budaya luhur warisan leluhur mereka meskipun tinggal di “kawasan konflik” Israel dan Palestina.

Bagaimana taktik mereka agar bisa bertahan? “If we want to survive in this crazy region, we have to live in peace with both sides. This is our policy, not to be involved in politics–only to be at peace with Palestinians and Israelis and ensure they’ll both feel at home in our community”, demikian menurut sejawaran dan tokoh Samarita, Benjamin Tsedeka, seperti dikuti seorang penulis Israel, Reuben Lewis.

Nah, sekarang sudah agak paham kan tentang nama Samarita dan Samaritanisme? Tolong inpo ini jangan dikasih tahu ke spesies batmen nanti mereka bilang: “Nama Sumatra itu kapir karena diambil dari bangsa jahiliyah Samarita karena itu, biar syar’i, harus diganti jadi “Sumakah” atau “Sumadinah”. [SQ]

Artikulli paraprakRomo Pujasumarta
Artikulli tjetërSeksualitas dan Moralitas
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini