Menarik memperhatikan perbedaan sikap, pendapat, pandangan, persepsi, atau bahkan keyakinan antara (sebagian) umat Islam di Indonesia dan Timur Tengah (Timteng) mengenai berbagai hal menyangkut isu-isu sosial, kebudayaan, dan keagamaan. Misalnya, banyak hal yang oleh umat Islam Timteng dianggap sebagai bagian dari produk kebudayaan tetapi oleh kaum muslim Indonesia dipandang sebagai bagian dari ajaran keagamaan (keislaman).
Salah satu isu yang menonjol dalam hal ini adalah pandangan masyarakat mengenai busana. Sebagian umat Islam di Indonesia cenderung mengaitkan jenis busana tertentu – misalnya jilbab, hijab, kerudung, cadar (niqab, burqa, dan lainnya), gamis (jubah), baju koko, atau sarung – dengan identitas keislaman dan bahkan ajaran keagamaan. Karena itu banyak dari mereka (kaum muslim) yang tidak terima, marah, atau bahkan menganggap sebagai “pelecehan” agama (Islam) kalau ada perempuan non-muslim, misalnya, yang mengenakan pakaian jilbab/hijab.
Mereka berpandangan (dan berkeyakinan) kalau busana jilbab, hijab, dan juga cadar itu adalah “busana muslimah” dan bagian dari doktrin fundamental syariat Islam, dan oleh karena itu hanya umat Islamlah yang boleh atau berhak mengenakan busana tersebut. Sementara itu, jenis pakaian selain jilbab dan hijab (misalnya kebaya, pakaian adat/daerah, atau berbagai bentuk pakaian masa kini) adalah “busana sekuler” (baca, non-religius).
Busana: Agama atau Budaya?
Di Timteng, sependek yang saya ketahui, masyarakat tidak mengaitkan busana semacam jilbab serta kain penutup kepala dan wajah dengan ajaran kegamaan tertentu. Hanya sekelumit kelompok agama saja yang mengklaim jenis busana tertentu sebagai bagian dari ajaran keagamaan mereka. Misalnya, kelompok ultrakonservatif Yahudi Haredi Burqa memandang jilbab, hijab, dan cadar itu adalah bagian integral dari ajaran agama dan syariat Yahudi. Pandangan ini mirip dengan sekelompok muslim di Indonesia yang mengklaim jilbab, hijab, dan cadar adalah bagian dari tradisi, syari’at, doktrin, dan ajaran normatif Islam.
Pula, umat Islam di Timteng tidak menuduh non-muslimah yang mengenakan busana jilbab dan sejenisnya sebagai pelecehan atau penodaan agama dan syariat Islam. Di Timteng, kita dengan mudah menjumpai perempuan dari berbagai latar belakang agama, kepercayaan, dan ideologi mengenakan busana sejenis jilbab di ruang-ruang publik.
Jamak dimaklumi kalau ada banyak kaum perempuan dari berbagai kelompok atau denominasi Kristen Timteng seperti Koptik, Maronite, Ortodoks Suriah, dan lain-lain yang mengenakan busana jilbab dan hijab (dan bahkan cadar). Begitu pula kaum perempuan dari kelompok Yahudi seperti Haredi, Yahudi Yaman, atau Beth Israel yang banyak memakai jilbab lengkap dengan kain penutup kepala dan muka (semua berwarna hitam seperti umumnya dipakai perempuan Salafi-Wahabi di Jazirah Arab).
Yang menarik, meskipun kelompok konservatif Salafi-Wahabi mengampanyekan pentingnya menutup aurat, baik perempuan maupun laki-laki, tetapi mereka tidak mewajibkan umat Islam untuk menutup tubuh mereka dengan jenis busana tertentu seperti jilbab. Bagi mereka, bentuk busana apapun yang dipakai oleh perempuan dipandang sudah cukup asal dianggap sudah menutup aurat mereka. Karena itu di Timteng, banyak dijumpai perempuan yang mengenakan aneka busana dari suku atau klan mereka (semacam pakaian daerah di Indonesia). Yang menarik, perempuan memakai kerudung juga makin marak dan banyak dijumpai di Timteng. Padahal kerudung, oleh kelompok Islam tertentu di Indonesia, dianggap kurang Islami atau kurang syar’i.
Di Indonesia, saya perhatikan agak berbeda dinamikanya. Sekelompok pengikut Salafi-Wahabi memandang muslimah harus mengenakan busana jilbab bukan, misalnya, kebaya atau pakaian daerah/adat karena dianggap tidak islami atau tidak syar’i meskipun sudah menutup aurat. Dengan kata lain, bagi mereka, menutup aurat saja tidak cukup. Jenis kain/busana apa yang digunakan untuk menutup aurat juga mereka anggap penting dan menjadi bagian integral dari diskursus dan praktik keagamaan yang mereka yakini, dakwahkan, atau kampanyekan.
Lebih lanjut, dalam konteks Indonesia, pandangan atau keyakinan bahwa busana jilbab, hijab, atau bahkan cadar sebagai ajaran dan syariat Islam berimplikasi pada sikap dan pergaulan mereka sehari-hari yang cenderung tertutup, eksklusif, dan membatasi diri dari hal-ihwal yang dianggap bisa mengganggu atau menodai iman mereka.
Sebaliknya, di Timteng, karena menganggap busana adalah produk budaya, umat Islam tidak membatasi pergaulan mereka dengan kelompok dan umat lain. Mereka juga tidak selektif dan membatasi dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Di Palestina, misalnya, banyak perempuan muslimah yang mengenakan jilbab, hijab, dan cadar yang bekerja membuat kerajinan asesoris dan pernak-pernik yang berkaitan dengan agama/umat Kristen (misalnya, lambang salib, topi Sinterklas, patung Yesus atau Bunda Maria, dlsb) guna dijajakan ke para turis Kristiani di Yarusalem.
Busana Laki-Laki
Bukan hanya busana perempuan, busana yang dikenakan laki-laki pun ada perbedaan pandangan signifikan. Di Indonesia, ada persepsi di sebagian umat Islam kalau gamis (jubah) warna putih itu adalah “pakaian nabi” (Muhammad), dan karena itu mengenakannya adalah sunah rasul. Sementara itu, masyarakat muslim Timteng nyaris tidak ada yang menganggap gamis itu sebagai “busana nabi” lima belas abad silam melainkan pakaian kontemporer masyarakat Arab – apapun agama mereka – yang desain, corak, dan warnanya beraneka ragam.
Di Timteng, gamis banyak digunakan oleh masyarakat Saudi, Yaman, Qatar, UEA, Bahrain, atau Kuwait, baik muslim maupun non-muslim. Banyak juga kaum non-muslim Arab di negara-negara ini yang mengenakan gamis saat ibadah kebaktian di gereja. Diluar negara-negara ini (misalnya Mesir, Libanon, Irak, Suriah, dlsb) pakaian kasual (jeans, kaos, kemeja, dll) yang lebih banyak dipakai dan berkembang di masyarakat. Sementara itu, di kalangan generasi muda Arab, di hampir semua negara di Timteng, pakaian kasual yang berkembang pesat. Di kawasan Arab Teluk, gamis lengkap dengan kain penutup kepala dan tali pengikat dipakai kalau ada acara resmi (atau semi-resmi) seperti resepsi pernikahan, wisuda, atau bekerja di kantor.
Singkatnya, jika di Indonesia gamis dikaitakan dengan identitas keislaman, di Timteng pakaian gamis dianggap sebagai produk budaya masyarakat Arab modern yang tak beragama atau tidak ada sangkut pautnya dengan agama tertentu.
Bahasa dan Huruf Arab
Selain busana, pandangan mengenai bahasa Arab juga berbeda. Saya perhatikan umat Islam di Indonesia memandang bahasa (dan huruf) Arab adalah bagian dari identitas “bahasa Islam” dan identitas keislaman yang suci dan sakral karena dikaitkan dengan status ke-Arab-an Al-Qur’an. Ada kecenderungan masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa membedakan mana “bahasa Arab” dan “bahasa Al-Qur’an”. Bukan hanya itu, bahasa Arab juga dikaitkan dengan tingkat kesalehan, religiusitas, atau keislamian individu. Maka jika ada umat Islam yang banyak mengekspresikan dengan bahasa Arab mereka dianggap lebih saleh, religius, dan islami.
Lantaran menganggap bahasa/huruf Arab bagian dari simbol dan identitas keislaman, mereka menganggap pelecehan atau penghinaan terhadap Islam jika huruf (dan bahasa) Arab digunakan sebagai tulisan di tempat-tempat yang dianggap tidak pantas atau jika ada kitab-kitab non-muslim (misalnya Injil) yang menggunakan bahasa/huruf Arab. Mereka juga berpandangan non-muslim tidak boleh mengucapkan kalimat-kalimat bahasa Arab tertentu (misalnya mengucapkan salam, melafalkan kata Allah, pujian-pujian, takbir, dan sebagainya) karena menganggap semua itu bagian dari identitas keislaman.
Di Timteng beda. Bahasa Arab adalah bahasa lingua franca yang dipakai sebagai medium komunikasi oleh berbagai kelompok etnis dan agama. Karena itu gereja-gereja Arab Timteng juga menggunakan bahasa Arab dalam pelayanan ibadah, khutbah, konseling, dan sebagainya. Non-muslim Arab juga biasa mengucapkan salam, takbir, tasbih, tahmid, dan lain-lain dalam bahasa Arab karena memang itu bahasa mereka. Karena Arab adalah bahasa mereka, Injil pun ditulis dengan huruf Arab. Bahkan kitab-kitab Yahudi juga ada yang ditulis dengan huruf/bahasa Arab, selain Ibrani tentunya.
Menyikapi semua itu, umat Islam Arab Timteng sama sekali tidak menganggap sebagai pelecehan atau penodaan ajaran Islam karena mereka tahu kalau bahasa Arab adalah bahasa “lintas agama”. Pula, mereka sama sekali tidak mengaitkan bahasa Arab dengan tingkat kesalehan, religiusitas, dan keislamian seorang muslim/muslimah.
Produk Budaya
Saya sendiri berpendapat busana dan bahasa adalah produk budaya yang tidak ada hubungannya dengan ajaran agama dan tingkat kesalehan seseorang. Karena itu umat Islam – baik laki maupun perempuan – bebas mengenakan jenis busana apa saja di ruang publik asal sesuai dengan norma kepantasan masyarakat setempat. Kesalehan, religiusitas, dan keislamian seseorang bukan ditentukan oleh jenis busana apa yang dipakai, penggunaan bahasa Arab, atau rutinitas ibadah melainkan oleh moralitas, perilaku individu, serta komitmen mereka terhadap persoalan sosial-kemanusiaan.
Keterangan: artikel ini semula diterbitkan di Kompas pada tanggal 5 September 2022.
Sugeng enjang prof, moga sehat slalu.
Saya agak gelisah di Indonesia pemakaian busana dan bahasa ditukar-tukar disejajarkan keimanan seseorang. Namun dlm berperilaku sama sekali tidak nyambung blas dgn baju serta bahasa yg ke Arab² an.
Setahu saya trend baju & bahasa Arab² an ini sejak tahun 80 an, setelah revolusi Iran th 1979. Sampai kapan perilaku ke Arab² an ini berubah menjadi masyarakat & negara modern.
Mhn penjelasannya
Tulisan yg bagus & menambah wawasan 👏👏👏
Sy sendiri berhijab dlm rangka ikhtiar ibadah, krn ada tuntunannya dlm Al Qur’an, namun sebetulnya setiap ayat hrs dilihat ashbabul nuzul (sebab2 turunnya ayat), jd jika ada yg mengganggap sbg bukan orang Arab tdk usah berhijab, sy hargai pendapat tsb.
Alhamdulillah sy belajar utk tdk melihat seseorang se-mata2 dr “casing” nya, tp dr akhlak, moral secara universal & seberapa besar dia bermanfaat utk masyarakat.
Pembahasan yg bagus dan logis…
Tulisan yang mencerahkan…
Semoga makin membuka wawasan sebagian masyarakat Indonesia yang selama ini selalu mangidentikkan pakaian dan bahasa dengan agama..khususnya agama islam.
Setuju sekali dgn penjelasan2 tersebut. Masyarakat Indonesia memang pengikut aliran ultra- ultrakonservatifisme !! Oleh karena itu harus ada gerakan2 intens yng selalu mengingatkan kembali pada budaya sendiri, budaya Indonesia..
Mantap, lanjutkan