Beranda Opinion Bahasa Mitos Dikotomi Budaya Timur dan Barat

Mitos Dikotomi Budaya Timur dan Barat

1028
0

Sudah menjadi rahasia umum kalau banyak masyarakat Indonesia, baik komunitas akademik maupun non-akademik, baik elit maupun non-elit, yang memberi dikotomi antara budaya Barat dan budaya Timur. Kata “Barat” mengacu pada negara-negara di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada), Eropa Barat, atau Australia dan Salandia Baru. Singkatnya, budaya Barat mengacu pada “budaya bule”. Sementara kata “Timur” merujuk pada kawasan Asia, termasuk Asia Timur dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia tentunya).

Budaya Barat, oleh mereka, biasanya dicirikan berwatak intelektualis, individualis, selfish, kapitalis, liberalis, sekularis, ateis, berorientasi profit, dlsb. Sementara budaya Timur digambarkan berwatak nyaris berlawanan dengan budaya Barat, yakni spiritualis, teis, agamais, kolektivis, dlsb. Selanjutnya, budaya Barat kerap diberi label atau stigma negatif. Misalnya, tidak mengenal sopan-santun, biadab, gemar berperang dan melakukan tindakan kekerasan, perilaku seks bebas (“kumpul kebo”), minim solidaritas sosial, tak peduli tradisi lokal, dlsb. Sedangkan budaya Timur sering dilabeli dengan hal-hal yang bersifat positif seperti ramah, sopan santun, penuh perdamaian, tidak suka kekerasan, gemar menolong sesama, peduli tradisi lokal, dlsb.

Dikotomi Hanya Mitos Belaka

Pada praktiknya, dikotomi tersebut hanyalah mitos belaka. Sebagai orang Timur yang pernah lama tinggal di Barat, saya menilai segregasi hitam putih budaya Timur-Barat itu hanya ada di alam imajinasi. Tidak ada di dunia nyata atau hanya benar sebagian. Narasi tentang budaya Barat yang serba buruk dan negatif atau budaya Timur yang serba baik dan positif sama sekali tidak valid. Faktanya, baik-buruk atau positif-negatif ada di dunia Barat maupun Timur. Sejumlah karakteristik dan stigma yang selama ini dialamatkan ke budaya Barat juga ada di budaya Timur. Begitu pula sebaliknya. Sejumlah label dan karakteristik yang selama ini disematkan ke budaya Timur juga ada di budaya Barat.

Misalnya, Barat bukan hanya rumah bagi kaum intelektualis tetapi juga kelompok spiritualis. Ada banyak individu dan kelompok spiritual di negara-negara Barat, termasuk ordo-ordo Sufi, komunitas yogi, kaum spiritualis Budhis, pengikut gerakan New Age, masyarakat teosofi, dlsb. Sebaliknya, Timur bukan hanya rumah bagi kelompok spiritualis dan mistikus tetapi juga aneka ragam kelompok intelektual-ilmuwan. Jadi, dikotomi “intelektualitas Barat” versus “spiritualitas Timur” misalnya tidak lagi relevan.

Bahkan kini negara-negara seperti China, Taiwan, Jepang, dan Korsel sedang gencar membangun berbagai pusat pendidikan, teknologi, dan universitas kelas dunia yang akan menjadi kiblat peradaban intelektual dan teknologi di masa depan. Hasilnya kini banyak universitas di Asia yang masuk jajaran kampus top dunia dan berpotensi menggeser dominasi Barat di masa mendatang.  

Sejumlah negara di Timteng, khususnya di kawasan Teluk Arab seperti UEA, Qatar, dan Arab Saudi juga sedang berlomba-lomba membangun universitas berkelas dunia yang bertumpu pada teknologi canggih (seperti Artificial Intelligence), riset ilmiah, dan spirit intelektualisme. Arab Saudi misalnya membangun sebuah kampus prestisius berkelas internasional seperti King Abdullah University of Science and Technology yang kini dipimpin oleh Presiden Tony F. Chan, seorang ilmuwan China-Amerika didikan Stanford dan mantan Presiden Hong Kong University of Science and Technology.

Asumsi bahwa Barat yang diidentikkan dengan sekularisme, liberalisme, atau ateisme dan agnotisisme juga tidak selamanya akurat karena banyak kelompok militan-konservatif berbasis agama di Barat yang sangat anti terhadap doktrin-doktrin sekularisme dan liberalisme serta mengecam berbagai praktik sosial yang mereka anggap tidak religius. Sejak beberapa dekade silam, fenomena public religion, sebuah proses deprivatisasi agama dimana agama memainkan peran sentral di ranah publik, tengah menjangkiti sebagian negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Fenomena ini mendorong mendiang Peter L. Berger, sosiolog ternama yang juga salah satu mentor saya di Boston, untuk merevisi tesis klasiknya tentang sekularisasi agama dalam bukunya The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics.

Meskipun dunia Timur (khususnya Timur Tengah, India, dan China) tempat lahirnya berbagai agama dunia, sekularisme dan liberalisme juga hadir di kawasan ini yang diperkenalkan oleh berbagai kelompok seperti akademisi, ilmuwan, teknokrat, politisi, pemerintah, pebisnis, dlsb, terutama sejak berakhirnya Perang Dunia II. 

Budaya Individualis versus Budaya Kolektivis

Kemudian karakteristik Barat sebagai “masyarakat individualis” (individualist society) yang diasumsikan secara keliru sebagai masyarakat yang mementingkan diri sendiri dan tidak mempunyai kepekaan, kepedulian, dan solidaritas sosial juga salah besar. Faktanya, kelompok filantrofi dan lembaga karitas untuk misi kemanusiaan global menjamur di Barat. Masyarakat Barat juga sudah terbiasa menggalang dana (fundraising) dengan berbagai cara untuk berbagai program kemanusiaan, pendidikan, beasiswa, dlsb, baik untuk masyarakat yang tinggal di negara-negara Barat maupun di berbagai negara di dunia ini. Lihat saja, misalnya, Mennonite Central Committee yang mempunyai program kemanusiaan global di hampir semua negara di jagat ini.

Sementara itu, Timur yang selama ini dilabeli “masyarakat kolektivis” (collectivist sosiety) yang diandaikan gemar menolong sesama, saling membantu serta meminimalisir watak dan perilaku egoistik dan individualistik, dalam praktiknya tidak selamanya terjadi. Lihat saja misalnya budaya gotong royong atau kerja bakti yang dulu menjadi karakter masyarakat kini sudah luntur. Pula, banyak orang tidak memperdulikan yang lain saat mengantri bantuan, pembagian sembako, atau pada waktu ada acara prasmanan. Dari pengamatan sederhana ini kita bisa tahu karakter budaya kolektivis masyarakat Timur tidak selamanya akurat. Solidaritas sosial, kalaupun terjadi, biasanya hanya pada kelompok kecilnya saja tidak melintas batas agama, etnis, dan kemanusiaan.  

Kebiadaban versus Keberadaban

Karakteristik lain yang tidak akurat adalah memberi stigma Barat sebagai masyarakat yang penuh kekerasan dan Timur sebagai masyarakat yang penuh perdamaian atau Barat diidentikkan dengan kebiadaban dan Timur dengan keberadaban. Barat memang memiliki sejarah kelam yang penuh kekerasan seperti kolonialisme, imperialisme, perang, ethnic cleansing, rasisme, “barbarianisme”, dlsb, baik terhadap penduduk lokal maupun asing. Tetapi Timur juga belepotan dengan kekerasan. Kolonialisme, imperialisme, perang, ethnic cleansing, rasisme, “barbarianisme”, dlsb bukan hanya monopoli dunia Barat. Dunia Timur juga melakukan hal serupa. Kebiadaban bukan hanya terjadi di Barat tetapi juga di Timur.

Jika Barat pernah memiliki Hitler atau Mussolini, Timur pernah mempunyai Pol Pot atau Amangkurat I yang sangat bengis dan biadab membunuh ribuan ulama termasuk adik dan ayah mertuanya sendiri. Peristiwa pembantaian atas jutaan umat manusia tahun 1965/66 juga bagian dari sejarah kelam kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat Timur. Aksi-aksi terorisme yang brutal dan barbar juga dilakukan oleh bangsa Timur.

Kini, masyarakat Timur yang dicitrakan penuh cinta, kasih sayang, perdamaian, kerahamahan, dan toleransi itu seolah-olah sirna dari bumi Pertiwi karena berbagai kejadian dan aksi kekerasan yang silih berganti seolah tak ada henti seperti pengeroyokan, pemukulan, persekusi, terorisme, pengusiran, pembunuhan, dlsb. Orang-orang Timur yang konon ramah dan damai itu tiba-tiba berubah menjadi orang-orang kalap, bengis, dan tak berperikemanusiaan sama sekali.

Sementara itu banyak orang bukannya mengecam aksi keji dan tindakan kekerasan itu tetapi malah bertepuk tangan, bersorak sorai, dan tertawa terbahak-bahak melihat berbagai peristiwa biadab yang berlangsung di depan mata mereka. Dimanakah hati nurani mereka? Dimanakah akal sehat mereka? Dimanakah agama mereka yang mengajarkan solidaritas, perdamaian, kerahmatan, dan kasih sayang itu?

Bangsa Besar

Akhirul kalam, bangsa yang besar adalah bangsa yang mau mengambil hal-hal bersih, baik, dan positif darimanapun datangnya (Barat-Timur, Utara-Selatan) serta menyingkirkan hal-hal kotor, buruk, dan negatif darimanapun berasal, baik dari negeri sendiri maupun mancanegara. Indonesia akan menjadi bangsa besar jika mampu melakukan hal ini. Sebaliknya, Indonesia akan tersungkur menjadi bangsa kerdil jika terus-menerus hidup dalam budaya hipokrisi, memupuk dikotomi Timur-Barat yang sebetulnya hanya ada di alam imajiner.    

Keterangan: artikel ini semula diterbitkan di Kompas pada 7 Mei 2022

Artikulli paraprakBudaya Sepak Bola di Timur Tengah
Artikulli tjetërHumanisme Islam Buya Syafii
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini