Beranda Opinion Bahasa Bangkitnya Konservatisme di Dunia Islam

Bangkitnya Konservatisme di Dunia Islam

2579
1

Arus konservatisme baik dalam pengertian politik maupun pemikiran kembali menguat pada masyarakat agama. Hal itu terjadi di hampir semua agama di dunia ini. Di Amerika—negara yang konon sebagai kampium demokrasi dimana orang dihargai bukan karena status agama, etnisitas dan simbol-simbol primordial lain melainkan lebih pada martabat kemanusiaan—penyakit konservatisme juga menyeruak di mana-mana. Ada banyak radio, TV, media cetak, atau gereja/sinagog yang menyuarakan kebencian terhadap kaum Muslim dan agama Islam.

Mereka ini biasanya menjadi basis pendukung Partai Republik. Memang partai ini selalu mendapat dukungan penuh kaum “Evangelis Putih” dan Kristen konservatif yang memandang sinis terhadap Islam karena dianggap sebagai sumber malapetaka dan terorisme. Mereka mendukung total para pemimpin politik yang memerangi “sarang-sarang terorisme dunia Islam”. Bagi mereka, berperang melawan umat Islam bukanlah perbuatan kriminal kemanusiaan melainkan tindakan patriotis dan cermin dari iman Judeo-Kristiani.

Tidak hanya di Amerika, arus konservatisme juga menguat di dunia Islam. Kata konservatisme ini tidak hanya mengacu pada pengertian politik tetapi juga pemikiran keagamaan. Dalam konteks politik, Timur Tengah sebagai basis utama Islam sudah lama dikenal sebagai kawasan yang jauh dari nilai-nilai demokrasi.

Hampir semua negara (pemerintahan) di Timur Tengah (dan kawasan Islam lain) adalah kerajaan absolut atau negara totaliter yang dibungkus demokrasi. Kalaupun ada pemilu yang diselenggarakan di dunia Islam, biasanya terjadi dalam empat kemungkinan.

Pertama, di bawah ancaman kekuasaan militer yang selalu siap membatalkan hasil pemilu yang kurang menguntungkan kepentingan kaum tentara seperti tampak dalam kasus Turki dan Aljazair.

Kedua, di bawah bayang-bayang kaum mullah atau wilayatul faqih seperti dalam kasus Iran. Meskipun di Iran, pada pemilu beberapa tahun lalu pernah mengantarkan figur reformis (Khattami) ke kursi presiden namun bukan jaminan bahwa regulasi kepolitikan dan kenegaraan bisa berjalan dalam frame demokrasi karena masih kuatnya otoritas kaum mullah dalam mengendalikan kekuasaan dan menentukan policy pemerintahan.

Ketiga, pemilu berlangsung di bawah kekuasaan politik yang semi-otoriter dan represif seperti di Malaysia, Pakistan, Afghanistan, dll. Malaysia adalah contoh dari negara berbasis Islam yang menerapkan konsep “pseudo-democracy” (demokrasi semu).

Keempat, pemilu yang dilangsungkan secara “akal-akalan” (baca, “pemilu kamuflase”) sekedar untuk memenuhi tuntutan Barat (AS) dan publik internasional tentang demokrasi (contohnya UEA, Bahrain, Mesir dst.).

Selain masalah politik, aura konservatisme juga merambah wilayah pemikiran keagamaan (keislaman). Di kawasan Islam di belahan bumi manapun—apalagi Arab dan Timur Tengah—bukanlah lahan subur bagi bersemainya ide-ide progresif, moderat, pluralis, liberal, emansipatoris dan humanis. Di berbagai dunia Islam, ide-ide seperti ini mengalami proses marginalisasi (peminggiran) yang sangat serius dan mengkhawatirkan.

Sudah tidak terhitung lagi jumlahnya para pemikir muslim brilian tetapi asing di negerinya sendiri, menjadi devian dalam komunitasnya sendiri. Mereka kehilangan hak-hak intelektual, kebebasan berpikir dan bahkan kehilangan hak-haknya sebagai warga negara. Karena itu banyak di antara mereka yang memilih tinggal di Barat demi menjaga kelangsungan intelektual dan karya akademik mereka.

***

Bagaimana dengan Indonesia? Negeri kita ini belakangan disebut-sebut sebagai exemplary dari negara berbasis Islam yang mampu menerapkan prinsip demokrasi yang berdasar pada pluralisme, keterbukaan, dan otonomi warga negara dalam menentukan pilihan intelektual dan politiknya. Benarkah penilaian demikian? Jika yang dijadikan acuan adalah Pemilu pasca Orba (baik pemilu legislatif maupun pemilihan presiden/pilkada), barangkali ada benarnya. Meskipun pemilu yang berlangsung di negara ini bukan berarti tanpa cacat dan kecurangan tetapi itu jauh lebih baik dan demokratis ketimbang pemilu di negara-negara berbasis Muslim lain seperti saya sebutkan di atas.

Masalahnya adalah pemilu hanyalah “demokrasi prosedural” yang tentu saja tidak bisa dijadikan sebagai acuan utama untuk menilai kedemokratisan sebuah negara. Ada hal-hal yang jauh lebih substansial, misalnya bagaimana negara dan masyarakatnya menyikapi  masalah hak-hak minoritas (baik minoritas agama maupun politik), kebebasan sipil dalam beragama, kemerdekaan berpikir dan seterusnya. Alih-alih menegakkan demokrasi (sebagian) kaum Muslim justru terjerembab ke dalam pemikiran dan sikap konservatif yang membahayakan bagi kelangsungan demokrasi pemikiran dan pluralisme di Indonesia di masa datang.

Sebuah lembaga riset di Jakarta, Freedom Institute (FI), belakangan ini telah mengadakan survey mengenai sikap keberagamaan umat Islam di Indonesia. Hasilnya sangat mengejutkan, yakni besarnya kaum Muslim di Indonesia yang mendukung atau bersimpati pada gagasan sekaligus tindakan Islam radikal di negeri ini. Meskipun harap dicatat bahwa mendukung bukan berarti mau bertindak (melakukan perbuatan) seperti yang dilakukan kalangan Islam radikal karena sikap dan tindakan tidak selamanya berjalan paralel. Namun demikian, hasil survey ini setidaknya menunjukkan arus konservatisme umat Islam di negeri ini cukup kuat.

Hasil survey juga menunjukkan rendahnya tingkat toleransi umat Islam terhadap kelompok lain. Misalnya, umat Islam keberatan terhadap pembangunan gereja dan bahkan sekedar kebaktian di wilayah mereka. Kaum muslim juga keberatan jika umat Kristen mengajar di sekolah-sekolah negeri. Tidak sebatas itu, dukungan terhadap ide-ide konservatif yang biasanya diusung oleh “kelompok fundamentalis” Islam juga sangat kuat seperti penerapan hukum rajam (55%), potong tangan (40%), penolakan terhadap pemimpin perempuan (41%). Prosentase dukungan terhadap agenda-agenda Jama’ah Islamiyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Front Pembela Islam (FPI) juga cukup signifikan.

Jika kita perhatikan, sikap konservatisme itu terjadi di hampir semua faksi Islam. Bahkan ormas Islam besar seperti Muhammadiyah dan NU yang dikenal sebagai “sayap Islam moderat” di negeri ini juga tidak lepas dari semangat konservatisme ini. Memang di tingkat elit struktural, kedua ormas Islam ini hampir selalu dipimpin oleh figur yang moderat dan liberal tetapi sikap mereka tidak berdampak secara positif dan otomatis pada arus bawah.

Beberapa tokoh moderat dan liberal Muhammadiyah seperti Syafi’i Ma’arif, Moeslim Abdurrahman, Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah dan lain-lain tidak mampu menghadang laju konservatisme warga Muhammadiyah. Para pemikir muda Muhammadiyah terutama yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)  juga sering mengeluh akibat tidak kondusifnya iklim intelektual keislaman dan menguatnya arus konservatisme dan anti pemikiran Islam liberal di ormas ini.

Demikian juga NU. Ormas Islam yang berdiri tahun 1926 yang selama ini memiliki reputasi sebagai ormas Islam moderat, pluralis dan progresif ini belakangan “terperangkap” ke dalam wacana pemikiran Islam yang konservatif. Muktamar NU (sejak di Solo sampai Makasar) menjadi saksi atas bangkitnya arus konservatisme ormas Islam yang berbasis masa tradisional ini. Di setiap sudut di arena Muktamar terpampang poster, spanduk, brosur, dan selebaran-selebaran yang isinya mengecam gagasan-gagasan Islam liberal yang dianggap membahayakan otoritas dan otentisitas Islam sebagai “agama langit”. Selama berlangsungnya Muktamar, terutama di forum masa’il diniyah (persoalan keagamaan) telah terjadi pengadilan pemikiran terhadap Islam liberal.

Akhirnya, para kiai NU menolak keras gagasan Islam liberal yang kebanyakan diusung kaum muda NU kultural serta menyerukan agar struktur NU bersih dari “orang-orang NU liberal”. Dalam hal ini mereka lupa satu hal mendasar, yakni bahwa pemikiran sekeras dan seliberal apapun tidaklah sama dengan perbuatan: pemikiran tidak bisa dihukum hanya bisa dikritisi, sehingga ide-ide yang merupakan produk dari pergulatan intelektual anak muda NU tidak bisa diposisikan sebagai “anak haram” yang harus diasingkan dan dipinggirkan dari wacana keislaman.

Ide-ide pemikiran kalangan liberal ini tetap merupakan “anak kandung yang sah” dalam khazanah peradaban Islam yang mendukung bersemainya pluralisme pemikiran. Pemikiran Islam liberal yang bertumpu pada kebebasan nalar janganlah dianggap sebagai virus ganas yang dapat meracuni kebenaran hakiki ajaran Islam. Sebab, seperti dinyatakan intelektual Iran berpengaruh, Abdul Karim Soroush dalam salah satu karyanya, Reason, Freedom and Democracy in Islam, mereka yang menghindari kebebasan (berfikir) karena kebebasan dianggap sebagai musuh kebenaran dan tempat persemaian yang cocok untuk ide-ide salah dan sesat tidak menyadari bahwa kebebasan adalah kebenaran itu sendiri. Dunia, kata Soroush, adalah ibarat pasar tempat tukar-menukar ide dan gagasan. Karena itu siapapun tidak berhak untuk memboikot dan mengadili sebuah produk pemikiran!

***

Mengapa arus konservatisme begitu menguat di kawasan Islam? Jawaban atas pertanyaan ini bisa panjang apalagi jika dikaitkan dengan masalah politik. Tetapi di antara faktor penting yang bisa menjelaskan fenomena menguatnya konservatisme di tubuh Islam ini adalah berkaitan dengan pemahaman keislaman yang fragmented, parsial, sepotong, instan, dan tidak komprehensif.

Kita tahu, sebagian besar umat Islam di Indonesia (mungkin angkanya sampai 90-an%) bukanlah ahli agama dalam pengertian bahwa mereka dilatih dan dididik secara intensif dalam lingkungan agama. Kalaupun ada yang belajar di lingkungan agama, umumnya adalah lingkungan yang tidak ramah dengan wacana keislaman diluar mainstream dan karena itu ujung-ujungnya konservatif seperti terjadi di NU dan Muhammadiyah.

Mungkin kurang dari 2% umat Islam Indonesia yang memiliki kemewahan untuk meneliti dan memahami ajaran agama mereka “secara benar”. Yang dimaksud di sini adalah mengkaji wacana keislaman dengan perangkat ilmiah yang objektif dan sesuai dengan standar kesarjanaan. Sebagian besar informasi keagamaan kaum muslim di Indonesia diperoleh melalui “kaki lima”(ini istilah Luthfi Assyaukanie). Yakni tempat-tempat yang menyajikan ajaran dan doktrin Islam secara sederhana dan instan seperti mimbar-mimbar khotbah di masjid, bulletin ruhani, ceramah tujuh menit, kuliah keagamaan di TV dan radio dan tempat-tempat lain dimana informasi keislaman diobral secara murah dalam retorika keagamaan.

Dan kita tahu, jenis atau wacana keislaman yang disampaikan di forum-forum ini sangat konservatif. Versi pemahaman keislaman seperti inilah yang dikonsumsi oleh sebagian besar umat Islam sehingga wajar apabila mereka kemudian berwatak intoleran dan konservatif serta tidak menghargai pluralisme pemikiran. Pemahaman keislaman model ini jelas tidak akurat dan berlawanan dengan visi Islam yang menjunjung tinggi pluralisme pemikiran dan kemerdekaan akal.

Artikulli paraprakGus Dur, Tionghoa, Indonesia
Artikulli tjetërIslam yang Keras dan yang Damai
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini