Kekerasan demi kekerasan terus menjamur dan mewarnai kawasan berbasis mayoritas Muslim: Mesir, Suriah, Libanon, Aljazair, Sudan, Afghanistan, Turki, Pakistan, Iran, Iraq, Indonesia, dlsb. Aksi-aksi kekerasan dalam bentuk teror, pengeboman, pemaksaan (coercion), pembajakan, sweeping, penculikan, pengrusakan, dll seolah tidak pernah berhenti bahkan sebaliknya, menunjukkan eskalasi yang mencemaskan semua pihak.
Realitas empiris ini seolah sebagai pembenar tesis sebagian orang-orang Barat, seperti disebutkan Edward Said dalam Covering Islam, yang mengatakan bahwa dunia Islam adalah “dunia kekerasan” dan barbarisme serta Islam adalah agama yang memproduksi teks-teks kekerasan sekaligus pengekspor kaum teroris dan radikal.
Fenomena dunia Islam yang belepotan dengan kekerasan ini telah menyebabkan citra Islam sebagai agama damai, ramah, toleran dan menjunjung tinggi keadaban menjadi musnah. Slogan Islam sebagai agama “rahmatan lil alamin” juga kalah populer dengan hiruk-pikuk tindakan kekerasan dan vandalisme yang dilakukan sebagian kelompok Muslim radikal.
Mengapa (sebagian) umat Islam begitu gampang marah dan gampang melakukan tindakan kekerasan?
Penjelasan atas pertanyaan ini bisa panjang. Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan fenomena ini dari faktor sosiologi, ekonomi, kebudayaan, politik sampai alasan teologi-keagamaan.
Secara sosiologis misalnya kita bisa menunjuk sejumlah kesenjangan yang begitu lebar antara Muslim dan non-Muslim, antara Timur dan Barat. Secara ekonomi juga terjadi gap yang begitu lebar antara “dunia Islam” yang kering-kerontang dengan “dunia Barat” yang makmur dan melimpah.
Dari aspek kultural kita juga bisa menyaksikan adanya dominasi “budaya Barat” yang terus merangsek ke kawasan Islam. Keunggulan teknologi menjadi faktor penentu atas dominasi kebudayaan tadi.
Kawasan Islam yang miskin teknologi harus rela menjadi “pemangsa” kebudayaan asing yang “diselundupkan” melalui TV, film, internet, dll. Adapun dari aspek politik jelas tampak di depan mata adanya infiltrasi, dominasi dan penekanan AS (sebagai “simbol Barat”) terhadap “Dunia Ketiga” yang mayoritas adalah kawasan Islam.
Fenomena inilah barangkali sehingga mengapa kelompok “multicultural liberal” membagi dunia menjadi dua kategori ekstrem: “the oppressors” yang diwakili Barat-Kristen (terutama AS) dan “the victims” yang direpresentasikan kaum Muslim. Realitas keterdesakan ini telah membuat sebagian umat Islam yang “berpikiran pendek” menjadi gusar dan panik dan akhirnya melampiaskan dengan cara-cara kekerasan.
Tindakan kekerasan sebetulnya adalah “cermin” dari kepanikan sekaligus ketidakberdayaan kultural dan politik umat Islam dalam menghadapi dominasi, hegemoni dan penetrasi kebudayaan global yang dimainkan Barat. Agar tindakan kekerasan yang “mereka” lakukan seolah-olah “legal” dan “sesuai dengan spirit Islam” maka dipakailah sejumlah teks-teks keislaman sebagai basis legitimasi teologis perilaku brutal “mereka”.
Doktrin jihad yang maknanya demikian luas pun kemudian ditafsiri secara sempit sebagai tindakan ofensif terhadap apa yang mereka sebut sebagai “musuh-musuh Islam”. Munculnya Ikhwanul Muslimin di Mesir yang dianggap sebagai “genealogi Islam garis keras” juga berangkat dari fakta keterkungkungan, ketertindasan dan ketidakberdayaan dunia Islam menghadapi pengaruh dan infiltrasi Barat yang begitu kuat di kawasan-kawasan Islam pada awal abad ke-20.
Tindakan kekerasan sebetulnya adalah “cermin” dari kepanikan sekaligus ketidakberdayaan kultural dan politik umat Islam dalam menghadapi dominasi, hegemoni dan penetrasi kebudayaan global yang dimainkan Barat.
Mereka berdalih bahwa tindakan kekerasan yang mereka lakukan adalah “untuk membela Tuhan” (baca, Allah SWT) dan “demi tegaknya Islam” sebagai agama yang “unggul dan tidak ada yang lebih unggul dari Islam” (ya’lu wala yu’la alaih). Kekerasan, dalam pandangan mereka, adalah the only path untuk menunjukkan superiority, “keperkasaan” dan “kedigdayaan” Islam. Sebaliknya, sikap tanpa kekerasan dianggap sebagai bentuk kepengecutan dan ekspresi inferiority. Ini adalah logika yang menggelikan.
***
Selain “wajah” Islam yang keras seperti dipaparkan di atas, Islam juga menunjukkan wajah yang damai. Beberapa tahun lalu guru saya, Muhammad Abu-Nimer, menerbitkan buku yang cukup menarik dengan judul Nonviolence and Peace Building in Islam. Dari segi materi, tema yang dikupas tentu bukan hal baru dalam wacana dan kajian keislaman. Masalah peacebuilding dan gerakan tanpa kekerasan juga disinggung dalam literatur-literatur keislaman klasik termasuk Al-Qur’an dan Hadis.
Yang membuat buku ini menarik barangkali adalah, penulis dengan lihai meracik dan meramu ide-ide dan praktek peacebuilding dan nonviolent movement dalam sejarah dan tradisi Islam dan Arab klasik yang berserakan di berbagai literatur itu dalam sebuah kajian yang utuh, komprehensif, “metodis” dan metodologis, dan karena itu mengandung bobot intelektual yang sangat tinggi dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademik-ilmiah—sebuah kerja intelektual yang sangat berat dan melelahkan.
Hal lain yang menambah bobot buku ini adalah karena buku ini merupakan eksplorasi intelektual penulis setelah melakukan interaksi dengan berbagai kalangan, kelompok peacebuilders, human rights activists dan peacemakers dalam sebuah workshop atau training tentang resolusi konflik, peace building dan peacekeeping di berbagai tempat mulai Kairo, Amman, Sarajevo, Gaza dll di Timur Tengah hingga Mindanao di Philippine. Singkatnya, buku ini merupakan kombinasi dari “penjelajahan intelektual” dan “kerja sosial” penulis. Ibaratnya penulis adalah seorang arsitek dan pekerja sekaligus, seorang intelektual kampus sekaligus praktisi dan aktivis NGO—sebuah kombinasi yang sangat berat dan langka.
Sedikit sekali umat Islam yang menjadi intelektual-akademisi di satu sisi tetapi juga aktivis gerakan dan praktisi lapangan di pihak lain. Di antara yang sedikit itu, selain Abu-Nimer, adalah Abdulaziz Sachedina dari University of Virginia, kemudian Chaiwat Shata-Anand, seorang aktivis-intelektual dari Thailand.
Dalam buku ini, Abu-Nimer yang juga direktur the Conflict Resolution Skills Institute mengeksplorasi sekaligus “menguji” tema anti-kekerasan (nonviolence) dan peacebuilding dalam tradisi, ajaran dan kebudayaan Islam yang hampir luput dari kajian keislaman kontemporer. Setelah melakukan penjelajahan intelektual dan riset mendalam mengenai topik ini, Abu Nimer sampai pada sebuah kesimpulan bahwa teks-teks Al-Qur’an, Hadis, tradisi Islam dan Arab klasik mengandung prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai fundamental kaitannya dengan praktek nonviolence dan peacebuilding dalam menyelesaikan konflik (disputes).
Abu-Nimer misalnya mengutip Q.S. al-Hujuraat/49: 9-10 sebagai basis teologis gagasan peacebuilding dan peacekeeping sekaligus mekanisme resolusi konflik dalam Islam (hlm. 62). Dalam ayat 9 surat ini misalnya disebutkan, “Wa in thaifataani min al-mukminin ‘qtataluu fa-ashlihu bainahuma…” (“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang dan konflik maka damaikanlah keduanya…”). Kemudian pada ayat 10 disebutkan, “Innama al-mukminuna ikhwatun fa-ashlikhu baina akhawaikum…” (“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu…”) .
Teks-teks Al-Qur’an, Hadis, tradisi Islam dan Arab klasik mengandung prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai fundamental kaitannya dengan praktek nonviolence dan peacebuilding dalam menyelesaikan konflik (disputes). (Abu-Nimer)
Oleh banyak sarjana, kedua ayat di atas memang dianggap memiliki makna ganda dan “ambigu”. Satu sisi, kedua ayat tersebut menunjukkan “watak” kekerasan dalam dunia Islam. Artinya, penggunaan atau jalan kekerasan dalam menyelesaikan masalah sudah menjadi bagian integral dalam sejarah umat Islam sehingga gagasan/hipotesis tentang “pacifism” (yakni bahwa Islam adalah agama yang mendukung perdamaian dan antikekerasan) hanyalah “ilusi” kaum pacifist muslim belaka.
Akan tetapi, menariknya, jika kita amati dengan seksama, kedua ayat itu juga menawarkan jalan resolusi konflik secara damai dengan melibatkan “orang/kelompok ketiga” sebagai mediator. Dalam ilmu politik mediasi, peranan mediator ini sangat penting dan vital (lihat misalnya studi Ron Kraybill dalam Peace Skills: Manual for Community Mediators). Mediator juga merupakan bagian integral dalam proses peacebuilding dan negosiasi yang berfungsi memfasilitasi komunikasi kedua belah pihak yang bertikai/konflik, mengurangi ketegangan (reducing tension) dan mendampingi serta mengawal proses rebuilding relationships among parties.
Tanpa bermaksud apologi, dalam konteks/proses negosiasi/mediasi dengan menghadirkan “the third party” untuk melakukan resolusi konflik secara damai dan adil ini, Islam jauh lebih “maju” ketimbang dunia Barat yang baru belakangan memunculkan wacana tersebut dalam kamus conflict resolution, conflict management, atau yang lebih fresh conflict transformation yang dipelopori John Paul Lederach.
Dalam buku ini, Abu Nimer juga mengungkapkan tentang konsep “Sulha” yang dalam kamus politik modern dipahami sebagai “mediasi, arbitrasi dan rekonsiliasi”. Sulha adalah sebuah “extract lessons” dan prinsip-prinsip serta nilai-nilai yang dipakai masyarakat traditional tradisional Arab dalam menyelesaikan konflik secara damai dan adil (fairness) baik di tingkat keluarga, interpersonal maupun komunitas. Sulha ini sejenis “local wisdom” masyarakat Arab klasik dalam kaitannya dengan wacana peacebuilding dan resolusi konflik. Saya menduga, prinsip “peaceful Islam” dalam Qur’an seperti termaktub dalam kedua ayat di atas diadopsi dari konsep “Sulha” ini. Memang banyak sekali ajaran-ajaran Islam yang diambil/diserap dari tradisi Arab-Quraisy, Judaisme dan Kristen.
***
Dalam konteks dunia Islam yang sedang bergolak sekarang ini seperti tampak di Iraq, Iran, Palestine, Mesir, Afghanistan, Malaysia sampai Indonesia, studi Abu-Nimer di atas menjadi paradoks: satu sisi Islam berisi pesan-pesan universal dan seruan moral berupa spirit cinta-damai, anti kekerasan dan menjunjung rasa keadilan dan keadaban, akan tetapi di pihak lain kita menyaksikan sebarisan umat Islam yang brutal, intoleran, anti-perdamaian, hobi melakukan tindakan vandalisme, kekerasan dan teror (perang, ngebom, sweeping, hijacks, hostages, dll).
Alih-alih ingin melakukan resolusi konflik secara damai dan adil dalam menghadapi “perpecahan”, kelompok “Islam ekstrim” dan kaum radikal agama ini justru mencaci maki dan melaknat saudara sesama Muslim yang tidak sepaham dengan mereka sebagai kafir, murtad, antek Kristen dan Yahudi, dlsb.
Yang muncul dalam praktek kehidupan umat Islam dewasa ini bukan semangat cinta-kasih tapi semangat kebencian, bukan spirit persaudaraan tapi spirit permusuhan, bukan etos untuk mengejar kemajuan tapi sejenis “mentalitas primordial” untuk memprotek warisan keislaman yang klasik dan kuno. Jika umat Islam tidak kunjung sadar dan terus merawat spirit permusuhan dan kebencian serta terus memupuk semangat anti-kemajuan ini, maka mereka akan selamanya berada di jurang kegelapan sementara “orang lain”, “bangsa lain” dan “negara lain” sudah “lepas landas”.