Beranda Opinion Bahasa Atas Nama NU

Atas Nama NU

1530
0

Sejak dua tokoh NU, KH Hasyim Muzadi dan Shalahudin Wahid menjadi calon wakil presiden dari PDIP dan Partai Golkar, tiba-tiba saja di NU ini bermunculan berbagai organisasi, lembaga sosial masyarakat (LSM) dan bahkan paguyuban yang semuanya mengatasnamakan NU. Organisasi atau LSM atau paguyuban NU yang seperti cendawan di musim hujan ini hadir bukan sebagai respons atas fakta sosial-politik-ekonomi dan intelektual bangsa ini yang terpuruk atau lahir untuk memperkuat basis kultural NU dalam rangka menghadapi dampak arus geo-politik dan geo-ekonomi yang merasuk ke hampir semua kawasan tradisional NU melainkan lebih pada aksi temporal untuk mendukung sang cawapres yang diidolakan. Fakta ini diperparah oleh banyaknya kiai yang menjadi tim sukses dari pasangan capres dan cawapres tertentu (baik resmi maupun setengah resmi). Ini adalah salah satu dari ironi di jagat NU.

Sebagai anak muda NU, saya sangat sedih melihat arus perkembangan wacana kepolitikan di NU. Di tengah terbengkelainya aset-aset kultural, ekonomi, politik dan intelektual NU, para “stakeholder” NU justru berebutan “kue kekuasaan”. Seolah tidak ada ruang politik lain yang bisa ditempuh untuk “memberdayakan” warga NU selain kekuasaan. Seolah tanpa kekuasaan NU akan mati. Ini adalah pandangan yang menggelikan sebab NU selama ini tampil sebagai pilar kekuatan civil Islam dan civil society yang tangguh di negeri ini, tiba-tiba menjadi organisasi Islam yang lembek dan cengeng. Kita juga tahu, berdirinya NU pada 1926 bukan atas restu kekuasaan pemerintah kolonial Belanda tetapi justru sebaliknya dalam rangka mengibarkan bendera perlawanan baik pada kolonialisme maupun pada ormas puritan Islam. Jadi memang sejak dari awal, NU tampil sebagai lambang perlawanan atas “arogansi” kekuasaan baik dalam pengertian politik maupun keagamaan.

Tetapi apa yang terjadi sekarang? NU justru jadi “bancaan,” jadi ajang komersialisasi para petualang politik. Kekuasaan yang dulu ditabukan karena korup sekarang dipuja. Para kiai yang dulu menjadi pejuang kultural, pembela hak-hak minoritas politik yang ditindas kekuasaan sekarang justru menjadi “makelar politik” orang/kelompok tertentu yang dipandang menguntungkan secara pragmatis. Mereka berdalil (berdalih?) hanya melalui kekuasaan, NU bisa membangun perangkat infrastruktur dan suprastruktur yang kuat. Tetapi apa buktinya? Banyaknya kader NU di politik kekuasaan juga tidak berdampak secara signifikan bagi pengembangan ke-NU-an. Mereka lebih pantas disebut sebagai “bangsawan” yang elitis-pragmatis ketimbang sebagai “negarawan” yang populis dan memerjuangkan keadilan sosial di masyarakat basis.

Bahkan tidak sedikit pesantren dan santri terbengkelai akibat para kiainya lebih asyik mengurusi kekuasaan. Jika situasi ini tidak dihentikan, maka gema protes pada kiai akan merambah kemana-mana, di setiap basis kultural NU. Sekarang saja sudah terdengar sejumlah protes santri di berbagai daerah yang disamping diakibatkan mereka tidak lagi diurusi kiainya. Juga lantaran mereka dibuat bingung oleh sikap politik kiai, yang dulu membela Si A mati-matian kemudian berbalik memusuhi Si A mati-matian karena sudah menjagokan calon lain. Memang tidak bisa dipungkiri, “skisme” yang terjadi di tubuh kiai karena kepentingan pragmatis yang berbeda berdampak pada persetruan jamaah, warga NU yang umumnya adalah para santri dan eks-santri.

Tidak sebatas itu, kiai yang “mengabdikan diri” pada kekuasaan akan berakibat pada pudarnya wibawa tradisional mereka di mata pengikutnya. Mereka tidak lagi dihargai petuahnya, ditaati kata-katanya. Kata-kata “sami’nan wa atha’nan” (kami dengar dan taat) yang dulu menjadi tradisi di masyarakat santri dan warga NU pada umumnya yang mencerminkan keloyalan kepada kiai, sekarang seperti tidak memiliki tuah lagi. Kata-kata itu seperti jargon kosong tak bertuah. Bayangkan saja, begitu KH Abdullah Faqih dan sejumlah kiai alim-saleh lain di Pasuruan menggemakan keharaman presiden perempuan yang terjadi bukan “sami’nan wa atha’nan” tetapi justru umpatan di mana-mana.

Meskipun Kiai Faqih tidak salah ketika mengatakan itu karena memang ada referensi kitab klasiknya. Tetapi karena aura politiknya lebih kental ketimbang sebuah refleksi intelektual keislaman akibatnya beliau menuai banyak protes. Padahal kita tahu derajat kealiman dan kesalehan seorang Kiai Faqih. Inilah yang saya sebut sebagai rontoknya “kharisma tradisonal” kiai. Sebagai warga NU, saya sangat sedih melihat pemandangan ini. Jika “kharisma tradisional” kiai sudah pudar lalu apa lagi yang diandalkan oleh seorang kiai dalam melakukan tugas-tugas kulturalnya? Di sinilah saya, atas nama diri sendiri, dengan segala hormat menyerukan kiai untuk kembali ke barak, ke pesantren dan jama’ahnya. Biarlah wilayah politik kekuasaan diurusi oleh politisi dan profesional NU.

Pada level inilah kiai justru dihargai dan berfungsi dan bermakna secara sosial sebagai countervailing power, sebagai pengimbang kekuasaan yang cenderung korup, represif dan hegemonik. Juga sebagai penguat civil Islam dan civil society dalam rangka menciptakan umat Islam dan manusia pada umumnya agar lebih bermartabat dan dihargai hak-hak kemanusiaannya. Marilah kita atasnamakan NU untuk kegiatan yang produktif bagi pengembangan sosial-kemasyarakatan dan keintelektualan yang terpuruk ini bukan untuk menyokong kelompok tertentu, orang tertentu yang belum tentu bermanfaat buat NU dan bangsa ini. Salam.

 

 

 

 

Artikulli paraprakMennonite, Amerika, dan Islam
Artikulli tjetërBersama Justisia di Masa Genting Orba
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini