Beranda Opinion Bahasa Humanisme Islam Buya Syafii

Humanisme Islam Buya Syafii

730
0

Buya Syafii (Ahmad Syafii Maarif) adalah salah satu ulama-aktivis multidimensi yang sangat langka di Indonesia. Semasa hidupnya, buya bukan hanya seorang tokoh agama yang disegani tetapi juga seorang guru besar yang berdedikasi tinggi, cendekiawan brilian, pemikir muslim pluralis-humanis, pejuang moral yang bersih, sejarawan mumpuni, penulis produktif, pembicara ulung, praktisi dialog lintas-iman, aktivis sosial pemberani, dan lebih dari itu, seorang guru bangsa yang diteladani.

Menarik diperhatikan, meski dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah dan bahkan pernah memimpin salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia ini, buya jauh dari watak eksklusif dan sektarian. Meski seorang muslim sejati, buya juga bukan tipe seorang fanatikus buta yang gelap mata dan suka mendahulukan kepentingan umat Islam di atas kepentingan rakyat yang lebih luas dalam menyikapi problem sosial, kemasyarakatan, keagamaan, dan keumatan. Pula, meskipun dilahirkan di daerah terpencil di Sumatra yang notabene bukan pusat kekuasaan, ia bukan termasuk tokoh yang menggebu-gebu yang melulu memperjuangkan daerah kelahirannya sendiri yang tidak jarang sering mengabaikan nasib penderitaan daerah-daerah lain di Indonesia.

Semangatnya yang menggelora untuk mencerahkan dan memajukan bangsa telah mengalahkan mentalitas, perilaku, dan pemikiran sempit atas nama etnis, agama, atau daerah tertentu. Begitu pula idealisme dan kecintaannya yang begitu tulus terhadap NKRI telah turut berkontribusi dalam menciptakan pandangan-pandangan politik-keagamaanya yang bervisi humanis, berwawasan nasionalis serta kontra terhadap pemikiran dan tindakan individu atau kelompok tertentu seperti kaum ekstrimis, Islamis, separatis, dan koruptor yang mengarah atau berpotensi pada terciptanya konflik, kekerasan, disintegrasi, dan kebangkrutan bangsa. 

Tak jarang dalam menyampaikan pemikiran atau gagasan-gagasan keislaman dan kebangsaan yang progresif, berani, dan ceplas-ceplos itu, baik dalam forum-forum diskusi, ceramah, maupun di berbagai tulisan, buya sering mendapat kritik dan celaan dari orang-orang yang tidak menyukainya lantaran merasa kepentingannya terusik. Meski begitu ia tidak gentar dan terus bersuara lantang menyerukan kebenaran yang ia yakini.

Buya Syafii yang oleh mendiang Gus Dur dijuluki “Pendekar dari Chicago” ini selalu berpegang teguh pada sebuah prinsip yang kukuh bahwa berani berjuang harus berani menanggung resiko. Ia membuat sebuah perbandingan: jangankan dirinya sebagai manusia lumrah, nabi dan rasul pun mendapatkan caci-maki dalam menjalankan misi profetiknya.

Gagasan Humanisme Islam

Salah satu dari sekian banyak gagasan dan pemikiran buya yang sangat menonjol adalah tentang humanisme Islam. Bagi buya, Islam adalah “agama humanis”, yakni agama yang mengfokuskan, mendahulukan, dan mementingkan hal-ihwal yang berkaitan dengan urusan atau masalah kemanusiaan universal. Buya berprinsip bahwa Islam hadir untuk turut berkontribusi menyelesaikan problem keumatan, kemasyarakatan, dan kemanusiaan global seperti kemiskinan, kebodohan, intoleransi, kekerasan, dlsb. Gagasan dan pandangannya ini ia uraikan di berbagai buku, kolom media, forum diskusi, ceramah, dlsb.

Seperti Fazlur Rahman (w. 1988), seorang cendekiawan muslim ternama yang menjadi guru dan mentornya di Universitas Chicago, buya juga meyakini sepenuh hati tentang visi Islam humanis ini. Salah satu gagasan penting Rahman adalah tentang “antroposentrisme Islam”. Menurutnya, baik Islam maupun Al-Qur’an bersifat atau berwatak “antroposentris,” yakni sebuah agama dan kitab suci yang menjadikan manusia dan kemanusiaan sebagai pusat, bukan “teosentris” (menjadikan Tuhan sebagai pusat kajian dan gagasan).

Dalam rangka untuk mewujudkan visi dan gagasan humanisme Islam yang ia percayai, buya mengajak kaum muslim untuk mendialogkan doktrin normatif Islam dengan fakta-fakta kesejarahan serta memahami perbedaan antara “Islam ideal” dan “Islam realita”. Hal ini dimaksudkan agar semangat kaum muslim dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya lebih realistis dan kontekstual, tidak berujung pada sebuah utopia atau terjerumus dalam semangat fanatisme berlebihan.

Ide humanisme Islam buya juga tercermin dari pandangan dan sikapnya tentang pentingnya membangun hubungan yang terbuka dan penuh respek antar-pemeluk agama, perlawanan terhadap kelompok garis keras yang hobi melakukan tindakan intoleransi dan kekerasan, ketidaksetujuan terhadap konsep pendirian negara Islam dan formalisasi syariat Islam, kepercayaan terhadap konsep shura (musyawarah mufakat), kritik atas praktek sufisme yang berlebihan, serta keyakinan bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah kitab hukum yang kaku, rigid, dan anti-perubahan, melainkan sebuah pedoman moral atau sumber etik yang dinamis bagi umat Islam agar mereka berada di “jalur yang benar,” yakni menjadi kaum muslim yang bermoral, beretika, bermartabat, berintegritas, berwawasan terbuka, toleran terhadap agama dan kepecayaan lain, menghargai minoritas, serta berjuang demi keadilan, kemakmuran, dan kemanusiaan.

Penting untuk dicatat bahwa buya bukan hanya menulis, berceramah, atau berwacana tentang humanisme Islam tetapi juga mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku dan kehidupan sehari-hari buya yang sangat sederhana, bersahaja, kritis, moderat, toleran, serta tidak kemaruk jabatan dan kekayaan sebetulnya melambangkan prinsip “Islam humanis” yang ia pegangi.   

Etika Universal Al-Qur’an

Selain dipengaruhi Fazlur Rahman, pandangan humanisme Islam-nya buya juga dipengaruhi oleh hasil tafsir dan bacaannya terhadap Al-Qur’an. Buya mempercayai dengan sepenuh hati bahwa Al-Qur’an adalah “kitab humanis” yang menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai subyek yang sangat penting. Karena itu jangan heran jika dalam setiap ceramah dan tulisannya selalu dibumbuhi dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Salah satu corak pemikiran yang dikembangkan buya adalah semangatnya untuk mengimplementasikan etika Al-Qur’an dalam konteks kekinian (dan keindonesiaan).

Buya memang seorang penafsir Al-Qur’an handal. Tetapi berbeda dengan para ahli tafsir Al-Qur’an tekemuka Indonesia lainnya seperti HAMKA (Tafsir al-Azhar), Hasbi Ash-Shiddique (Tafsir an-Nur), M. Quraish Shihab (Tafsir al-Misbah), atau KH Bisri Mustafa (Tafsir al-Ibriz) yang menafsirkan Al-Qur’an juz demi juz atau ayat demi ayat, buya lebih suka memilih tema-tema atau ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an yang relevan dengan kondisi sosial masyarakat modern.

Seperti terlihat di sejumlah karyanya, buya dengan lihainya menggabungkan wawasan etika Al-Qur’an dan pengetahuan sejarah keislaman dengan piranti ilmu sosial modern kemudian menghubungkannya dengan problem keumatan dan kemanusiaan. Karena alasan inilah, antara lain, kenapa tafsir-tafsir tematik Al-Qur’an ala buya sangat populis dan mendapat respon luas di masyarakat tidak hanya dari kalangan muslim atau Muhammadiyah saja.

Secara khusus, buya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan problem-problem sosial-kemanusiaan kotemporer seperti kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ketidakadilan, kejumudan, korupsi, tirani, kemunafikan, pentingnya kejujuran para pemimpin, dampak global kebusukan elit politik, otoritarianisme, dlsb.

Buya berkeyakinan bahwa prinsip-prinsip etika universal menjadi tema utama yang mendasari Al-Qur’an, dan karena itu spirit Al-Qur’an bisa menjadi pedoman moral perilaku manusia di abad modern tidak hanya untuk masyarakat Arab abad ketujuh saja tatkala Al-Qur’an diturunkan. Buya juga berkeyakinan bahwa Islam (dan agama manapun) jika dipahami dan diamalkan secara benar, bisa menjadi fondasi moral bagi terciptanya sebuah masyarakat yang adil, maju, damai, harmonis, dan toleran.    

Sebagai penafsir Al-Qur’an, buya selalu menggunakan ideom-ideom dan istilah-istilah dalam Al-Qur’an untuk menjelaskan fenomena-fenomena sosial-kemanusiaan yang tidak jarang ideom dan istilah-istilah dalam Al-Qur’an itu diberi makna baru yang sesuai dengan konteks, situasi, dan kondisi kekinian dan kedisinian sehingga membuat ayat-ayat Al-Qur’an tetap hidup, up to date, dan inspiratif sepanjang masa. Berbeda dengan kalangan literalis yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara leterlek sehingga mengesankan kitab ini “out of date”, tidak lagi relevan dengan kemodernan, buya telah berjasa menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab pedoman moral yang kaya makna dan tak lapuk dimakan zaman dimanapun dan kapanpun.

Seperti kelompok Islamis dan konservatif, buya juga berpendapat bahwa salah satu faktor yang membuat umat Islam mundur karena mereka tidak mematuhi pesan-pesan etik Al-Qur’an. Tetapi berbeda dengan mereka, buya tidak setuju dengan jalan keluar yang serba Islam/islami yang mereka tawarkan. Misalnya, buya menolak pandangan dan anggapan sejumlah ulama dan pemikir muslim bahwa Islam dan Al-Qur’an memberi “endorsement” terhadap pendirian negara Islam melalui konsep al-din wa al-daulah (yakni kesatuan transenden agama dan negara).

Menurut buya, tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Islam adalah sebuah “agama dan negara.” Ia bahkan berpendapat bahwa konsep ini tidak ada dalam literatur Islam klasik. Menurutnya (simak bukunya, Mencari Autentisitas dalam Kegalauan), konsep atau gagasan Islam sebagai sebuah ide atau entitas agama dan negara ini baru muncul di abad ke-20 sebagai respon politik sejumlah rezim dan pemikir muslim terhadap konsep negara sekuler Barat. Karena konsep ini tidak ada dalam Al-Qur’an, maka tidak ada kewajiban bagi umat Islam dimanapun, termasuk di Indonesia, untuk mendirikan Negara Islam. Bagi buya, konsep pendirian Negara Indonesia seperti termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945 sudah sangat “Islami” jadi tidak perlu “diislamkan” lagi.

Menurut buya, daripada umat Islam sibuk mengurusi gagasan pendirian Negara Islam atau penerapan formalisasi Syari’at Islam, lebih baik mereka “berkaca diri” dan memikirkan kembali bagaimana agar spirit, moral, atau etika Islam dan Al-Qur’an dapat diimplementasikan dalam kompleksitas ranah sosial, politik, dan ekonomi di negeri ini.

Gagasan ini akan terwujud jika umat Islam serius menggali sumber-sumber ajaran Islam atau etika universal yang terkandung dalam Al-Qur’an, kemudian mengaktualisasikan ajaran-ajaran dan spirit itu sesuai dengan semangat dan kebutuhan zaman, bukan malah terperangkap kedalam perdebatan-perdebatan legal-formal keislaman yang menguras energi dan tak ada manfaatnya.

Menuju Islam yang Rahmatan Lil Alamin

Menurut buya, gagasan-gagasan etika universal dalam Al-Qur’an tentang toleransi beragama, kebebasan individu, perlindungan terhadap kaum minoritas, spirit perdamaian antarindividu dan kelompok, keadilan sosial, egalitarianisme dlsb harus diutamakan dan dijadikan sebagai basis untuk menyelesaikan masalah-masalah yang menggelayuti bangsa seperti kekerasan, kemiskinan, korupsi, intoleransi dan seterusnya.

Hanya dalam bingkai pemahaman seperti inilah, pesan Islam sebagai “rahmat bagi alam semesta” (rahmatan lil alamin) bisa tercapai. Bagi buya, kompleksitas persoalan yang dihadapi warga, bangsa, dan negara ini tidak bisa diselesaikan dengan “sim salabim”: menyulap produk-produk politik dan hukum yang ada menjadi produk-produk bermerk Islam.

Gagasan dan wacana keislaman yang dikembangkan oleh buya telah menandai terjadinya proses pergesaran ranah pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia dari pembaharuan yang sifatnya teologis-spekulatif yang mengupas otentisitas keberislaman ke isu-isu publik kemanusiaan yang lebih konkret.

Buya Syafii tentu saja bukan satu-satunya aktor pembaharuan Islam model terakhir ini tetapi ide-ide dan diskursus keislaman yang digagasnya memberikan kontribusi positif bagi pembaharuan pemikiran Islam yang menekankan pada relasi kontekstual antara nilai-nilai luhur Islam dan etika universal Al-Qur’an dengan masalah-masalah pelik kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan.

Selamat jalan menuju alam keabadian buya. Jasadmu boleh dikebumikan tetapi spirit, semangat, dan pemikiran-pemikiranmu harus lestari dan dibumikan.

Keterangan: artikel ini semula diterbitkan di Kompas pada tanggal 10 Juni 2022

Artikulli paraprakMitos Dikotomi Budaya Timur dan Barat
Artikulli tjetërMengungkap Misteri Arabia Kuno
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.