Beranda Opinion Bahasa Evolusi Produk Tembakau: dari Rokok Konvensional hingga HNB

Evolusi Produk Tembakau: dari Rokok Konvensional hingga HNB

737
0

Setiap industri harus berani melakukan terobosan dan terus-menerus berinovasi dan berkreasi jika ingin tetap bertahan, tidak ketinggalan zaman, dan ditinggalkan oleh konsumen. Industri yang tidak berkreasi dan berinovasi pasti akan tumbang ditelan oleh zaman. Banyak sekali contohnya. Ini adalah bagian dari “hukum alam” dan bagian dari tuntutan sejarah dan kebudayaan manusia yang terus berubah dan berkembang.   

Meski banyak industri yang berguguran, tapi banyak pula yang bertahan dan bahkan maju pesat lantaran pandai beradaptasi, berkreasi, dan berinovasi serta mampu membaca perubahan zaman dan perkembangan masyarakat. Seperti laiknya industri media, komputer, otomobil, telekomunikasi, dan lainnya, industri tembakau pun sama. Ada yang tumbang. Ada pula yang bertahan dan berkembang. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mencatat dari sekitar 600 perusahaan rokok yang memiliki izin resmi, kini tinggal sekitar 100 saja yang masih aktif berproduksi setiap harinya.

Produk tembakau mengalami proses evolusi yang sangat panjang. Dalam konteks Nusantara, seperti ditulis oleh sejumlah sejarawan (misalnya Anthony Reid, Denys Lombard, Mark Hanusz, Bernard Vlekke, dlsb), konon orang-orang Eropalah (khususnya Portugis dan Belanda) yang semula memperkenalkan tanaman tembakau dan kebiasaan merokok yang mereka dapat dan pelajari dari masyarakat suku Indian di Amerika.  

Meski begitu, nenek-moyang kita dulu sudah mengenal tradisi makan sirih yang oleh orang Jawa disebut nginang (yaitu mengunyah daun sirih, pinang, dan kapur gamping atau enjet) jauh sebelum Bangsa Eropa datang. Ketika Bangsa Eropa memperkenalkan tembakau, maka nenek-moyang kita dulu melakukan kreasi dan inovasi dengan cara menambahkan tembakau (dalam Bahasa Jawa disebut mbako susur) dalam kebiasaan makan sirih tersebut. Hingga kini, khususnya di kawasan pedesaan dan sub-urban, masih bisa dijumpai penduduk yang nginang dengan dicampur tembakau ini.

Sejak Belanda memperkenalkan tembakau dan merokok, pelan tapi pasti merokok kemudian menjelma menjadi tradisi, budaya, dan kebiasaan masyarakat. Ada masyarakat yang pindah haluan dari nyirih ke merokok, ada pula yang melakukan keduanya. Yang jelas merokok berkembang biak di masyarakat yang mendorong sejumlah pebisnis, asing maupun lokal, mendirikan perusahaan rokok. Perusahan asing rokok pertama berdiri tahun 1845 di Batavia (kini Jakarta) lalu berkembang di Cirebon dan Semarang. Pengusaha rokok kretek lokal juga mulai bermunculan seperti Haji Djamhari dan Nitisemito.

Kini, populasi perokok Indonesia konon berjumlah lebih dari 50an juta. Menurut WHO jumlah perokok di Indonesia berada di peringkat tiga besar dunia setelah Cina dan India. Sementara menurut The Tobacco Atlas, Indonesia berada di urutan pertama di ASEAN (sekitar 46,16 persen dari seluruh penduduk di negara-negara ASEAN) dalam hal pengguna rokok ini. Karena jumlah perokok yang besar, maka tak heran jika rokok menjadi penyumbang APBN terbesar setelah migas. Dalam APBN 2017, pendapatan negara dari pajak cukai rokok saja mencapai Rp 149,9 triliun, dan jika ditotal dengan pajak-pajak rokok lainnya mencapai lebih dari 200 triliun.

***

Meskipun masih berjaya, sejak dekade terakhir ini, rokok konvensional mendapat kompetitor baru yang sering disebut produk tembakau alternatif yang oleh Pemerintah Indonesia (Peraturan Menteri Keuangan No. 67/PMK.04/2018) dikategorikan sebagai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL). Produk tembakau alternatif ini dirancang atau diciptakan untuk meminimalisir risiko atau dampak negatif yang ditimbulkan dari rokok konvensional terhadap kesehatan sekaligus sebagai transisi agar perokok berhenti merokok.

Jenis produk tembakau alternatif ini bermacam-macam: dari rokok elektrik (vape atau e-cigs) hingga belakangan yang paling mutakhir muncul jenis heat-not-burn (HNB), yakni produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar yang bebas asap (smoke-free products). Saat ini, setidaknya ada tiga produk tembakau HNB yang dikenal di pasaran di berbagai negara, dan sepertinya belum dipasarkan di Indonesia, yaitu: 3T yang diproduksi oleh Vapor Tobacco Manufacturing (VTM), Glo yang diproduksi oleh British American Tobacco (BAT), dan iQos yang diproduksi oleh Philip Morris International (PMI).

Ada sejumlah alasan mendasar yang melatari munculnya aneka “produk tembakau alternatif” ini. Yang paling fundamental adalah masalah kesehatan, yakni rokok konvensional dianggap tidak sehat, berisiko menimbulkan sejumlah penyakit (seperti kanker, jantung, paru-paru, dan lainnya), dan berpotensi menimbulkan kematian dini.

Karena dianggap tidak sehat itulah, rokok kemudian dikritik dari berbagai penjuru. Pemerintah, “rezim kesehatan” (misalnya industri farmasi dan kaum medis), pemangku kebijakan publik, dan kelompok masyarakat antirokok ramai-ramai mengkritik rokok. Sebetulnya sejumlah industri tembakau sendiri, seperti PMI dan HM Sampoerna, juga ikut memberi peringatan tentang risiko rokok bagi kesehatan.

Belakangan diketahui yang menyebabkan rokok konvensional itu tidak sehat karena ia memproduksi zat kimia yang bernama tar. Tar ini mengandung zat-zat karsinogenik yang berbahaya yang dihasilkan melalui pembakaran tembakau. Zat tar inilah yang berpotensi menyebabkan sejumlah penyakit khususnya kanker (karsinogen).

Disinilah urgensi produk tembakau yang tidak dibakar seperti HNB. Oleh sejumlah ilmuwan kesehatan dan lembaga / badan otoritatif seperti Public Health England (Inggris), Food and Drug Administration (Amerika Serikat), dan Federal Institute for Risk Assessment (Jerman), HNB yang smoke-less itu dinilai jauh lebih rendah bahaya dan risikonya bagi kesehatan ketimbang rokok konvensional karena tidak adanya proses pembakaran tembakau yang bisa memproduksi karbon monoksida (Carbon Monoxide = CO) dan zat tar tadi.

The Federal Institute for Risk Assessment, Jerman, misalnya, dalam laporan risetnya yang berjudul “Independent Scientific Assessment of iQos” menyatakan kalau HNB mampu menurunkan zat-zat beracun yang terkandung di tembakau hingga 80–90 persen, kontras dengan rokok konvensional. Kemudian Public Health England (PHE) dalam laporan risetnya menyatakan bahwa HNB mampu menekan atau menurunkan risiko kesehatan hingga 95 persen. Oleh karena PHE menyarankan kepada publik untuk mempertimbangkan penggunaan HNB ketimbang rokok konvensional karena ia menghasilkan nikotin yang lebih bersih, dan dengan begitu, memberikan dampak kesehatan yang lebih aman pula (simak tulisan Edward Anselm, “Tobacco Harm Reduction Potential ‘Heat Not Burn’” yang dimuat di R Street Policy Study, 2017). Kemudian

Karena dinilai lebih minim risiko, HNB mendapat sambutan luas di sejumlah negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Jepang dan lainnya. Saat ini ada sekitar 5,6 juta konsumen rokok yang sudah pindah dari “rokok konvensional” ke iQos (belum lagi yang Glo dan 3T) karena dianggap mampu menjawab kebutuhan para konsumen rokok atau mampu menjadi solusi alternatif dari “kebuntuan” persoalan di dunia rokok, yakni bagaimana orang (tentu saja komunitas perokok dan pro-rokok) tetap bisa merokok di satu sisi tetapi tetap sehat serta bisa merasakan aroma tembakau di pihak lain. Tidak seperti HNByang masih bisa merasakan rasa dan aroma tembakau, vape memang dianggap tidak mampu menggantikan aroma tembakau “rokok konvensional”. Jadi, berbeda dengan vape yang memang bukan rokok, HNB ini sebetulnya adalah “rokok modern”.

Bukan hanya publik saja, sejumlah lembaga ternama juga menyarankan agar para perokok yang ingin berhenti merokok tetapi susah untuk menghentikannya supaya beralih ke HNB atau produk tembakau alternatif lain karena dinilai sangat efektif untuk membantu perokok menghentikan kebiasaan merokok. Jika hal ini dilakukan maka, seperti temuan riset dari Georgetown University Medical Center, jutaan umat manusia akan terhindar dari potensi kematian dini, lingkungan dan ekosistem juga akan semakin bersih lantaran bebas asap rokok, dan generasi mendatang akan semakin lebih sehat wal afiat.

*Keterangan: artikel ini pernah dimuat di Media Indonesia pada 24 November 2018

Artikulli paraprakUrgensi Produk Tembakau Alternatif
Artikulli tjetërSaudi Arabia and Indonesian Networks: On Islamic and Muslim Scholars
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini