Kritik yang sering dilontarkan oleh kelompok “Jokowiphobia” adalah bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu anti-ulama. Alasan utama yang mereka gunakan untuk mengklaim, menyuarakan, mengkampanyekan atau tepatnya mempropagandakan kalau Jokowi itu pemimpin anti-ulama adalah, antara lain, adanya penangkapan atau pemrosesan hukum sejumlah tokoh Muslim yang terlibat atau menjadi “penggerak utama” aksi massal 212, khususnya tentu saja Rizieq Shihab yang kini ngumpet di Arab Saudi (kini sebagian kasus yang menimpa Rizieq di SP3-kan).

Mereka ditangkap atau diproses secara hukum bukan lantaran menjadi otak aksi 212 yang berjilid-jilid itu tetapi lebih karena yang bersangkutan diduga terlibat berbagai isu dan skandal (seks, penipuan, korupsi, manipulasi), makar atau pendongkelan kekuasaan, ujaran kebencian, atau keterkaitan dengan jaringan terorisme internasional. Slogan “kriminalisasi ulama” yang sering mereka lontarkan antara lain ditujukan untuk Jokowi (selain polisi), yang menurut mereka, telah “mengkriminalkan” ulama (maksudnya Rizieq dkk).   

Tentu saja publik yang waras akan menganggap klaim atau propaganda mereka itu omong kosong belaka. Masyarakat yang berakal sehat sudah mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan sejatinya hanyalah “bualan” saja. Tidak lebih, tidak kurang. Tetapi bagi “212 mania” (khususnya kelompok “Jokowi hater” dan “Rizieq lover”), mereka percaya kalau Jokowi itu adalah pemimpin anti-ulama yang telah melakukan kriminalisasi atas ulama.

Padahal, sebenarnya tidak demikian. Jokowi adalah sosok pemimpin yang pro-ulama dan sangat menghormati mereka. Sependek yang saya tahu, Jokowi sangat dekat dengan berbagai kelompok ulama dan tokoh agama.

Jokowi bukan sosok seperti Amangkurat I, putra Sultan Agung, dari Kerajaan Mataram, seorang raja diktator yang bengal dan bengis yang pernah membantai dan membolduzer ribuan ulama karena dianggap membangkang terhadap kekuasaan. Ia juga tidak seperti mendiang Suharto yang pernah antipati terhadap kelompok ulama, khususnya dari kalangan NU, yang bersikap kritis terhadap rezim Orde Baru. 

***

Sebelum saya jelaskan lebih lanjut kedekatan Jokowi dengan para ulama dan kenapa klaim “kriminalisasi” ulama yang dilontarkan oleh kelompok anti-Jokowi itu tidak lebih hanya sebagai ungkapan kosong tak bermakna, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu secara singkat kata “ulama” dalam perspektif historis-sosiologis dan bagaimana masyarakat Timur Tengah kini memaknai kata “ulama”.

Secara historis-sosiologis, kata “ulama” (tunggal: “alim”) ini sebetulnya merujuk pada “ilmuwan” yang memiliki keahlian (expertise) di bidang ilmu-ilmu tertentu: eksakta, teknik, sosial, dan sebagainya. Sebutan “ulama” itu bukan hanya untuk ilmuwan Muslim saja tetapi juga non-Muslim. Bukan hanya ilmuwan agamis saja tetapi juga ilmuwan sekuler.

Masyarakat Arab Timur Tengah kontemporer, termasuk murid-murid Saudiku, juga memahami dan memaknai kata “ulama” dalam spektrum yang lebih luas, bukan hanya Muslim yang memiliki spesialisasi di bidang keilmuan keislaman (studi Islam) seperti laiknya dipahami di Indonesia.

Dalam konteks ini maka ungkapan “kriminalisasi ulama” itu sebetulnya sangat rancu, lemah secara konseptual, dan karena itu bisa diperdebatkan atau dipertanyakan lebih lanjut.

Pertama, istilah “kriminalisasi” atau “pengkriminalan” itu mengandaikan bahwa yang bersangkutan tidak terlibat dalam tindakan kriminalitas atau kejahatan yang bisa dijerat secara hukum. Padahal, sejumlah nama yang ditangkap atau dilaporkan ke pihak kepolisian itu jelas-jelas diduga telah melakukan sejumlah kejahatan atau pelanggaran hukum yang bisa dikenai sanksi pidana.

Kedua, apakah betul sejumlah nama yang ditangkap atau dijerat hukum, termasuk Rizieq Shihab, itu memenuhi kualifikasi sebagai seorang “ulama” atau ilmuwan menurut standar resmi keulamaan seperti saya jelaskan diatas?

Ketiga, dalam konteks negara hukum seperti di Indonesia, siapapun bisa dijerat oleh hukum, tak terkecuali ulama atau bahkan presiden dan para penegak hukum sekalipun. Di negara ini, tidak ada yang kebal oleh hukum. Ungkapan “kriminalisasi ulama” mengandaikan kalau ulama itu sosok yang tidak boleh terjerat oleh hukum.

***

Jika mengikuti definisi resmi, penjelasan sosiologi-historis, serta alur argumen dan pengertian masyarakat Arab Timur Tengah tentang “ulama” tersebut, maka Jokowi jelas-jelas sosok presiden yang sangat pro, bukan anti-ulama. Ia bukan hanya dekat dengan spesialis studi agama, para ahli dari kalangan non-Muslim, dan ilmuwan sekuler saja tetapi juga para tokoh Muslim, kaum sufi, pengikut tarekat, kiai tradisional, klerik moderat, sarjana agama, akademisi kampus, dan sebagainya. Hal itu tercermin dari team work dan komposisi orang-orang dan para ahli di pemerintahannya yang sangat warna-warni.   

Dilibatkannya para alim-ulama, akademisi-cendekiawan, dan tokoh Muslim senior dalam struktur pemerintahannya (baik dari faksi NU, Muhammadiyah dan lainnya) seperti Ma’ruf Amin, Said Aqiel Sirodj, Ahmad Syafii Ma’arif, Din Syamsuddin, Mahfud MD, dlsb menunjukkan kedekatannya dengan para ulama, cendekiawan, dan tokoh Muslim. Jokowi juga dikenal dekat dan sangat respek dengan para kiai kharismatik NU seperti Kiai Maimun Zubair, Habib Luthfi bin Yahya, Kiai Mustafa Bisri, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu di kolom singkat ini. Ia tampak sering sowan atau mengunjungi berbagai kelompok ulama, klerik, dan kiai sepuh di seluruh pelosok Indonesia.  

Bukan hanya ulama dalam negeri saja, Jokowi juga membangun persahabatan dengan berbagai kalangan ulama dari Luar Negeri, khususnya Timur Tengah, seperti Syaikh Ahmad Muhammad al-Tayeb (Imam Besar Al-Azhar, Mesir) dan Syaikh Abdul Rahman bin Abdul Aziz al-Sudais (Imam Besar Masjid al-Haram, Makah). Presiden Jokowi juga beberapa kali mengorganisir pertemuan dengan berbagai kelompok ulama di dalam dan luar negeri dari berbagai ormas Islam, untuk dimintai pertimbangan dan perspektif tentang membangun keislaman moderat (wasathiyah) dan berkarakter Indonesia.

***

Apa yang dipropagandakan oleh pembenci Jokowi bahwa ia adalah seorang presiden yang anti-ulama yang suka “mengkriminalkan” mereka sama sekali tidak benar, tidak valid, dan tidak akurat, jauh dari fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Ungkapan “kriminalisasi ulama” itu hanya omong kosong belaka untuk mengelabui dan menipu masyarakat awam yang bertujuan untuk menggiring opini dan sentimen kebencian publik terhadap Presiden Jokowi. Targetnya tentu saja agar publik Muslim kelak tidak memilih Jokowi yang mereka nilai anti atau pembenci ulama. Bau politik di balik kampanye “Jokowi anti-ulama” itu sangat kental dan menyengat.      

Menciptakan citra negatif atas Jokowi adalah bagian dari strategi, taktik, dan kampanye hitam yang mereka lakukan guna mendulang suara dan dukungan sebagian masyarakat, khususnya masyarakat yang kuper, miskin wawasan, Muslim fanatik buta, dan antipati terhadap Jokowi. Cara-cara kotor dan fitnah itu mereka tempuh karena memang mereka tidak memiliki celah untuk mengkritik kepemimpinan Jokowi. Mereka dengan brutal melakukan propaganda hitam itu juga lantaran selama kepemimpinan Jokowi, mereka tidak mendapatkan jatah kue kekuasaan, disamping kekhawatiran hilangnya pengaruh kaum Islamis dan kelompok Islam radikal di masyarakat.

Masyarakat yang cerdas tentu saja tidak akan mudah terpengaruh oleh propaganda murahan seperti ini. Demikian pula, masyarakat yang berpikiran dewasa akan dengan mudah menilai hubungan baik Presiden Jokowi sebagai representasi umaro atau pemimpin politik dengan para “pemimpin agama”, apapun namanya: ulama, kiai, ajengan, tuan guru, dan lainnya.

Hanya orang-orang yang hatinya penuh dengan kedengkian, kebencian, dan keangkaramurkaan saja yang menganggap Presiden Jokowi sebagai sosok pemimpin yang anti terhadap ulama. Dipilihnya Kiai Ma’ruf Amin sebagai cawapres-nya untuk Pilpres 2019 nanti juga menunjukkan bukti untuk kesekian kalinya bahwa Presiden Jokowi bukan sosok yang antipati terhadap ulama. Semoga bermanfaat. [SQ]

Artikulli paraprakPerempuan-Perempuan Perkasa dalam Sejarah Islam
Artikulli tjetërRespons Masyarakat Papua terhadap Presiden Jokowi
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini