Beranda Opinion Bahasa Budaya Sepak Bola di Timur Tengah

Budaya Sepak Bola di Timur Tengah

930
0

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, FIFA menggelar Piala Dunia di Timur Tengah (Timteng). Negara yang dipilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 adalah Qatar, sebuah negara mini dan kaya di kawasan Teluk Arab atau Teluk Persi yang jumlah penghuninya lebih banyak didominasi kaum migran (88 persen) daripada warga Arab Qatar (12 persen).

Piala Dunia tahun ini akan digelar dari 20 November hingga 18 Desember. Ada 32 tim sepak bola dari seluruh penjuru dunia yang akan ikut berkompetisi di Piala Dunia Qatar 2022. Perwakilan negara Arab yang akan bermain di Piala Dunia tahun ini adalah Arab Saudi, Tunisia, Maroko, dan tentu saja Qatar yang mendapat tiket gratis karena sebagai tuan rumah.  

Pro-Kontra Piala Dunia Qatar

Tentu menjadi tanda tanya besar, kenapa Qatar yang terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia. Padahal prestasi sepak bola Qatar tidak terlalu cemerlang meskipun tim nasionalnya pernah bermain di Copa America (2019) dan CONCACAF Gold Cup (2021). Tetapi secara umum prestasi dan rekam jejak Qatar dalam dunia sepak bola kalah telak dengan negara tetangganya, khususnya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) atau negara Arab lain seperti Aljazair, Mesir, Maroko, dan Tunisia.

Belakangan tercium aroma busuk menyeruak di balik pemilihan Qatar. Terpilihnya Qatar tidak lepas dari isu suap yang menimpa para petinggi FIFA yang bertanggung jawab atas pemilihan negara-negara yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia. Barney Ronay, kolomnis The Guardian, membeberkan sejumlah elit FIFA–dari Sepp Blatter dan Chuck Blazer hingga Issa Hayatou dan Mohammed bin Hamman–yang terlibat konspirasi, korupsi, kolusi, dan suap jutaan dollar atas pemilihan Qatar. Banyak dari mereka yang kemudian dipenjara, dipecat dari FIFA, dan dilarang terlibat di berbagai perhelatan internasional sepak bola. Tapi kasus buruk skandal suap dan korupsi ini bukan pertama kali dan satu-satunya dalam sejarah FIFA.

Bagi Qatar, mengeluarkan uang pelicin jutaan dollar tentu bukan masalah. Yang penting terpilih sehingga bisa mempromosikan, mempopulerkan, dan mengokohkan Qatar di kancah dunia internasional. Sejak terpilih menjadi tuan rumah, Qatar kemudian membangun delapan stadium megah supermodern. Forbes memperkiraan biaya yang dikeluarkan Qatar untuk menghelat Piala Dunia ini sebesar 150 Milyar USD, sepuluh kali lebih banyak ketimbang biaya Piala Dunia di Russia tahun 2018.

Selain isu suap dan korupsi, Piala Dunia Qatar juga diwarnai sejumlah protes dan boikot dari para pengamat, praktisi, dan aktivis dunia bola karena beberapa alasan, misalnya, terkait isu-isu dinamika politik regional, proses dan mekanisme penyelenggaraan acara, kondisi geografi, atau masalah hak azasi manusia di Qatar yang dianggap kurang baik dan belum memenuhi standar internasional.

Yang menarik para tokoh militan Islamis dan teroris di Qatar tidak bersuara sedikitpun dan mengkritik perhelatan Piala Dunia. Sejak beberapa tahun silam, Qatar menjadi “bunker” para pemimpin dan aktivis militan Islamis dan teroris khususnya dari Mesir dan Afganistan yang kemudian memicu ketegangan politik regional khususnya dengan negara-negara tetangga seperti Arab Saudi, UEA, dan Bahrain, yang kemudian membentuk “koalisi kwartet” (plus Mesir) untuk memboikot Qatar.

Meskipun ada sedikit polemik dan kontroversi, tidak sedikit yang menyambut Piala Dunia Qatar dengan antusias dan sukacita, khususnya para “militan” sepak bola, baik warga non-Arab maupun masyarakat Arab Timteng. Banyak muridku yang warga Saudi bahkan minta kuliah diliburkan saat ada pertandingan yang melibatkan tim kesayangannya karena mereka akan pergi dan menonton langsung di Qatar.

Sepak Bola Sebagai “Agama Kedua”

Tak bisa dipungkiri, bagi sebagian masyarakat Timteng, sepak bola telah menjadi “agama kedua.” Tidak ada cabang olahraga di Timteng yang lebih populer dan meriah ketimbang sepak bola. Meskipun kelompok Salafi menganggap panahan sebagai “olahraga Islami” dan “sunah rosul” tetapi hanya segelintir orang yang tertarik.

Sepak bola sendiri memang laksana sebuah “agama.” Disana ada stadium yang berfungsi sebagai “masjid” tempat orang berkumpul, ada pengikut yang setia, ada tokoh-tokoh yang bermain, ada hirarki dan struktur sosial, ada praktik ritual (berdoa sebelum bermain atau agar tim favorinya menang), dlsb. Fenomena “agama sepak bola” ini bukan hanya terjadi di Timteng tetapi juga di kawasan lain.

Bagi warga Timteng dan juga Afrika Utara yang didominasi oleh Arab/Muslim, sepak bola bukanlah hal baru. Sepak bola sudah menjadi bagian dari sejarah, tradisi, dan budaya mereka sejak lama jauh sebelum menjadi negara-bangsa. Oleh karena itu wajar jika sepak bola kemudian menjadi “agama kedua” yang banyak digemari masyarakat. Arab Saudi misalnya, meskipun asosiasi sepak bola nasional dibentuk tahun 1956, tim sepak bola sudah eksis sejak 1927 sebelum deklarasi dan pendirian negara-kerajaan Arab Saudi modern tahun 1932.

Di sejumlah negara Timteng, sepak bola berkembang pesat dan menjelma menjadi sebuah industri olahraga prestisius, berkelas, dan terpopuler sehingga menjadi ajang bisnis yang menggiurkan. Bahkan sejumlah negara yang menjadi basis kelompok ultrakonservatif agama seperti Arab Saudi, Qatar, dan Mesir, sepak bola berkembang biak menjadi sebuah industri dengan total aset yang tidak sedikit. Menurut Nermeen Abbas, jurnalis Forbes Middle East, top 10 klub sepak bola Timteng memiliki nilai aset $395 juta. Dari 10 tim kaya itu, Arab Saudi mendominasi (5) kemudian disusul Qatar dan UEA (masing-masing 2) lalu Mesir (1). 

Para bintang bola Arab seperti Omar Abdulrahman (UEA), Rabah Madjer (Aljazair), Ali Al-Habsi (Oman), atau Mohammed Noor, Majed Abdullah, Yusuf al-Thunayan, Nasser al-Shamrani (Arab Saudi), Mohamed El-Shenawi (Mesir) dan masih banyak lagi menjadi superstar yang digandrungi banyak fan, baik laki maupun perempuan. Kemudian, klub-klub sepak bola populer seperti Al-Hillal, Al-Ittihad, Al-Ahli, Al-Nasser, Al-Syabab, Al-Sadd, Al-Ain, Al-Duhail, dlsb memiliki fans fanatik. Yang menarik para pemain klub-klub sepak bola di Timteng bukan hanya warga Arab lokal (atau non-Arab) tetapi banyak dari Eropa, Amerika Latin, atau Jepang seperti Gonzalo Martinez, Fabio Martins, Romarinho, Soya Nakajima, Igor Jesus, dlsb.     

Multidimensi dan Multifungsi Sepak Bola

Sepak bola bukan hanya sekedar sebuah permainan bola kaki semata. Ia merupakan sebuah fenomena budaya yang kompleks. Ia bisa dilihat dari berbagai dimensi: politik, bisnis, agama. Ada banyak aktor dan pemain yang turut bermain dan memainkan “irama gendang” sepak bola: dari elit politik dan pebisnis hingga tokoh agama dan masyarakat.

Pula, sepak bola bukan hanya ajang hiburan masyarakat. Ia memiliki berbagai fungsi sosial yang beragam. James Dorsey dalam bukunya The Turbulent World of Middle East Soccer membahas bagaimana sejarah dan perkembangan sepak bola di Timteng dan Afrika Utara memiliki dampak politik, sosial, dan agama. Satu sisi sepak bola dijadikan sebagai medium kelompok elit politik tertentu untuk melanggengkan ororitarianisme (misalnya kasus Al Saadi Qaddafi dengan Al Ahli Tripoli-nya) tetapi di pihak lain ia bisa dijadikan sebagai sarana untuk memprovokasi dan memobilisasi massa guna menggulingkan penguasa (misalnya kasus Ultras Ahlawi Mesir).    

Selain syarat dengan politik, sepak bola Timteng juga berkelindan dengan persoalan keagamaan (keislaman). Misalnya, pengikut fanatik Syiah mengharamkan sepak bola karena jenis olahraga ini mengingatkan sejarah kelam yang menimpa imam mereka, Husein, yang dibunuh dengan kejam dengan dipenggal kepalanya lalu ditendang-tendang laksana permainan sepak bola. Sementara kelompok ultrakonservatif Sunni (seperti Sahwa di Arab Saudi) memandang sepak bola sebagai sebuah aktivitas sia-sia, budaya kafir-sekuler Barat, jalan menuju kemaksiatan, atau tantangan bagi supremasi syariat Islam.

Upaya kelompok ultrakonservatif agama yang anti-bola ini sempat berhasil di Iran atau Arab Saudi. Dulu di Arab Saudi, mereka menjadi “stumbling block” yang mengganjal dan menghalangi perkembangan sepak bola, baik untuk laki-laki terlebih sepak bola perempuan. Tetapi menariknya, sekelompok Salafi konservatif, meskipun mereka kontra terhadap aktivitas olahraga bagi perempuan, juga ada yang memakai sepak bola sebagai medium untuk menarik mengikut dan menghimpun massa (remaja dan pemuda) kemudian “mencuci otak” mereka dengan ajaran konservatisme dan militanisme agama. Bukankah Osama bin Laden sendiri juga fan Arsenal FC? 

Tetapi sejak beberapa tahun terakhir peran dan eksistensi kelompok konservatif-militan agama sudah dibekukan oleh Raja Salman dan Putra Mahkota Muhammad bin Salman. Dampaknya, kini Arab Saudi sudah memiliki klub-klub sepak bola perempuan di sejumlah daerah dan bahkan sudah menggelar kompetisi tingkat nasional dan ikut berpartisipasi di ajang internasional. Di negara-negara Arab Timteng lainnya, tim sepak bola perempuan sudah lama terbentuk dan biasa menggelar turnamen antar-klub.

Walaupun kubu ultrakonservatif agama, baik dalam rumpun Sunni maupun Syiah, sering mengharamkan atau tidak mengapresiasi sepak bola karena alasan sosio-kultural dan keagamaan tertentu, dunia sepak bola tetap eksis dan menjadi bagian dari budaya masyarakat Timteng.

Keterangan: artikel ini semula diterbitkan oleh Majalah Tempo pada tanggal 22 November 2022.

Artikulli paraprakPolemics on smoking among Indonesian Muslims and Islamic organizations
Artikulli tjetërMitos Dikotomi Budaya Timur dan Barat
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini