Beranda Opinion Bahasa Agama dan Masalah Krisis Lingkungan

Agama dan Masalah Krisis Lingkungan

5630
1

Masalah lingkungan atau wawasan ekologi hampir tidak mendapatkan tempat dalam agama tak terkecuali Islam. Agama “mampu” berbicara panjang lebar dan detail mengenai “dunia lain” (baca, alam akhirat beserta isinya: surga, neraka, malaikat, bidadari dll), ibadah ritual (salat, puasa, zikir beserta pernik-perniknya), teologi (sifat Tuhan, zat Tuhan dan setrusnya), moralitas individual dan lain-lain tetapi hampir-hampir tidak menyinggung masalah dunia ekologi (lingkungan hidup). Padahal lingkungan adalah masalah yang sangat fundamental dalam kehidupan kita. Akibat orang tidak mengindahkan lingkungan, malapetaka terjadi di mana-mana. Bukankah banjir dan sejumlah penyakit mematikan seperti Demam Berdarah (DB) juga sangat terkait dengan masalah lingkungan?

Dunia dewasa ini tidak hanya terjangkit krisis ekonomi, krisis moneter, krisis moral, krisis politik, krisis iptek, krisis budaya dan sebagainya tetapi juga krisis lingkungan. Lihatlah pemandangan memerihkan dewasa ini: gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, polusi, badai, cuaca yang labil dan sebagainya hampir datang bertubi-tubi, silih berganti.  Alam jagat raya ini seolah mengamuk dan destruktif sehingga menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia. Sudah tidak terhitung lagi berapa nyawa yang melayang, berapa jumlah anak yatim-piatu atau orang tua yang kehilangan buah hatinya yang masih tersisa, berapa jumlah harta benda dan properti lain yang amblas ditelan bencana.

Kenapa umat beragama (termasuk umat Islam) tidak menganggap penting masalah lingkungan sebagaimana ibadah ritual-individual? Kenapa umat Islam tidak tertarik melakukan penghijauan, kebersihan dan kegiatan lain yang bernuansa “ramah lingkungan” dan mencegah berbagai madlarat (ekses negatif) yang mungkin ditimbulkan dari alam yang tidak sehat? Sebaliknya, kenapa umat Islam lebih bergairah mengikuti aktivitas rohani: pengajian, dzikir nasional, istighatsah dan semacamnya? Kenapa, meskipun bencana alam sudah terjadi sejak zaman purba bersamaan dengan kehidupan manusia, umat beragama tidak kunjung merenovasi wawasan keagamaan dan teologinya—sebuah wawasan keagamaan atau teologi yang berbasis ekologi atau katakanlah wawasan eko-teologi? Dan kenapa pula setiap terjadi bencana atau malapetaka, umat beragama dengan enteng tanpa beban dan perasaan dosa sedikitpun menganggap (menuduh?) sebagai takdir Tuhan? Sebagai cobaan atau azab dari Tuhan.

Tuhan selalu “dikambinghitamkan” setiap terjadi malapetaka. Hampir-hampir tidak pernah, kita, menuduh diri kita sendiri sebagai subyek yang bertanggung jawab terhadap malapetaka dan bencana tadi. Karena adanya keyakinan bahwa setiap malapetaka sebagai “siksa” atau “cobaan” dari Tuhan, maka setiap kali terjadi peristiwa yang menyayat kalbu itu, yang dilakukan umat beragama adalah berdo’a, mohon ampun, istighatsah, menggelar zikir nasional sambil nangis-nangis dan seterusnya. Saya tidak meremehkan aktivitas ritual batin semacam ini akan tetapi “terapi spiritual” jenis ini di samping merendahkan (bahkan “mengolok-olok”) martabat Tuhan karena menganggap-Nya sebagai zat yang “Maha Buas”, juga dengan cara demikian berarti kita hendak “cuci tangan”—melepaskan tanggung jawab—dari musibah kemanusiaan itu.

Padahal, jika kita menggunakan perspektif Schumacher dalam A Guide for the Perplexed, masalah krisis lingkungan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi kita terhadap Tuhan! Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, maka seharusnya kita—manusia—yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan. Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap alam semesta. Perusakan lingkungan, penebangan liar, eksploitasi properti alam secara besar-besaran dan segala tindakan merusak alam lain merupakan “sumber” malapetaka dan bencana tadi. Bukankah Alqur’an sendiri juga telah mengingatkan bahwa “Kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab”? Jika Alqur’an sendiri menganggap manusia sebagai “master mind” dari kerusakan lingkungan, lalu kenapa kita justru menyalahkan Tuhan? Bukankah, kita umat manusia—jika mengikuti alur cerita kitab-suci Agama Semit—pada dasarnya “terlempar” ke dunia yang gersang dan tandus ini juga akibat kecerobohan Adam yang tidak mengindahkan ajaran fundamental Tuhan, yakni kearifan ekologis? Sebab Adam dan Hawa (Eva) telah memakan dan merusak pohon kekekalan.

Wawasan Teologi

Beberapa masalah di atas yang menimpa hampir semua agama adalah sangat terkait dengan “wawasan teologis” umat beragama itu sendiri. Dalam perspektif Islam, wawasan teologis yang dibangun selama ini hanyalah hal-ihwal yang berkaitan dengan dunia akhirat, kurang memberi respons proporsional mengenai masalah keduniaan. Wawasan teologi umat Islam memandang masalah ibadah hanyalah yang berhubungan dengan ruang privat (bukan ruang publik); bahwa pahala-dosa adalah berkaitan moralitas individual (bukan moralitas sosial); bahwa ibadah yang “wajib ain” hanyalah yang berkenaan dengan ritual-individual (bukan sosial-komunal) dan seterusnya. Pemahaman demikian hampir-hampir sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia kaum muslim: agama sudah menjadi bagian dari kebudayaan umat Islam. Inilah kira-kira yang dimaksud Emile Durkheim ketika ia berteori bahwa “agama dan masyarakat” merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan.

Mindset demikian tentu saja sangat sulit untuk ditembus dan dilawan. Padahal jika kita teliti dengan cermat, pemahaman keislaman seperti tadi merupakan produk dari pemahaman atau wawasan keislaman yang dibentuk masa imperium Islam (monarkhi Islam) klasik-skolastik bukan berangkat dari semangat dan wawasan keislaman yang diusung Nabi Muhammad dan juga tidak dibangun dari cita-cita etik Alqur’an. Kita tahu watak, semangat dan mentalitas sebuah monarkhi adalah “stabilitas”. Logika “stabilitas” selalu menempati urutan pertama dari sebuah rezim politik, bukan keadilan, persamaan, kemaslahatan, kecerdasan dan seterusnya. Sementara spirit profetik dan cita-cita etik Alqur’an jelas terciptanya sebuah sistem atau tatanan kehidupan yang demokratis dalam segala hal, termasuk demokratis terhadap alam. Bukankah “motto Islam” adalah rahmatan lil alamin—rahmat bagi sekalian alam. Kata alam di sini jelas bukan hanya mahluk hidup seperti manusia dan binatang tetapi juga alam semesta.

Sayang, pemahaman dan watak demokratis Islam yang ramah lingkungan ini tidak merembes menjadi “living tradition” (ini istilah Syed Hosen Nasr) dalam masyarakat Islam pasca kenabian. Bahkan tragisnya para ulama fiqih tidak menjadikan masalah ekologi sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah, yakni tujuan disyariatkannya Islam. Imam Syathibi misalnya dalam kitabnya yang sangat populer, al-Muwafaqat, merumuskan “maqashid al-syari’ah” menjadi lima hal: menjaga atau memelihara agama ( hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), memelihara akal (hifdz al-aql), memelihara harta (hifdz al-mal) dan memelihara keturunan (hifdz al-nasl). Ada yang menambahkan memelihara martabat (hifdz al-‘irdh). Pendapat ini yang terus-menerus dijadikan sebagai pegangan dalam ber-ijtihad untuk memecahkan masalah sosial-kemanusiaan. Sementara masalah lingkungan luput dari perhatian ulama fiqih dan umat Islam tentunya. Mungkin hanya Yusuf Qardlawi yang menjadikan pemeliharaan lingkungan (hifdz al-alam) sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah. Itupun sangat tidak populer bahkan dianggap kontraproduktif.

Disinilah perlunya melakukan restorasi nalar pemikiran keislaman. Tahapan yang mesti ditempuh adalah pertama, menjelaskan hikmah perennial Islam (scientia sacra) tentang tatanan dan struktur alam, signifikansi religius dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran ekologis yang berspektif teologis (eco-theology) atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan ekologis. Dalam konteks ini, maka para ulama fiqih harus berani melakukan terobosan penting mengenai pemahaman keislaman yang digali langsung dari teks-teks otoritatif utama Islam: Alqur’an dan Hadits.

Fatwa Lingkungan

Berkaitan dengan ini menarik memperhatikan apa yang telah dilakukan Kiai Tanthowi Musaddad dari Garut. Kiai eksentrik ini (saya biasa memanggilnya “kiai lingkungan hidup”) suatu saat pernah mengadakan musyawarah para ulama untuk menghasilkan sebuah fatwa tentang lingkungan. Hasilnya? Wajib memelihara dan melestarikan lingkungan hidup. Sebaliknya, haram hukumnya bagi siapa saja yang melakukan kegiatan perusakan alam dan lingkungan. Kiai Tanthowi—dan ulama Garut—juga mengfatwakan bahwa penanaman pohon untuk penghijauan, pelestarian lingkungan dan pencegahan banjir merupakan salah satu bentuk shadaqah jariyah yang akan mendapatkan limpahan pahala dari Tuhan. Mereka juga menyerukan bahwa pelestarian lingkungan merupakan salah satu wahana mendapat ampunan dari Allah SWT. Akhirnya para ulama Garut mengatakan kepada orang-orang yang berdosa besar dan hendak bertobat tidak perlu mojok di dalam masjid, membaca istighfar ribuan kali, tetapi cukup dengan penghijauan!

Fatwa ini tentu saja “sangat ekstrem” tetapi pesan yang ingin disampaikan Kiai Tanthowi dan para ulama Garut adalah bencana alam bukanlah sebuah takdir Tuhan akan tetapi berkaitan erat dengan masalah moral manusia. Di sinilah maka, kita komunitas agama memiliki tanggung jawab untuk berteriak tentang pentingnya pemeliharaan lingkungan dan bahaya pengrusakan alam bagi kehidupan ekosistem kita bukan malah “cuci tangan” dan menganggapnya sebagai  “takdir Tuhan”.***

Artikulli paraprakWawancara bersama Sumanto Al Qurtuby tentang “Hubungan Islam, China dan Muslim Tionghoa di Indonesia”
Artikulli tjetërAkulturasi Budaya Islam dan China di Nusantara
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini