Beranda Interview Wawancara bersama Sumanto Al Qurtuby tentang “Hubungan Islam, China dan Muslim Tionghoa...

Wawancara bersama Sumanto Al Qurtuby tentang “Hubungan Islam, China dan Muslim Tionghoa di Indonesia”

7793
1

Bagaimana sejarah masuknya Islam ke China/Tiongkok?

Menurut Lo Hsiang Lin dalam studinya “Islam in Canton in the Sung period” menyebut­kan bahwa orang China telah mengenal Islam sejak masa-masa paling awal dari perkembangan agama ini, yakni abad ke-7 M. Chinese Annuals dari Dinasi Tang (618-960) juga mencatat adanya pemu­kiman umat Islam di Kanton, Zhangzhouw, Quanzhou dan pesisir China Selatan lain. Berdasarkan catatan kuno dari Dinasti Tang ini, Islam pertama kali masuk ke Tiongkok pada masa tahun kedua kekuasaan Gaozhong (651 M). Dikatakan ada rombongan Muslim dari Arab yang berjumlah 15 orang dipimpin oleh seorang yang bernama Sa’ad Bin Abi Waqqash menghadap sang kaisar sambil menyerahkan sejumlah cindramata. Bukti historis yang tidak terelakkan tentang eksistensi kaum Muslim di kawasan ini adalah adanya dua buah masjid kuno di Kanton (yang dimaksud adalah Masjid Kwang Tah Se = “Masjid Bermenara Megah” dan Chee Lin Se=“Masjid Bertanduk Satu”) yang menurut beberapa sejarawan merupakan masjid kedua tertua di dunia setelah Masjid Nabawi yang dibangun Muham­mad di Madinah (Ma, 1979; Israeli & Johns (ed.), 1984; Broomhall, 1905). Masuknya Islam ke Tiongkok pada masa-masa awal abad masehi itu bisa dimaklumi mengingat antara Arab dan Tiongkok telah terjalin hubungan perniagaan sudah sangat lama melalui apa yang disebut dengan “Silk Road” (Jalur Sutra).

Hubungan ini kemudian berlanjut pada masa Nabi Muhammad. Hadis Nabi yang sangat populer “Uthlubul ‘ilma walau bi al-shin” (tuntutlah ilmu sampai ke negeri China) itu lahir, dugaan saya, karena Nabi tahu Tiongkok merupakan pusat peradaban yang sangat maju pada waktu itu; dan memang masa kehidupan Nabi bersamaan dengan masa kekaisaran Tai Tsung di Tiongkok yang sangat peduli dengan karya sastra, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan lain.

Pada masa kekuasaan Umayah dan Abbasiyah hubungan dengan Tiongkok juga terus dijalin. Di China sendiri Islam mengalami perkembangan signifikan terutama pada masa Dinasti Yuan dan Ming sebelum akhirnya mengalami marginalisasi cukup serius ketika orang-orang Manchuria mengambil alih kekuasaan dan mendirikan dinasti baru bernama Ch’ang pada abad ke-17.

Di modern China saat ini, orang-orang Islam terutama di kawasan Uygur juga mengalami perlakuan diskriminatif. Tidak ada data yang cukup jelas berapa jumlah muslim di China, tetapi data yang dirilis Partai Kuomintang pada tahun 1936 ada sekitar 48,104, 240 muslim dan 42,371 masjid yang tersebar di Sinkiang, Chinghai, Manchuria, Kansu, Yunnan, Shensi, Hopei, dan Honan [Ferm, Vergilius (ed.). An Encyclopedia of Religion; Westport, CT: Greenwood Press (1976), pg. 145]. Pada masa Revolusi Kebudayaan, 1966-1976, kaum muslim di China mengalami penderitaan serius (lebih dari 29 ribu masjid ditutup, sekolah-sekolah Islam juga ditutup dan para muridnya ditransfer ke sekolah-sekolah yang hanya mengajarkan Marxisme dan Maoisme, bahasa Arab, Persia, dan Turki dilarang, dan sekitar 360 ribu muslim dibunuh), baru setelah pendeklarasian kebebasan agama tahun 1978, mereka bisa sedikit bernafas lega. Kini ada lebih dari 34 ribu masjid di sana.

Tentang sejarah Islam di Tiongkok ini secara singkat bisa dibaca di buku karya almarhum Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, Broomhall, Islam in China, atau Guo Zhongli, Islam’s Pervasive Imprint on China  (Dalam buku saya “Arus Cina Islam Jawa” terutama di catatan kaki, saya telah menyebutkan secara singkat mengenai hal ini)

Muslim China masuk Indonesia?

Ada beberapa alasan mengapa orang-orang Tionghoa muslim berdatangan ke Nusantara ini (terutama Jawa dan sebagian Palembang dan Aceh). Pertama, tentu saja untuk berniaga. Pada waktu itu sudah sangat lumrah orang-orang dari berbagai manca negara berbondong-bondong ke negeri ini untuk keperluan dagang. Kedua, mencari asylum—tempat perlindungan/suaka yang aman karena mereka dikejar-kejar rezim akibat melakukan pemberontakan.

Sejarah mencatat Huang Chou menghancurkan Canton dan kantung-kantung Islam lain di Tiongkok pada abad ke-8 M. Ketiga, misi politik seperti terlihat pada peristiwa pengerahan 20.000 ribu tentara China-Mongol pada masa dinasti Yuan pada akhir abad ke-13. Keempat, misi diplomatik sebagaimana terlihat pada peristiwa monumental muhibah tokoh China Muslim legendaris Cheng Ho atas perintah Kaisar Hung Wu dari Dinasti Ming yang sangat peduli dengan masalah keislaman sejak akhir abad ke-14. Ikut dalam rombongan Cheng Ho pada waktu itu adl tokoh-tokoh muslim taat, al, Ma Huan, Ha San, Wang Chinghung, Kung Wu Ping, Fei Hsin, dll. Gelombang orang-orang China muslim tadi tiba di pusat-pusat perniagaan yang ramai di pesisir utara Jawa seperti Sunda Kelapa, Banten, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Lasem, Tuban, Gresik, dan Surabaya. Maka tidak mengherankan jika di kota-kota ini pada ke-14-15 sudah terdapat perkampungan China Muslim seperti disaksikan Ma Huan dalam Ying-yai Sheng Lan. Di kemudian hari kota-kota ini menjadi kerajaan-kerajaan Islam kecil atau apa yang disebut oleh sejarawan Belanda De Graaf sebagai “vorstendommen.” Jadi, orang-orang Tionghoa muslim ini masuk ke Nusantara pada mulanya tidak ada motivasi evangelism—semacam juru dakwah yang sengaja di utus untuk mengislamkan Jawa/Nusantara.

Adapun jika di kemudian hari mereka terlibat aktivitas dakwah adalah semata-mata dorongan pribadi sebagai seorang Muslim. Tokoh-tokoh Tionghoa muslim pada waktu itu banyak sekali seperti Syeikh Bentong atau Kiai Bantong yang putrinya Sio Ban Chi dinikahi Raja Majapahit Brawijaya, Kiai Telingsing atau Tan Ling Sing (sahabat Sunan Kudus), Cie Gwie Wan (ahli seni ukir dari Jepara), Liem Mo Han (Lasem), Tan Sam Cai (teman Sunan Gunung Jati), Kung Wu Ping, Lie Beng Ing, Tan Hong Tien Nio (salah satu istri Sunan Gunung Jati), Jin Bun yang lebih terkenal dengan Raden Patah dan masih banyak lagi (selebihnya lihat dalam buku “Arus China-Islam-Jawa”).

Bagiamana hubungan China Muslim dan kerajaan-kerajaan Jawa?

Relasi antara kerajaan Jawa dengan orang-orang China itu seperti “simbiosis mutualism” karena kedua pihak saling membutuhkan. Kerajaan Jawa membutuhkan orang-orang China karena mereka mempunyai skill di bidang perniagaan, pelayaran, teknologi, dll. Sudah tidak asing jika orang-orang Tionghoa dikenal ulet serta memiliki kemampuan skill fungsional yang memadai yang bisa menunjang income kerajaan yang pada waktu itu hanya bertumpu pada sektor pertanian. Sementara dari pihak Tionghoa sendiri membutuhkan patron kerajaan karena mereka memerlukan “suaka politik” baru yang aman baik secara politik maupun ekonomi. Kerajaan Majapahit pada waktu itu mempunyai semacam “Biro China” yang bertugas mengurusi masalah Tionghoa. Ini membuktikan posisi China sangat penting di mata kerajaan Jawa.

Selain itu, Tiongkok juga memiliki duta besar/consul di Majapahit. Fakta bahwa Raja Brawijaya dari Majapahit pernah mengawini Putri China menunjukkan posisi China sangat diperhitungkan. Harap diingat, perkawinan pada waktu tidak hanya semata-mata alasan seksologis tetapi juga politis! Baru dikemudian hari setelah posisi orang-orang China ini menguat, di bawah kepemimpinan Tan Kim Han (bersama Sunan Ngudung dan Maulana Ishak) mereka menyerang Majapahit yang pada akhir abad ke-i5 sudah sangat loyo dan renta. Penyerangan itu atas perintah Jin Bun atau Raden Patah dari Demak. Sejak itu benda-benda keramat kerajaan diboyong dari Trowulan (ibu kota Majapahit) ke Demak Bintoro. Itu terjadi pada tahun 1471 M. Kekalahan Kertabumi dari Majapahit oleh Patah ini menandai proses beralihnya dari kekuasaan hinduisme Majapahit ke  islamisme Demak. Sejak itu pula jaring-jaring kekuasaan Islam menyebar dari ujung timur sampai barat di bawah kontrol rezim Tionghoa.

Perlu juga diingat bahwa orang-orang Tionghoa yang beremigrasi ke Nusantara ini semuanya laki-laki karena perempuan dilarang bepergian ke manca negara. Orang-orang Tionghoa ini kemudian melakukan perkawinan dengan para perempuan lokal yang kelak keturunan mereka akan menjadi sosok “setengah China-setengah Jawa/Indo”.

Bagaimana pendapat anda tentang teori masuknya Islam ke Nusantara dari Timur Tengah?

Banyak yang keliru memahami pendapat saya terutama sejak keluarnya buku Arus China-Islam-Jawa. Di antara kekeliruan dan bias itu, al, saya dianggap tidak mengakui fakta kedatangan Islam dari Timur Tengah atau India. Apa yang ingin saya lakukan dalam studi saya adalah upaya memunculkan sisi lain dari fakta sejarah keislaman Nusantara yang selama ini telah “dimumikan” oleh rezim tertentu untuk kepentingan tertentu. Kata “rezim” disitu bisa rezim politik bisa juga rezim agama, sementara kata “kepentingan” disini bisa kepentingan politik bisa juga kepentingan ideologis. Sisi lain yang saya maksud di sini tiada lain adalah fakta sejarah peranan orang-orang Tionghoa itu dalam proses keislaman Nusantara.

Saya mengakui validitas pendapat Pak Azra yang menghubungkan keislaman Nusantara dengan jaringan ulama Timur Tengah terutama Haramain demikian pula beliau juga mengakui pendapat saya tentang “jaringan Tionghoa muslim” tadi. Pendapat saya dengan Pak Azra sama sekali tidak bertentangan karena sudut pandang kami yang berlainan. Studi Pak Azra bertolak sejak abad ke-17/18, kurun di mana hubungan Nusantara-Arab sangat intensif sementara studi saya mengambil kurun abad ke-15 dan 16. Studi saya juga saya fokuskan di Jawa sementara Pak Azra banyak membahas Sumatra (Aceh, Pasai, Puerlak). Jika kita menelusuri sejarah keislaman di Jawa titik tolaknya harus abad ke-15 dan 16 karena pada abad itu terjadi proses transmisi dan transisi dari Hinduisme Majapahit ke Islamisme Demak. Saya tidak menolak “kontribusi Timur Tengah/Arab” dalam proses keislaman di Nusantara sebagaimana dikemukakan Crawfurd, Keijzer, Naimann, de Hollander, Hasjmi, HAMKA, Mukti Ali, dll. Yang saya tolak adalah pendapat yang mengatakan bahwa “hanya orang-orang Timur Tengah/Arab-lah yang berperan dalam islamisasi Nusantara”. Pendapat ini disamping tidak ilmiah—karena bertentangan dengan fakta-fakta sejarah keislaman—juga sangat tendensius (mengandung unsur ideologis dan politis yang sangat kuat). Ada banyak orang yang berjasa dalam proses keislaman di Nusantara ini termasuk Arab, Gujarat, India, Persia dan tentu saja China.

Kapan pendapat penyebaran Islam dari China baru mengemuka?

Orang pertama, setahu saya, yang mengemukakan peranan orang-orang Tionghoa bermazhab Hanafi dalam proses keislaman di Jawa adalah Parlindungan dalam buku Tuanku Rao yang terbit tahun 1964. Buku ini kemudian “di-syarahi” oleh muridnya Prof. Slamet Muljana dari UI dalam buku Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-Negara Islam di Nusantara (terbit 1968) yang kemudian dibredel oleh Orde Baru (OB) dengan keputusan Djaksa Agung No. Kep. 043/DA/1971. Buku ini berisi informasi penting mengenai fakta orang-orang Islam Tionghoa tetapi sayangnya metodologi dan sumber data yang mereka gunakan sangat lemah. Buku ini hanya direkonstruksi dari “Kronik Kelenteng Sampokong” yang sangat debatable. Tetapi buku Muljana itu dilarang oleh rezim OB bukan karena isinya yang kurang mengandung bobot akademik melainkan lebih pada alasan politis yakni karena buku tersebut telah menyuguhkan sisi-sisi positif Tionghoa dalam sejarah (keislaman) Nusantara yang bertentangan dengan semangat rezim OB yang anti-China. Maka untuk penelusuran lebih lanjut mengenai sejarah muslim Tionghoa ini, saya menggunakan multiple data resources seperti sumber-sumber China, Melayu, Arab, Belanda, babad-babad lokal Jawa, tradisi lisan serta penelusuran situs-situs keislaman yang menunjukkan adanya unsur-unsur ke-Tionghoa-an. Apa yang saya lakukan adalah semata-mata dorongan intelektual untuk menampilkan kembali fakta-fakta kesejarahan keislaman yang “terlupakan” oleh banyak pihak. Tentu saja buku saya itu tidak akan mungkin bisa hadir ke hadapan publik jika rezim OB yang anti-China itu masih berkuasa!

Apa yang membedakan Muslim China dengan Muslim lain?

Pada saat itu banyak muslim China yang bermazhab Hanafi. Mazhab ini memang klop dengan semangat mereka yang dinamis di dunia perniagaan dan pelayaran. Hanya saja mazhab ini kurang cocok dengan pandangan hidup orang Jawa yang pada waktu itu masih sangat kuat dipengaruhi unsur-unsur Hinduisme. Maka jenis keislaman model Sunan Kalijaga-lah yang banyak diminati orang Islam Jawa. Apalagi fakta sejarah menunjukkan arus keislaman kemudian bergeser ke pedalaman mula-mula ke Pajang, Jipang kemudian Mataram dengan berdirinya Mataram Islam di bawah pimpinan Sutawijaya. Kita tahu Mataram adalah “kerajaan Islam abangan” yang memadukan Hinduisme-Jawaisme dalam praktek keislaman.

Bagaimana kondisi Muslim China sekarang?

Orang-orang Muslim Tionghoa saat ini di Indonesia jumlahnya hanya ratusan tersebar di beberapa kota; Jakarta, Surabaya, Semarang, Purwokerto, Jogjakarta, Cirebon, dll. Mereka mempunyai organisasi sendiri namanya PITI yang dulu kepanjangan dari Perhimpunan Iman Tauhid Indonesia (sekarang Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia). Mereka umumnya adalah fenomena baru yang tidak memiliki kaitan historis dengan nenek moyang mereka. Ada banyak faktor kenapa mereka memilih Islam sebagai home agama mereka ketimbang Konghucu, Taoisme atau Budhidarma.

Pertama, karena agama-agama  ini dilarang OB sehingga mereka migrasi ke agama lain (termasuk Islam) karena alasan “keterpaksaan sejarah”. Kedua, alasan “keamanan” baik secara politik maupun ekonomi. Ketiga, alasan teologis. Adalah lumrah belaka jika ada orang-orang Tionghoa memeluk Islam sama lumrahnya kalau ada orang-orang Betawi, Jawa, Batak, Madura, Papua, Sunda, dll memeluk Islam karena agama ini bukan menjadi monopoli orang-orang Arab saja. Kebanyakan orang-orang Muslim Tionghoa di Indonesia saat ini hidup “eksklusif” membentuk komunitas sendiri, termasuk bikin masjid sendiri seperti Masjid Laotze di Jakarta dan Masjid Muhammad Cheng Ho di Surabaya. Adapun karakteristik keagamaan mereka kebanyakan adalah puritan meskipun ada satu-dua yang menekuni dunia tarekat seperti Anwar Mujahid yang menjadi murid spiritual Syeikh Ahmad Syakir.

Bagaimana perkembangan Islam di Indonesia saat ini?

Saya melihat bandul wacana keislaman yang berkembang di Indonesia belakangan ini mengarah ke “kanan” dengan ditandai semakin maraknya bentuk-bentuk dan praktek-praktek keislaman konservatif yang intolerance dan anti-pluralitas. Realitas ini tentu saja sangat membahayakan tidak hanya masa depan bangsa Indonesia yang beraneka ragam ini tetapi juga masa depan agama-agama mengingat pluralisme adalah pondasi kehidupan bagi agama-agama” (ashl al-hayat bayna al-adyan). Menguatnya arus konservatisme dengan sendirinya merupakan ancaman bagi sendi-sendi kebangsaan, keagamaan, dan kenegaraan Indonesia yang dibangun di atas pondasi pluralitas dan keberagaman.

Sumber: Majalah Syir’ah

Artikulli paraprakViolence and Vengeance: Religious Conflict and Its Aftermath in Eastern Indonesia
Artikulli tjetërAgama dan Masalah Krisis Lingkungan
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

1 KOMENTAR

Komentar ditutup.