Beranda Opinion Bahasa Ambivalensi Bela Manusia

Ambivalensi Bela Manusia

167
0

Sedih menyaksikan perang Israel-Hamas/Palestina yang tak kunjung usai. Lebih sedih lagi melihat banyak negara dan masyarakat di berbagai belahan dunia ini, baik Barat, Timur Tengah, maupun Indonesia, bersikap ambivalen dalam menyikapi perang yang sudah menyengsarakan jutaan umat manusia, menelan puluhan ribu korban jiwa, dan merusak properti yang tak ternilai harganya. Bahkan tidak sedikit pemerintah dan masyarakat yang menjadikan perang sebagai komoditas untuk penggalangan dana atas nama “solidaritas agama/etnis” tetapi tidak jelas kemana larinya karena tidak ada mekanisme pertanggung jawaban publik.

Yang lain memakai konflik untuk mendongkrak popularitas tokoh atau kelompok tertentu demi kepentingan politik, ideologi, dan agama tertentu, atau sebagai sarana untuk menyerang dan menebar kebencian terhadap umat agama/etnis lain. Sementara itu, jutaan pengungsi dan korban perang, yaitu rakyat kecil, termasuk lansia dan anak-anak–baik warga Arab, Yahudi, muslim, kristiani, dan lainnya–yang tidak ada sangkut-pautnya dengan politik tingkat tinggi rezim Israel dan Hamas/Palestina terbengkelai tak terurus tanpa kejelasan nasib dan masa depan mereka.

Ambiguitas Amerika dan Barat

Sudah menjadi “rahasia umum” jika Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara Barat lainnya dalam banyak hal selalu mendukung Israel, apapun yang dilakukan oleh rezim negara ini. Ketika Hamas (akronim dari harakat al-muqawama al-islamiya atau Gerakan Resistensi Islam) merudal Israel pada 7 Oktober tahun lalu, negara-negara ini ramai-ramai mengutuk organisasi politik militan Islamis-nasionalis beraliran Sunni yang didirikan oleh Ahmed Yassin pada 1987 ini.  Oleh Amerika, Inggris dan sekutu keduanya, Hamas dan juga Gerakan Jihad Islam Palestina (harakat al-jihad al-islam fi Filastin, berdiri 1981) memang dicap sebagai ormas teroris yang harus dimusnahkan dari muka bumi.

Memang, serangan brutal Hamas tersebut layak dikecam karena telah menyebabkan setidaknya 1200 nyawa warga Israel melayang dan ribuan lainnya terluka, ditambah 200an yang menjadi tahanan Hamas. Ini belum termasuk properti yang rusak dan hancur-lebur. Tetapi ironisnya, ketika pemerintah Israel melakukan serangan balasan dengan membombardir Gaza lewat darat dan udara, Amerika dan sekutunya nyaris tak bersuara, apalagi mengutuknya. Padahal, korban di pihak Gaza atau Palestina jauh lebih banyak dan lebih parah daripada di Israel. Menurut data dari Al Jazeera, serangan Israel ke Gaza (kini ditambah Rafah) telah merenggut nyaris 30 ribu nyawa warga setempat dan 70 ribuan lainnya menderita luka-luka.

Tentu saja data korban tersebut belum termasuk kerugian material akibat banyaknya properti (rumah, kantor, sekolahan, apartemen, dll) yang porak-poranda. Aneksasi Israel ke Gaza juga memaksa jutaan warga setempat menjadi pengungsi yang tinggal di tenda-tenda kumuh, baik di teritori Palestina (Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur) maupun negara-negara tetangga (Yordania, Suriah, dan Lebanon) serta ratusan ribu anak-anak tak berdosa terpaksa turut hidup menderita tanpa sekolah dan makanan/minuman layak. Mereka seolah tutup mata dengan bencana kemanusiaan di Gaza (dan Palestina).

Alih-alih mengupayakan perdamaian, AS bahkan mengveto draf resolusi Dewan Keamanan PBB tentang gencatan senjata Israel-Hamas. Pula, alih-laih membantu Palestina, Amerika dan sekutunya justru ramai-ramai menghentikan bantuan untuk UNRWA, sebuah badan PBB untuk membantu para pengungsi Palestina di Timur Tengah. Menurut UN Watch, ada 17 negara yang memutuskan untuk menghentikan bantuan, yaitu Amerika, Inggris, Jerman, Swedia, Jepang, Perancis, Swiss, Kanada, Belanda, Australia, Italia, Austria, Finlandia, Salandia Baru, Islandia, Romania, Estonia, plus Uni Eropa.

Menurut mereka, ada sejumlah alasan kenapa menghentikan dana bantuan, antara lain, (1) adanya dugaan 12 staf UNRWA yang terlibat di penyerangan ke Israel pada 7 Oktober dan (2) sekitar 10 persen pekerja di lembaga ini diduga menjadi aktivis Hamas dan/atau Gerakan Jihad Islam Palestina. Tentu saja penghentian dana ini berdampak besar bagi kelangsungan jutaan pengungsi Gaza/Palestina karena kehidupan mereka saat ini banyak tergantung pada UNRWA.

Perlakuan Diskriminatif Barat atas Israel dan Palestina

Pada saat yang bersamaan, Amerika belum lama ini memutuskan untuk memberi bantuan sekitar $14.3 milyar ke Israel (dan $61.4 milyar ke Ukraina). Bantuan ini tidak termasuk $250 milyar yang sudah diberikan Amerika ke Israel pada tahun-tahun sebelumnya guna membantu penguatan militer dan ekonomi. Tak bisa dipungkiri, bagi pemerintah AS (rezim dari parpol manapun yang berkuasa, Demokrat atau Republik), Israel ibarat “anak tersayang yang selalu dibantu dan dibela” sementara Palestina bak “anak tiri yang selalu disia-sia.”

Jika Amerika dan sekutunya menghentikan bantuan ke UNRWA dengan alasan adanya dugaan keterlibatan sejumlah staf/pekerja ke penyerangan Israel atau keterkaitan dengan Hamas dan Gerakan Jihad Islam Palestina, kenapa mereka tetap membantu rezim Benjamin Netanyahu? Bukankah sejatinya mereka itu sama saja, yakni sama-sama kelompok ultranasionalis garis keras yang gemar melakukan perang, kekerasan, dan terorisme? Bedanya hanya yang satu berbaju Islam/Arab, satunya Yudaisme/Yahudi.

Seperti pentolan Hamas dan Gerakan Jihad Islam Palestina, Netanyahu juga sosok anti-perdamaian Israel-Palestina. Pada 1993, ketika kedua pemimpin Isarel dan Palestina (Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat) menandatangani perjanjian perdamaian Oslo (Perjanjian Oslo I) yang dibrokeri pemerintah Norwegia, Netanyahu menuding perjanjian ini sebagai “lonceng kematian” bagi Israel. Netanyahu yang sejak 1993 menjadi ketua Partai Likud kemudian getol melawan berbagai upaya perdamaian Israel-Palestina serta memusuhi para tokoh agama, akademisi, jurnalis, dan aktivis Yahudi/Israel yang pro-perdamaian. Tidak sedikit dari kelompok pro-perdamaian ini yang tewas dibunuh oleh militan Yahudi termasuk Yitzhak Rabin sendiri. Netanyahu dan kelompok ektrimis Yahudi/Israel semakin gencar melawan proses perdamaian (termasuk Perjanjian Oslo I & II) sejak ia terpilih menjadi Perdana Menteri tahun 1996 mengalahkan Shimon Peres.  

Bukan hanya pemerintah, sebagian rakyat Amerika (dan Barat pada umumnya) juga ambigu dalam menyikapi perang/konflik Israel-Hamas/Palestina. Kita tahu sejumlah konglomerat Yahudi mengancam menghentikan bantuan dana ke sejumlah universitas besar di Amerika seperti Universitas Harvard dan Universitas Pennsylvania serta meminta presiden kedua universitas tersebut mundur karena dianggap tidak tegas dalam memerangi aksi antisemitisme di kampusnya. Tekanan yang begitu kuat dari konglomerat Yahudi dan elit politik Amerika memaksa kedua presiden kampus tersebut (Claudine Gay dan Liz Magill) terpaksa mundur. 

Ambivalensi Indonesia dan Umat Islam

Setali tiga uang dengan Amerika dan Barat, Indonesia dan umat Islam, termasuk pemerintah dan masyarakat Timur Tengah, juga ambigu dalam menyikapi konflik Israel-Hamas/Palestina. Setiap perang Israel-Palestina meletus, umat Islam (beserta tokoh dan elit politiknya) di Indonesia dan dimanapun, termasuk di Barat dan Timur Tengah, hiruk-pikuk mengutuk Israel di satu sisi dan membela Palestina di pihak lain. Mereka juga rela menggalang donasi untuk Palestina. Bagi umat Islam, Israel selalu dituding sebagai pelaku kekerasan atau pihak “terdakwa” yang bersalah, sedangkan Palestina dianggap sebagai korban dan obyek kekerasan yang selalu benar.

Adakah umat Islam yang mengutuk Hamas saat ormas militan ini merudal Israel pada 7 Oktober sambil menyebarkan pamflet atau spanduk bertuliskan “Save Israel”? Adakah umat Islam yang bersimpati dan menggalang dana untuk para korban warga Israel? Tentu saja sulit menemukannya karena bagi umat Islam pada umumnya, serangan Hamas (atau Gerakan Jihad Islam Palestina) ke Israel dianggap sebagai “jihad suci” sementara serbuan Israel ke Palestina dianggap sebagi “teror terkutuk.”

Jangankan bersimpati dengan para korban warga Israel, Ukraina, dan negara non-muslim lainnya, umat Islam juga banyak yang tidak peduli dan simpati dengan para korban kaum muslim di berbagai negara dan kawasan di luar Palestina. Adakah umat Islam yang berempati dengan para korban perang dan kekerasan di Irak, Iran, Suriah, Yaman, Sudan, Mesir, Tunisia, Aljazair, Lebanon, Turki, Pakistan, Afganistan, dan seterusnya? Pula, adakah umat Islam yang mengutuk para pelaku kekerasan di negara-negara ini, sebagaimana mereka begitu heroik mengutuk Israel? Nyaris tidak ada karena pelaku/aktor kekerasan terhadap umat Islam ini adalah kelompok Islam sendiri bukan Yahudi, Kristen, Buddha, Hindu, ateis, dan lainnya.

Padahal, seperti konflik Israel-Hamas/Palestina, perang di negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim ini juga menyebabkan banyak nyawa umat Islam melayang sia-sia dan jutaan lainnya hidup menderita. Lihat Sudan dan Yaman sebagai contoh kecil. Menurut data PBB, per Januari 2024, perang sipil menyebabkan sekitar 15 ribu orang meninggal, 33 ribu terluka, dan 8 juta lainnya sebagai pengungsi. Korban di di Yaman lebih parah lagi. Perang berkepanjangan di negara ini telah menyebabkan setidaknya 150 ribu orang terbunuh, 277 ribu meninggal karena kelaparan, serta puluhan juta lainnya, termasuk anak-anak, hidup menderita sebagai pengungsi tanpa asupan nutrisi memadai. Data korban kemanusiaan di Yaman jauh berlipat-lipat lebih banyak ketimbang Palestina. Tapi siapa yang peduli Sudan dan Yaman? Kenapa korban Palestina seolah “lebih berharga” ketimbang para korban di Yaman, Sudan, Suriah, Irak, Afganistan, dan lainnya?

Agama dan Kemanusiaan

Meski demikian tidak semua umat Islam, Yahudi, Kristen dan lainnya bersikap ambigu dan “pilih kasih” dalam membela dan menolong manusia. Ada cukup banyak kelompok dan tokoh agama yang konsisten dalam membela kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat keagamaan. Catholic Relief Service, Mennonite Central Committee, Tzu Chi Foundation, atau Rabbis for Human Rights adalah sekelumit contoh lembaga keagamaan yang sangat konsisten dalam membela dan membantu kemanusiaan tanpa memandang etnis/suku dan agama. Begitu pula banyak tokoh agama yang memiliki visi kemanusiaan kuat melampaui batas-batas primordial keagamaan seperti mendiang Shimon Peres, Abuna Syakur, Romo Mangun, Gus Dur, Buya Syafii Maarif, Bhikkhuni Cheng Yen, dlsb. Agama memang harus berorientasi pada kemanusiaan (“antroposentris”) karena memang agama hadir untuk manusia, dan manusia itu bukan hanya warga Israel dan Palestina.

Keterangan: artikel ini semula diterbitkan di Kompas pada 5 Maret 2024.

Artikulli paraprakThe Ambivalence of Human Defense
Artikulli tjetërHouthi dan Syiah Yaman
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini