Belum lama ini seorang warga Israel-Yahudi kelahiran Arab Saudi yang bernama David Shunker menulis sebuah surat yang cukup mengharukan. Surat yang ditulis di laman Wall Street Journal itu ditujukan kepada Raja Salman dan Putra Mahkota Mohammed Bin Salman. Dalam surat itu, ia yang usianya mendekati 80 tahun memohon kepada sang raja dan putra mahkota untuk mengijinkannya mengunjungi desa kelahirannya di Najran (dulu masuk wilayah Yaman tetapi sejak 1934 menjadi bagian dari teritori Arab Saudi).
Berbeda dengan sejumlah negara Arab seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, Maroko, dan Yordania, Arab Saudi tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sehingga warga negara di kedua negara tersebut tidak bisa leluasa untuk saling mengunjungi. David Shunker menuturkan kalau ia bersama ratusan warga Yahudi Najran–dewasa maupun anak-anak–berbondong-bondong meninggalkan Arab Saudi menuju Israel–sebagian berjalan kaki, yang lain mengendarai onta–sesaat setelah pendirian Negara Israel tahun 1948.
Eksistensi Yahudi di Arabia Kuno
Penuturan David Shunker ini menjadi salah satu bukti bahwa komunitas Yahudi pernah eksis di Semenanjung Arabia (Jazirah Arab). Memang jika membaca literatur sejarah, baik yang ditulis oleh para sejarawan muslim (seperti Ibnu Hisyam, Tabari, atau Muqaddasi / al-Maqdisi) maupun bukan (misalnya Moshe Gil, Marshal Hodgson, Norman Stillman, dlsb) termasuk aneka peninggalan arkeologis masa lampau, bangsa Yahudi pernah mendiami Arabia jauh sebelum Islam hadir di abad ketujuh masehi. Mereka pada umumnya tinggal di Arabia selatan (termasuk Najran) maupun Arabia utara (misalnya Khaibar dan Yatsrib/Madinah) dan barat (seperti Jeddah).
Di Arabia selatan, bangsa Yahudi pernah eksis terutama sejak Kerajaan Himyar mengadopsi Yudaisme (agama Yahudi) sebagai “agama resmi negara” pada abad ke-4 M dan meninggalkan tradisi politeisme. Salah satu Raja Himyar beragama Yahudi yang paling populer adalah Abu Karib (Abu Karib As’ad al-Kamil, memimpin dari 378–430 M) yang kemudian agresif melakukan “yahudisasi” di kawasan Arabia selatan. Puncaknya di zaman Dhu Nuwas (Yusuf bin Syarhabil) yang memerintah antara 515 dan 525 M yang gencar “meyahudikan” bangsa Arab dan lainnya. Kelak, Kerajaan Himyar ditaklukkan oleh Kerajaan Aksum (berpusat di Afrika) yang berafiliasi ke Kristen dalam sebuah perang besar antara Byzantium (dimana Aksum menjadi salah satu sekutunya) dan Persia (dimana Himyar menjadi salah satu sekutunya). Sangat mungkin, David Shunker adalah sisa-sisa dari komunitas Arab-Yahudi di Kerajan Himyar ini.
Tidak hanya di Arabia selatan, komunitas Yahudi juga eksis di Arabia utara seperti Madinah (dulu bernama Yatsrib) dan Khaibar. Tidak jelas apakah mereka suku-suku Yahudi yang bermigrasi dari Palestina, bangsa Arab yang “diyahudikan” (Arab yang mengadopsi Yudaisme), atau komunitas Yahudi-Arab karena hasil perkawinan silang. Para sejarawan bersilang pendapat soal ini. Moshe Gil dalam The Origins of the Jews of Yathrib berpendapat kalau komunitas Yahudi yang tinggal di Arabia utara ini ada yang suku-suku Yahudi Israel Kuno (Israelites) tetapi ada pula yang suku-suku Arab pemeluk agama Yahudi. Sementara itu para sejarawan muslim seperti Tabari, Ibnu Hisyam, dan Maqdisi menyebut mereka sebagai keturunan dari suku-suku Yahudi Israelites.
Darimanapun asal-usul mereka, yang jelas ada cukup banyak suku atau klan yang berafiliasi atau diidentifikasi sebagai “suku Yahudi” (atau suku “Arab-Yahudi”) di Arabia utara. Sebut saja suku Auw, Bani Jusyam, Bani Aus, Bani Harits, Bani Sa’idah, Bani Quda’a, Bani Najjar, Bani Ghiffar, Bani Kinanah, Bani Nadir, Bani Qainuqa, Bani Quraidha, dan masih banyak lagi. Di antara sekian banyak suku-suku Yahudi tersebut, tiga yang disebut terakhir (Bani Nadir, Qainuqa, dan Quraidha) yang paling populer di kalangan umat Islam. Hal itu karena terkait dengan kesejarahan mereka sebagai penentang, pembangkang atau pelanggar perjanjian damai (Perjanjian Madinah) dengan Nabi Muhammad dan para sahabat sehingga mengakibatkan peperangan antara mereka.
Kelompok Yahudi Pro-Islam
Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah tahun 622 M, sebagian dari suku-suku tersebut secara sukarela konversi ke Islam, sebagian lagi tetap memeluk Yudaisme. Nabi tidak memaksakan keyakinan keagamaan seseorang. Ia bahkan bersahabat baik dengan para tokoh dan rabbi Yahudi. Salah satu tokoh dan rabbi Yahudi yang fenomenal bernama Mukhairiq dari Bani Tsa’labah. Dikisahkan ia ikut berjuang dan berperang bersama Muhammad (misalnya di Perang Uhud) dan meninggal sebagai martir. Sebelum wafat, Mukhairiq yang dikenal kaya raya berwasiat untuk mendonasikan atau mewakafkan semua harta kekayaan pada Nabi Muhammad dan umat Islam. Nah, gagasan tentang wakaf dalam Islam itu bermula dari kisah ini.
Kisah Rabbi Mukhairiq ini menunjukkan bahwa tidak semua kelompok Yahudi kala itu memusuhi Nabi Muhammad dan rombongannya. Memang dalam sejarah awal formasi Islam, hanya kelompok Yahudi dari Bani Qunaiqa, Quraidha, dan Nadir saja yang dikenal agresif kontra Muhammad. Selebihnya tidak bahkan sebagian kelompok Yahudi mendukung nabi. Dalam konteks inilah, ayat Al-Qur’an atau sejumlah Hadis yang bernada “anti-Yahudi” itu muncul.
Dengan kata lain, ayat/hadis tersebut merujuk pada kasus spesifik kelompok Yahudi tertentu bukan semua etnis/suku Yahudi atau semua pemeluk agama Yahudi (Yudaisme) dimanapun di dunia ini seperti yang sering didakwahkan dan dipropagandakan sebagian tokoh, kelompok, dan ormas Islam. Oleh karena itu, umat Islam seharusnya tidak atau jangan menjadikan kasus spesifik diatas sebagai alasan untuk membenci dan memusuhi umat Yahudi.
Karen Armstrong (dalam Muhammad) atau Norman Stillman (dalam The Jews of Arab Lands) menegaskan “perang Muslim-Yahudi” waktu itu harus dipahami dalam konteks spesifik sejarah sosial-politik kala itu bukan dalam konteks teologi-doktrinal. Artinya, “konflik Muslim-Yahudi” pada waktu itu lebih karena dorongan aliansi politik-ekonomi-kesukuan ketimbang perdebatan teologi-keagamaan. Jelasnya, kasus konflik Muslim versus (sebagian) suku Yahudi pada waktu itu bukan lantaran akidah dan iman mereka yang “sesat” (atau Yudaisme sebagai “agama kafir” sehingga harus diperangi dan diislamkan) tetapi karena dilatari oleh kasus-kasus spesifik menyangkut politik-ekonomi. Misalnya, gagasan tribal partnership (kerjasama Arab-Yahudi) atau tax-free market (pasar yang bebas pajak).
Jika memang Islam secara inheren (baik dari aspek teologi-keagamaan maupun sosial-politik) anti-Yahudi (tanpa terkecuali), kenapa banyak dijumpai teks (ayat/hadis), praktik, sejarah, dan wacana keislaman yang ramah, toleran, dan damai dengan komunitas Yahudi?
Di zaman para sahabat pasca wafatnya Nabi Muhammad tahun 632, khususnya di era Umar Bin Khattab, umat Yahudi di Madinah dan sekitarnya kemudian direlokasi atau dipindah ke Jeddah di Arabia barat. Karena itu, Jeddah dulu juga menjadi tempat populasi Yahudi.
Mungkinkah Hubungan Diplomatik Saudi-Israel?
Jejak, legacy, dan peninggalan bangsa Yahudi di Arabia ini masih bisa disaksikan hingga kini. Industri turisme arkeologis (heritage tourism) yang dikembangkan pemerintah Saudi sejak beberapa tahun silam, antara lain, bertujuan untuk merekonstruksi dan mengonservasi jejak historis-arkeologis bangsa Yahudi masa lampau di Arabia selatan, utara, dan barat. Fenomena ini sangat kontras dengan apa yang terjadi di Indonesia, dimana peninggalan Yahudi masa lalu di Surabaya, yakni sinagog, justru dimusnahkan. Diharapkan upaya ini bisa menarik turis mancanegara, khususnya Yahudi, dari berbagai negara selain Israel tentunya karena masih terhalang kendala politik.
Meski begitu, belakangan dikabarkan terjadi sejumlah “pertemuan rahasia” antara petinggi Saudi dan petinggi Israel termasuk kalangan pebisnis dari kedua negara. Arab Saudi konon bahkan sudah menjalin kerja sama bisnis/dagang dengan Israel khususnya di bidang teknologi pertanian, perairan, dan militer.
Kerjasama teknologi di bidang ekonomi/bisnis dan militer/pertahanan itu, antara lain, dilatari oleh kepentingan yang sama, yakni kebutuhan akan air, keinginan mengtransformasi gurun pasir menjadi lahan pertanian/perkebunan agar tidak menggantungkan produk-produk pertanian/perkebunan dari negara-negara lain, serta menghadapi ancaman Iran. Jadi, baik secara geografi maupun geo-politik, Arab Saudi dan Israel memiliki kebutuhan dan kepentingan yang sama. Sementara itu dari aspek sejarah, Yahudi merupakan bagian integral dari Arabia serta turut membentuk peradaban dan kebudayaan masyarakat Arab masa lampau.
Saya kira dengan sejumlah latar belakang, kepentingan nasional, dan kesamaan kebutuhan ini, bukan tidak mungkin kalau Arab Saudi dan Israel akan menjalin hubungan diplomatik di kemudian hari. Dengan begitu mimpi David Shunker untuk mengunjungi tanah kelahirannya di Najran bisa terwujud dalam dunia nyata, bukan hanya mimpi belaka.
Keterangan: artikel ini semula diterbitkan di Kompas pada tanggal 19 November 2022.