Di antara negara-negara di Timur Tengah (Timteng) yang mayoritas berpenduduk muslim, Uni Emirat Arab (UEA) termasuk yang sangat menarik untuk dicermati. Meskipun dari aspek pemerintahan UEA tergolong otoriter dan konservatif, negara ini menjadi salah satu yang paling liberal dalam hal ekspresi kebudayaan dan membangun relasi sosial serta paling toleran dalam beragama dan bermasyarakat. Dalam hal partisipasi perempuan di sektor publik juga tergolong fenomenal.
Beberapa indikator toleransi sosial-agama dapat dilihat berikut ini. Misalnya, tidak seperti umumnya negara-negara di Timteng (kecuali Maroko atau Bahrain) yang masih “malu-malu” dalam menjalin hubungan sosial dengan umat Yahudi, negara mini berpenduduk 9,2 juta yang kaya di kawasan Teluk Arab ini belakangan berani “buka-bukaan” mengekspresikan harmonisasi dengan warga Yahudi (antara lain, menjadi tuan rumah pesta pernikahan mereka yang dihadiri oleh sejumlah petinggi pemerintah atau membolehkan usaha bisnis dan pendirian ormas Yahudi).
Meskipun tidak besar, umat Yahudi juga eksis di UEA yang menurut Rabbi Marc Schneier dari Foundation of Ethnic Understanding ada sekitar 3000 jiwa. Tahun 2020, UEA menjadi negara pertama di kawasan Teluk Arab (atau Teluk Persi) yang membangun hubungan diplomatik dengan Israel, yang kemudian disusul negara tetangganya, Bahrain.
Toleransi Kemajemukan Seni-Budaya
UEA juga dikenal sangat toleran dengan keragaman seni-budaya. Pemerintah juga menggaransi ekspresi selebrasi kemajemukan seni-budaya penduduknya sehingga membuat UEA, dari aspek kesenian atau kebudayaan secara umum (baik kebudayaan bendawi maupun nonbendawi) sangat warna-warni.
Dari aspek ekspresi seni dan budaya, negara kerajaan semi-konstitusional berbentuk federal ini bisa dikatakan yang paling majemuk di Timteng lantaran menjadi rumah bagi aneka ragam kebudayaan dalam dan luar negeri. Keragaman budaya itu bisa dimaklumi karena UEA menjadi rumah umat manusia dari berbagai suku, etnis, bangsa, dan negara. Bahkan penduduk Arab lokal (Emirati) hanya sekitar 11 persen, selebihnya (89 persen) merupakan warga asing (imigran).
Warga asing terbanyak yang menempati UEA berasal dari Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh). Di antara negara-negara di Asia Selatan, India yang paling banyak (sekitar 38 persen) karena sudah lama menempati UEA, yakni sejak menjadi “koloni” Inggris. Inggrislah dulu yang mula-mula mendatangkan warga India ke UEA untuk dipekerjakan di berbagai sektor. Sementara itu di antara negara-negara Timteng, Mesir yang paling dominan, sedangkan dari Asia Tenggara, warga Filipina yang paling banyak menempati UEA. Keragaman masyarakat tersebut tentu saja berdampak pada keragaman budaya dan juga agama.
Harmoni Antaragama
Dalam hal keagamaan dan kehidupan beragama, UEA juga dikenal sangat toleran. Sudah tidak asing lagi, UEA yang kini dipimpin oleh Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan menjadi rumah bagi aneka ragam agama dan sekte Islam seperti Sunni, Syiah, Ibadi, dan lainnya. Sunni menjadi sekte Islam dominan, sedangkan populasi warga Syiah (baik Syiah Arab, Syiah Persi, dan lainnya) sekitar 15-20 persen. Meskipun relasi pemerintah UEA dan Iran kurang harmonis karena konflik atas sejumlah pulau di kawasan Teluk Arab/Persi tetapi itu tidak mempengaruhi hubungan baik antarwarga Sunni dan Syiah. Kelompok Sufi juga berkembang biak di UEA.
Populasi non-muslim juga signifikan di UEA sebagai dampak dari besarnya kelompok imigran. Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, Sikh, Bahai, Jain, dan lain-lain berkembang biak dan hidup berdampiangan secara damai di UEA. Di antara umat non-muslim, umat Kristen (khususnya Katolik Roma dan Protestan) yang paling dominan (sekitar 13 persen). Mereka bukan hanya berasal dari Asia, Afrika, Eropa, Amerika Utara, atau Amerika Latin saja tetapi juga umat Kristen Timteng, khususnya dari Mesir, Libanon, Suriah, Yordania, dan Palestina.
Hingga tahun 2020, tercatat ada sekitar 54 gereja Kristen dari berbagai denominasi di UEA, dan bahkan Apostolic Vicariate of Southern Arabia dari gereja Katolik bermarkas di Dubai. Minoritas agama terbesar kedua setelah Kristen adalah Hindu (sekitar 7 persen) kemudian diikuti Buddha (2 persen) dan umat lainnya. Sebagaimana umat Kristen, mereka juga memiliki tempat ibadah yang digaransi oleh pemerintah.
Relasi harmoni dan toleran antarkelompok agama di UEA dibuktikan dengan tidak adanya kekerasan komunal antarkelompok agama (baik kekerasan antarfaksi dalam Islam maupun muslim versus non-muslim) maupun kekerasan struktural terhadap kelompok agama tertentu yang didukung atau disponsori (baik langsung maupun tidak langsung) oleh pemerintah dan aparat keamanan.
Peran Sentral Pemerintah
Harmoni sosial-budaya-agama yang berlangsung di UEA tersebut tentu saja tidak lepas dari peran sentral pemerintah dalam mengelola kemajemukan warganya. Ada cukup banyak kebijakan pemerintah UEA yang bertujuan menciptakan harmoni sosial di satu sisi serta menghindari konflik atau ketegangan sosial di pihak lain.
Misalnya, pemerintah UEA membentuk kementerian yang khusus bertugas mengurusi toleransi dan koeksistensi damai di masyarakat. Pemerintah juga menyediakan lahan untuk pembangunan tempat-tempat ibadah non-muslim termasuk gereja dan kuil. Selain itu, pemerintah juga melindungi penuh kebebasan beribadah umat non-muslim sehngga membuat umat Kristen dan lainnya merasa nyaman dalam melakukan aktivitas kebaktian agama serta perayaan hari-hari penting agama mereka.
Tahun 2019, pemerintah mendesain “Abraham Family House” (baiat al-ailat lil ibrahimiyah), yakni sebuah komplek atau area di Pulau Saadiyat (Abu Dhabi) yang dibangun tiga tempat ibadah umat Islam (masjid), Kristen (gereja), dan Yahudi (sinagog), sebagai simbol harmoni sesama agama dari rumpun Semit. Di kawasan ini dibangun Masjid Imam Al-Tayeb, Gereja St. Francis, dan Sinagog Moses Ben Maimon.
Pembangunan kompleks ini diinspirasi oleh Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together, sebuah pernyataan bersama antara Sheikh Ahmed Al-Tayeb (Imam Besar Al-Azhar, Mesir) atas nama umat Islam dan Paus Fransiskus atas nama umat Katolik, yang ditandatangi di Abu Dhabi (karena itu dokumen ini juga dsebut “Deklarasi Abu Dhabi”).
Kemudian tahun 2016, pemerintah meluncurkan “Program Toleransi Nasional” yang digagas oleh Sheikha Lubna binti Khalid Al Qasimi (Menteri Negara urusan Toleransi). Menurut Sheikha Lubna, tujuan utama dari program ini adalah untuk membangun iklim toleransi, spirit perdamaian, praktik multikulturalisme, dan kultur penerimaan terhadap yang lain serta menolak tegas segala tindakan rasisme, radikalisme, intoleransi, diskriminasi, dan kebencian terhadap individu dan kelompok lain. UEA memang tidak memberi ruang secuilpun pada tindakan (fisik maupun verbal) intoleransi dan radikalisme.
Dampak Kebijakan dan Sikap Tegas Pemerintah
Sikap tegas pemerintah ini berdampak pada terciptanya iklim sejuk dan relasi harmoni antarkelompok masyarakat. Pula, kebijakan ini “memaksa” kelompok radikal-intoleran untuk bungkam. Perlu diketahui, kelompok Salafi garis keras juga eksis di UEA tetapi mereka “tidak banyak tingkah” dengan mengharamkan berbagai produk seni-budaya yang dianggap bertentangan dengan akidah dan praktik keagamaan mereka atau dengan mengafirkan dan menggeruduk kelompok agama dan sekte Islam lain. Mereka juga tidak melontarkan ujaran-ujaran kebencian terhadap non-muslim maupun sekte-sekte Islam lain. Bisa dipastikan jika mereka melakukan hal itu segera “dibungkam” dan “dibekukan” oleh pemerintah karena dianggap mengganggu kemajemukan serta berpotensi menciptakan kekacauan sosial dan relasi tidak harmonis antarkelompok masyarakat.
Begitu pula, pengikut Hizbut Tahrir juga ada di UEA tetapi sama seperti kelompok Salafi, mereka juga diam tidak berani mendelegitimasi atau “mengtaghutkan” pemerintah meskipun sistem, bentuk, dan mekanisme pemerintahan UEA bertentangan dengan konsep pemerintahan model Khilafah yang digambarkan dan diidealkan oleh Hizbut Tahrir. Jika mereka berani melakukan itu, bisa dipastikan akan “digelandang” oleh pemerintah dan aparat.
Demikianlah sekelumit cerita dan “kabar gembira” dari UEA. Pelajaran penting yang bisa diambil dari UEA adalah demi atau untuk menjaga dan merawat kemajemukan budaya dan harmoni sosial-keagamaan, membuat aturan dan kebijakan saja tidak cukup. Perlu tindakan tegas bagi para pelanggar hukum, perusak kemajemukan budaya dan agama, serta pengganggu keharmonisan sosial di masyarakat. Bisakah pemerintah Indonesia mencontohnya?
Keterangan: tulisan ini semula diterbitkan di Kompas (9 September 2023) dengan judul “Toleransi Agama di Timur Tengah.”