Beranda Opinion Bahasa Ateisme di Timteng?

Ateisme di Timteng?

711
0

Jagat maya Indonesia belakangan ramai membicarakan fenomena ateisme di Timur Tengah (Timteng), khususnya negara-negara Arab, karena laporan sebuah media yang mengutip hasil polling, survei, dan laporan sejumlah lembaga (seperti pemerintah Amerika Serikat, The Group for Analyzing and Measuring in Iran, BBC International, dan The Arab Barometer) tentang fenomena menurunnya populasi umat beragama di satu sisi serta tren berkembangannya kelompok ateisme, agnotisisme, atau non-agama di pihak lain.

Ramainya respon publik tersebut tidak lepas dari asumsi bahwa Timteng merupakan “kawasan Islam” dan penghuninya merupakan pengikut agama yang taat dan bahkan fanatik. Meskipun tentu saja ada banyak masyarakat Timteng yang religius, mengidentikkan mereka dengan kesalehan dan ketaatan beragama tidak selamanya akurat karena memang ada banyak masyarakat yang tidak saleh dan agamis (baca, tidak menjalankan ajaran agama secara ketat).

Pula, mengidentikkan mereka dengan Islam saja juga tidak akurat karena ada jutaan pengikut agama selain Islam, termasuk umat kristiani. Timteng juga bukan hanya rumah bagi suku-bangsa Arab saja tetapi juga suku-bangsa lainnya seperti Persi, Kurdi, Yazidi, Druze, Yahudi, Amazigh, dlsb. 

Temuan Survei

Di antara hasil temuan survei tersebut, antara lain, 47 persen dari 40,000 responden penduduk Iran yang disurvei oleh The Group for Analyzing and Measuring in Iran tahun 2020 menyatakan telah beralih dari beragama ke ateis (atau minimal tidak beragama). Hasil survei dari BBC International (2019) juga menunjukkan tren serupa, yakni peningkatan persentase umat non-agama di Timteng secara umum dari 8 persen (tahun 2013) menjadi 13 persen (tahun 2019).

Hasil temuan International Religious Freedom Reports (2022) yang dirilis oleh pemerintah Amerika juga menunjukkan tren peningkatan persentase umat non-agama, khususnya di kalangan masyarakat Arab. Kemudian, dalam laporan yang dikeluarkan oleh The Arab Barometer (sebuah lembaga polling ternama di Libanon) belakangan ini disebutkan bahwa, berdasarkan survei terhadap 25,000 warga setempat, 43 persen dari responden menyatakan mengalami “kemerosotan kesalehan individu” alias merasa tidak religius lagi.

Pada tahun 2012, WIN/Gallup International juga pernah mengeluarkan laporan mengejutkan: dari sekitar 500an warga Arab Saudi yang disurvei dan wawancarai, 19 persen menyatakan “tidak religius” dan 5 persen menyatakan sebagai ateis. Laporan ini menimbulkan respon yang beragam dari pemerintah maupun tokoh masyarakat.

Ada yang menghukumi ateisme dengan terorisme yang harus dihukum berat tetapi ada pula yang menawarkan jalan dialog (misalnya Profesor Yusuf Al-Ghamdi dari Universitas Umm al-Qura) karena menganggap ateisme sebagai “fenomena intelektual” bukan “fenomena perilaku” seperti radikalisme sehingga perlu dihadapi secara intelektual. Guna merespon fenomena munculnya ateisme, Universitas Islam Madinah dikabarkan pernah membuat lembaga atau pusat konsultasi yang khusus menangani masyarakat yang ragu dengan agama mereka (baca, Islam).  

Sejumlah Faktor

Kenapa sebagian masyarakat Timteng menjadi ateis? Pertanyaan ini sebetulnya cukup aneh karena ateisme, sebagaimana teisme, sejatinya merupakan fenomena universal yang bisa terjadi pada siapa saja dan etnik mana saja di dunia ini. Fenomena ateisme di Timteng sebetulnya sama dengan fenomena teisme di Amerika. Keduanya tidak ada yang aneh karena sama-sama sebagai sebuah fenomena sosial yang lumrah, selain sebagai bagian dari proses perubahan individu yang biasa dan bisa terjadi pada siapa saja.

Brian Whitaker dalam bukunya Arabs Without God: Atheism and Freedom of Belief in the Middle East mengidentifikasi sejumlah faktor yang menyebabkan munculnya ateisme di Timteng (dan Afrika Utara), antara lain, (1) ketidaksinkronan antara ajaran normatif agama dan praktik pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari, (2) kekerasan dan pelanggaran hak-hak sipil yang marak di masyarakat, (3) proses modernisasi dan sekularisasi yang merambah kawasan Timteng/Afrika Utara sejak beberapa dekade silam, dan (4) teknologi internet dan media sosial yang memudahkan masyarakat untuk mencari berbagai sumber informasi dari mana saja tanpa censorship dari pemerintah maupun kelompok agama sekaligus berinteraksi dengan siapa saja tanpa batas negara, etnis, dan agama.

Sebagian menuding westernisasi dan demokrasi sebagai penyebab munculnya ateisme dan menurunnya religiusitas masyarakat. Yang lain mengarahkan jari telunjuk ke dunia pendidikan Barat yang telah mendidik masyarakat Timteng menjadi liberal-sekuler.

Apapun faktor penyebabnya, saya melihat ateisme di Timteng dan dimanapun, termasuk di Indonesia, sebagai fenomena sosial dan individual yang wajar yang bisa menimpa siapa saja dan kapan saja. Proses perubahan atau transformasi dari teisme ke ateisme bisa disebabkan karena hilangnya kepercayaan (trust) terhadap agama setelah melihat berbagai tindakan buruk dan tidak manusiawi yang dilakukan oleh (sebagian) kelompok agama (radikalisme, terorisme, vandalisme, dehumanisme, dlsb).

Tetapi bisa juga karena proses intelektualisasi dan rasionalisasi atas teks, ajaran, doktrin, dan diskursus agama yang dipandang tidak sesuai (atau bertentangan) dengan spirit sains, common sense, pengetahuan, kemodernan, dan perubahan zaman. Kejenuhan dalam menjalankan tumpukan dogma agama yang tidak berbanding lurus dengan nasib dan pengalaman hidup juga bisa menjadi penyebab munculnya ateisme.

Akar Sejarah

Jika melihat sejarah Timteng, ateisme sebetulnya bukan sesuatu yang baru yang muncul belakangan akibat infiltrasi (penyusupan) atau penyerbuan budaya asing (Barat) melalui proyek demokrasi, modernisasi, atau sekularisasi seperti dituduhkan sejumlah pihak. Fenomena ilhad yang bisa dimaknai sebagai ateisme, apostasi (pemurtadan), atau zindik sudah sangat tua dalam sejarah Timteng. Sarah Stroumsa dalam Freethinkers of Medieval Islam, menulis kalau pada abad ke-9 ada seorang teolog Syiah Zaidiyah dari Semenanjung Arab bernama Al-Qasim bin Ibrahim al-Rassi yang menulis sebuah karya (Radd ‘ala al-Mulhid) yang menyerang kelompok kontra-agama, yakni ateis, non-teis, dan zindik (heretics).

Dua sarjana Timteng masa lampau (abad ke-9/10) yang sering dikaitkan dengan gagasan ateisme adalah Ibnu al-Rawandi dan Abu Bakar al-Razi. Keduanya dikenal sebagai pengkritik nomer wahid atas doktrin-doktrin keagamaan, konsep wahyu, atau gagasan kenabian (prophecy) seraya menganjurkan optimalisasi akal-pikiran dalam memahami fenomena sosial-kultural di sekeliling kita.

Meskipun mendapat tantangan sana-sini dari berbagai kelompok agama dan politik, gagasan dan praktik ateisme terus berlanjut di era modern Timteng. Misalnya, pada tahun 1930an, Mesir pernah dikejutkan dengan munculnya Ismail Adham yang menulis buku berjudul Limadza ana Mulhid (Mengapa Saya Ateis?).

Tak pelak buku ini menggegerkan publik dan memunculkan reaksi panas dari berbagai kelompok agama. Sementara itu publik Arab Saudi juga dikejutkan dengan munculnya Abdullah al-Qassimi (1907-1996), salah satu penulis-intelektual kontroversial dan pembela gigih ateisme yang menariknya lahir di Buraidah, salah satu pusat (sarang) kelompok Wahabi. Sebelum pindah haluan menjadi ateis, ia sempat menjadi advokat Salafisme paling getol.

Prospek Masa Depan

Apakah ateisme di Timteng akan terus eksis di masa depan? Sebagai bagian dari dinamika individual, proses intelektual, dan perubahan sosial umat manusia, ateisme (sebagaimana teisme) akan selalu ada di tengah masyarakat. Ateisme tak akan mati meskipun kelompok teis berusaha membunuh dan menguburnya. Demikian pula sebaliknya, teisme tak akan punah meskipun kelompok ateis berusaha menyerang dan melumatkannya.

Teisme-ateisme akan selalu hadir di masyarakat manapun, termasuk Timteng, meskipun relasi keduanya jarang harmonis dan sering main “petak umpet.” Di masyarakat yang didominasi kaum teis (seperti Timteng dan Indonesia), banyak kelompok ateis yang menyembunyikan identitas mereka karena, jika tidak, akan mendapat hukuman serius dari penguasa politik dan agama. Sebaliknya, di masyarakat yang didominasi oleh kelompok ateis, kaum teis biasanya juga tidak menunjukkan identitas mereka secara vulgar di ruang publik.

Mampukah di masa depan keduanya hidup berdampingan secara damai dan harmoni penuh respek dan toleransi tanpa diiringi rasa takut dan curiga atau saling menegasikan satu sama lainnya? Keduanya sebetulnya bisa hidup berdampingan secara damai jika negara mengadopsi prinsip sekularisme yang tidak mempermasalahkan kelompok agama maupun non-agama atau teisme dan ateisme. Alternatif lain, atas dasar perikemanusiaan, negara memberi jaminan/perlindungan politik dan hukum terhadap kelompok ateis/teis. Tetapi dalam konteks Timteng, sepertinya ide ini sulit terwujud alias hal yang mustahil, kecuali jika terjadi keajaiban yang entah kapan hadirnya. 

Keterangan: artikel ini semula terbit di Kompas dengan judul “Timur Tengah, Agama, dan Religiositas” pada 17 Juni 2023

Artikulli paraprakBeyond Liberal Peace: Religious Violence and Tactical Peacebuilding in Indonesia
Artikulli tjetërToleransi Agama di Uni Emirat Arab
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.