Jika memang masalah kesehatan yang menjadi problem utama rokok konvensional, maka pemerintah perlu mendorong perusahan-perusahaan rokok untuk menciptakan produk tembakau alternatif serta tidak memberatkan perusahaan rokok (misalnya di pajak cukai) yang sudah berkreasi memproduksi tembakau alternatif.
Selama ini kritik yang sering dilontarkan pada rokok konvensional adalah bahwa rokok jenis ini (baik yang kretek maupun non-kretek) dianggap tidak sehat, berpotensi menimbulkan sejumlah penyakit (seperti paru-paru, kanker, jantung, impotensi, dlsb), dan karena itu membahayakan kesehatan tubuh dan keselamatan jiwa para perokok, baik perokok aktif maupun pasif.
Selain masalah kesehatan, para kritikus rokok juga menyoroti masalah dampak negatif lingkungan yang diakibatkan oleh–atau ditimbulkan dari–asap rokok maupun puntung rokok. Merokok juga dianggap sebagai pemborosan dan perbuatan yang sia-sia alias mubazir.
Kritik ini biasanya dilontarkan oleh komunitas antirokok, “rezim kesehatan” (misalnya industri farmasi dan kaum medis), kelompok agama, maupun pemerintah dan elit politik. Sejumlah ormas keislaman (seperti Muhammadiyah dan MUI) bahkan ada yang mengharamkan rokok.
Meskipun kritik tersebut, oleh komunitas pro-rokok, dinilai sepihak, bias, dan tidak fair atau tidak adil serta dianggap menyudutkan komunitas perokok, industri rokok, buruh dan karyawan pabrik rokok, serta petani tembakau. Bagi komunitas pecinta rokok, merokok itu memiliki banyak fungsi positif di masyarakat dan membantu pendapatan negara via pajak cukai rokok. Mereka juga memandang tidak ada hubungan antara merokok dengan tetek-bengek penyakit. Bagi mereka, merokok bahkan bisa menyehatkan dan mampu menjadi terapi penyembuhan sejumlah penyakit (lihat misalnya buku Divine Kretek, Rokok Sehat yang dieditori oleh Fahmi Idris).
Tetapi oleh kelompok antirokok, merokok itu dinilai sebuah aktivitas yang tidak sehat karena rokok mengandung zat adiktif nikotin yang dianggap berbahaya dan beracun yang berpotensi menimbulkan aneka penyakit tadi.
Belakangan diketahui ternyata yang jauh membahayakan bagi kesehatan tubuh sebetulnya bukan zat nikotin, melainkan tar, meskipun keduanya dinilai memiliki dampak kurang baik bagi kesehatan. Baik tar maupun nikotin sama-sama terkandung dalam setiap batang rokok.
Kenapa tar jauh lebih berbahaya? Menurut Profesor Achmad Syawqie, Ketua Koalisi Indonesia Bebas Tar (KABAR) yang didirikan oleh sejumlah organisasi pemerhati kesehatan di Indonesia, tar dianggap jauh lebih berbahaya karena ia mengandung zat-zat karsinogenik yang dihasilkan dari proses pembakaran rokok” seperti di kasus rokok konvensional.
Dr. Ardini Raksanagara, anggota Dewan Penasehat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat di Indonesia, juga mengemukakan hal serupa bahwa yang lebih berbahaya bukan zat nikotin yang terkandung dalam tembakau, melainkan zat tar. Nikotin, menurutnya, hanya menimbulkan efek kecanduan kalau dikonsumsi dalam dosis tinggi, dan zat nikotin ini bukan hanya ada pada tembakau saja tetapi juga pada komoditas lain seperti kopi, kentang, tomat, terong, dlsb.
Zat kimia tar yang dihasilkan dari proses pembakaran produk tembakau jauh lebih berbahaya karena mengandung zat-zat kimia yang bisa menyebabkan atau memicu aneka penyakit terutama kanker (karsinogen).
Sebetulnya bukan hanya pembakaran dari produk tembakau saja, komoditas atau pembakaran benda apapun (kayu, gas, bensin, dlsb), menurut para ahli kesehatan, bisa menghasilkan tar yang menyelinap di balik gumpalan-gumpalan asap. Oleh karena itu, produk nikotin yang tidak dibakar dianggap memiliki potensi risiko kesehatan yang jauh lebih rendah.
Disinilah pentingnya menciptakan produk tembakau alternatif seperti produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar (heat-not-burn). Meskipun selama ini sudah ada sejumlah produk alternatif (seperti vape atau “rokok elektrik”, nikotin tempel, snus, dlsb) untuk menggantikan produk rokok konvensional tetapi hasilnya masih jauh dari memuaskan, baik dari aspek kesehatan maupun kenyamanan dan keamanan bagi para pengguna. Hal ini berbeda dengan produk tembakau heat-not-burn yang mendapat sambutan luas di sejumlah negara maju.
Saat ini, setidaknya ada tiga produk tembakau heat-not-burn yang dikenal di pasaran. Pertama, “3T” yang diproduksi oleh Vapor Tobacco Manufacturing (produk ini diperkenalkan ke publik pada Desember 2014). Kedua, Glo yang diproduksi oleh British American Tobacco (BAT) yang dikenalkan pada 2016 di Jepang dan berkekuatan baterai. Ketiga, iQos yang diproduksi oleh Phillips Morris International (PMI) dan dikenalkan pada 26 Juni 2014 di Nagoya, Jepang.
Konon sekarang ada sekitar 5,6 juta konsumen rokok yang sudah pindah dari “rokok konvensional” ke iQos karena dianggap mampu menjawab kebutuhan para konsumen rokok atau mampu menjadi solusi alternatif dari “kebuntuan” persoalan di dunia rokok, yakni bagaimana orang (tentu saja komunitas perokok dan pro-rokok) tetap bisa merokok di satu sisi tetapi tetap sehat serta bisa merasakan aroma tembakau di pihak lain.
Tidak seperti iQosyang masih bisa merasakan rasa dan aroma tembakau, vape dianggap tidak mampu menggantikan aroma tembakau “rokok konvensional”.
Selain itu, dan ini yang lebih penting, iQosjuga terbukti jauh lebih sehat ketimbang produk rokok lainnya. Hal ini tentu saja karena produk tembakau / nikotin yang dipanaskan memiliki potensi risiko kesehatan yang jauh lebih rendah lantaran tidak memproduksi asap dan tar!
Berdasarkan hasil riset dari Public Health England (PHE), sebuah badan independen di bawah Kementerian Kesehatan Inggris, yang dirilis tahun 2015, misalnya, menyatakan bahwa produk tembakau yang dipanaskan (bukan dibakar seperti di “rokok konvensional”) seperti IQOS mampu menurunkan risiko kesehatan hingga 95% (lihat juga artikel ilmiah yang ditulis oleh Edward Anselm, “Tobacco Harm Reduction Potential ‘Heat Not Burn’” yang dimuat di R Street Policy Study No. 85).
Karena dipandang lebih menyehatkan inilah maka sebuah studi dari Georgetown University Medical Center di Amerika Serikat (diterbitkan di jurnal ilmiah Tobacco Control, sebuah jurnal yang memuat isu-isu berkaitan dengan dampak kesehatan penggunaan tembakau juga usaha-usaha untuk mengurangi penggunaan tembakau melalui pendidikan dan kebijakan) menyatakan bahwa kalau komunitas perokok di Amerika Serikat beralih ke produk tembakau alternatif, maka sekitar 6,6 juta orang berpotensi terhindar dari kematian dini.
Jika angka ini diterjemahkan ke Indonesia yang memiliki jumlah pengonsumsi rokok jauh lebih besar ketimbang Amerika Serikat, maka bisa dibayangkan akan semakin banyak nyawa yang bisa diselamatkan dari kematian dini ini apabila para pengguna “rokok konvensional” bersedia pindah haluan ke produk tembakau alternatif tadi.
WHO merilis jumlah perokok di Indonesia berada di peringkat tiga besar dunia setelah Cina dan India. Menurut The Tobacco Atlas, Indonesia berada di urutan pertama di ASEAN (sekitar 46,16% dari seluruh penduduk di negara-negara ASEAN) dalam hal pengguna rokok ini. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2017 menunjukkan jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai sektar 30%.
Mengingat pentingnya produk tembakau alternatif ini, maka tidak ada salahnya jika pemerintah, policymakers, dan elemen masyarakat lain mendorong industri-industri rokok untuk menciptakan produk tembakau alternatif model heat-not burn seperti iQos ini. Produk tembakau alternatif ini dipandang mampu membawa sejumlah maslahat atau hal positif karena bukan hanya jauh lebih menyehatkan dan mengurangi risiko kematian dini saja, tetapi juga tetap membantu kehidupan atau tidak merugikan masyarakat petani tembakau lantaran produk tembakau alternatif ini tetap menggunakan tembakau sebagai bahan atau komponen utamanya [SAQ].