Belum lama ini saya mengadakan “lawatan diskusi” ke Papua, tepatnya di kota Abepura dan Jayapura. Diskusi yang diinisiasi oleh STFT I.S. Kijne dan Sinode GKI (Gereja Kristen Injili) di Tanah Papua ini digelar di Universitas Cenderawasih (Uncen) dan kantor Gubernur Papua di Jayapura. Diskusi ini dihadari oleh ribuan akademisi, birokrat, aparat, mahasiswa, dan tokoh agama (Kristen, Muslim dan lainnya) dari berbagai pelosok Papua, baik yang tinggal di pesisir maupun pedalaman.   

Di sela-sela acara diskusi tersebut, saya sempatkan untuk berbincang-bincang dengan berbagai kalangan dan lapisan masyarakat tentang perkembangan Papua, khususnya sejak beberapa tahun terakhir ini serta pandangan mereka terhadap sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menariknya, hampir semua tokoh masyarakat dan warga Papua yang saya temui dan ajak ngobrol, menyatakan atau mengekspresikan rasa hormat dan salutnya terhadap Presiden Jokowi.

Menurut mereka, ada dua Presiden Republik Indonesia yang dihormati oleh–dan menjadi “pujaan hati”–rakyat Papua, yaitu Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid (Presiden RI ke-4) dan Jokowi (Presiden RI ke-7). Tokoh-tokoh Kristen Papua lainnya seperti Pdt. Dr. Sientje Latuputty dan Pdt. Dr. Sostenes Sumihe juga mengakui hal yang sama.

Menurut Ketua Sinode GKI Tanah Papua, Pdt. Andrikus Mofu, Gus Dur dihormati karena sikapnya yang toleran-pluralis terhadap aneka ragam agama dan budaya lokal Papua, selain komitmennya terhadap hak-hak azasi manusia juga lantaran kedekatannya dengan berbagai tokoh agama dan adat setempat. Sedangkan Jokowi dinilai sukses menggaet hati rakyat Papua karena sejumlah hal mendasar berikut ini.

***

Pertama, Jokowi dinilai sebagai sosok Presiden RI yang paling sering mengunjungi Papua dan menyapa berbagai lapisan masyarakat disana. Tidak seperti presiden-presiden sebelumnya, Jokowi memang yang paling sering berkunjung ke Tanah Papua, bukan hanya di kota-kota besar saja seperti umumnya para pressiden sebelumnya tetapi juga ke pelosok-pelosok daerah dan pedalaman (pegunungan) yang sulit dijangkau oleh transportasi publik. Menurut sejumlah orang Papua, presiden Indonesia pada umumnya bernyali “pecek” alias penakut. Ini berbeda dengan Jokowi yang dianggap pemberani menembus belantara Tanah Papua.     

Kedua, Jokowi dianggap sebagai sosok yang merakyat, humanis, dan memiliki kepekaan sosial-kemanusiaan tinggi. Mereka menilai Jokowi sebagai tokoh yang “tidak jaim” dengan rakyat kecil dan rela membaur dan menyatu dengan masyarakat suku di pedalaman tanpa rasa was-was dan curiga. Mereka sangat mengapresiasi terhadap sikap humanis dan merakyat Jokowi saat mengunjungi pelosok-pelosok Papua.

Ketiga, Jokowi dianggap sebagai “the real Presiden Indonesia”, bukan “Presiden Jawa” saja seperti sebelum-sebelumnya. Perhatian Jokowi untuk memajukan daerah-daerah terpencil diluar Jawa di seluruh pelosok Indonesia, membuat ia menjelma menjadi Presiden Indonesia sejati. Berbeda dengan Jokowi, presiden-presiden sebelumya dianggap sebagai Presiden RI hanya dalam tataran “de jure” saja. Sementara de facto-nya adalah “Presiden Jawa”, karena kurang memberi perhatian luas dan serius terhadap pembangunan wilayah dan perkembangan masyarakat diluar Jawa.

Keempat, Jokowi dinilai sukses membangun Papua. Menurut mereka banyak sekali bantuan dan pembangunan infrastruktur dan lainnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua yang sudah dan sedang dilakukan oleh Jokowi. Di antara mega proyek yang dilakukan oleh Jokowi adalah pembangunan jalan raya “TransPapua” yang menghubungkan berbagai daerah dan kabupaten terpencil di Papua (Manukwari, Nabire, Wamena, Timika, dlsb) yang menembus belantara hutan, bukit dan gunung.

Proyek pembangunan lain yang tak kalah dahsyatnya yang dilakukan oleh Jokowi adalah pembangunan bandara di berbagai daerah pedalaman / pegunungan sehingga memudahkan akses ke berbagai wilayah terpencil. “Bandara Wamena sekarang sudah bagus sekali. Terima kasih Pak Jokowi,” kata seorang pendeta Wamena yang kebetulan mengikuti acara seminarku. Selama ini, wilayah-wilayah pedalaman atau pegunungan di Papua sama sekali tidak terjangkau karena minimnya sarana transportasi publik. Maka, dengan pembangunan jalan raya dan bandara, memudahkan mobilitas penduduk lokal yang tinggal di daerah-daerah terpencil.

Bukan hanya membangun sarana dan prasarana publik di wilayah pegunungan dan pedalaman saja, Jokowi juga membangun fasilitas publik di wilayah pantai dan pesisiran. Pembagunan pelabuhan dan juga jembatan yang menghubungkan dari pulau ke pulau (seperti “Jembatan Merah” atau Jembatan Holtekamp, sebuah jembatan sepanjang 112,50 meter yang menghubungkan Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom hingga ke wilayah perbatasan Papua Nugini) menjadi salah satu prioritas yang dilakukan oleh Jokowi. Jembatan Holtekamp ini menjadi salah satu ikon kebanggaan dan destinasi turisme masyarakat Papua. Dari jembatan ini, pengunjung bisa menikmati indahnya Pulau Youtefa.

Pula, Jokowi juga memprioritaskan pembangunan ketenagalistrikan di seluruh kawasan Papua yang dipusatkan di beberapa daerah utama seperti Jayapura, Raja Ampat, Sorong, Manukwari, Biak, Fakfak, Kaimana, Bintuni, Nabire, Serui, Timika, Merauke, dlsb). Hingga  2019, pemerintah merencanakan pembangunan tenaga listrik dengan total kapasitas 514 megawatt, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat, yang sebagian besar sudah terlaksana sejak 2017 lalu. Pembangunan ketenagalistrikan di Papua ini bagian dari slogan “Energi Berkeadilan” yang diusung oleh Kementerian ESDM di bawah Ignasius Jonan. Dengan terpenuhinya pasokan energi listrik diharapkan ekonomi Papua bisa tumbuh dan dengan demikian kesejahteraan bisa terwujud.

Pembangunan pasar (seperti pasar mama-mama Papua di Jayapura yang sangat megah) juga tidak luput dari perhatian Presiden Jokowi mengingat pasar adalah salah satu tempat utama aktivitas ekonomi dan sirkulasi keuangan warga yang strategis.

Masyarakat Papua juga merasakan murahnya harga-harga bahan bakar minyak (BBM) seperti premium (kini 6,450 per liter) dan solar (kini 5,150 per liter) atau bahan bangunan seperti semen yang tidak jauh berbeda dengan kawasan lain di Indonesia. Sebelumnya, harga BBM di Papua konon berkisar antara 40,000 dan 100,000 per liter. Rendahnya harga BBM tersebut, yang kurang lebih sama dengan di Jawa, terjadi terutama sejak Pertamina memperbaiki sistem distribusi BBM tahun 2016.

Yang tidak kalah pentingnya adalah pembangunan di sektor pendidikan yang merupakan salah satu masalah serius di Papua karena Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masyarakat setempat yang sangat rendah, di banding dengan kawasan lain di Indonesia. Rendahnya IPM antara lain disebabkan karena keterbatasan kuantitas dan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan serta persoalan penduduk yang masih tersebar dalam kelompok-kelompok kecil berbasis suku atau klan.

Sektor pendidikan mendapat jatah sekurang-kurangnya 30% dari total dana otonomi khusus yang dialokasikan ke Papua, yaitu sekitar 67 triliun (tahun 2017). Pemerintah dengan serius mengoptimalkan pemanfaatan dana otonomi khusus ini untuk menggenjot peningkatan kualitas di sektor pendidikan, bukan hanya pembangunan sarana dan prasarana pendidikan saja tetapi juga menyediakan berbagai bentuk beasiswa pendidikan untuk warga Papua.  

***

Sejumlah akademisi Papua menilai, seriusnya Presiden Jokowi dalam membangun Papua berdampak sangat positif, misalnya pelan tapi pasti image masyarakat Papua terhadap Indonesia mulai berubah dari buruk ke baik, dari negatif ke positif, dari pesimis ke optimis, dan seterusnya. Keseriusan pembangunan di Papua juga dinilai mampu mengurangi ruang-gerak dan membatasi pengaruh gerakan Papua merdeka yang masih bergema di berbagai tempat.

Meskipun perhatian Jokowi terhadap Papua sudah cukup maksimal dan pembangunan di Tanah Papua di era kepemimpinannya juga sudah berlangsung sangat baik, tetapi bukan berarti “masalah Papua” sudah selesai. “Pekerjaan Rumah” untuk Papua masih sangat besar dan membentang lebar.

Di antara PR berat pemerintah pusat adalah meningkatkan citra dan reputasi Indonesia di mata Papua serta mengikis pengaruh gerakan Papua merdeka. Tidak bisa dipungkiri, antusiasme masyarakat Papua untuk merdeka dan pisah dari NKRI masih cukup tinggi dan menggebu-gebu, terutama di kalangan elit dan menengah, akibat selama berpuluh-puluh tahun, terutama di era rezim Suharto, Papua hanya dijadikan sebagai “obyek” belaka yang diperas kekayaannya dan ditindas rakyatnya.

Konflik “masyarakat pantai” (pesisir) dan “masyarakat gunung” (pedalaman) juga sangat tinggi. Masyarakat gunung yang tinggal di pedalaman mengklaim sebagai “penduduk asli” Papua, sementara “masyarakat pantai” dinilai kurang asli dan kurang otentik karena memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda dengan “orang gunung” (suku-suku yang tinggal di kawasan pedalaman pegunungan).

Demikian pula, konflik dan ketegangan juga cukup tinggi antara “masyarakat lokal” (“pribumi” atau settler) dan pendatang (kaum migran, terutama orang-orang Buton, Bugis dan Makassar tapi juga Jawa). Jika konflik “orang gunung” dan “orang pantai” biasanya terjadi di dunia birokrasi pemerintahan atau sektor pendidikan, maka konflik antara “kaum settler” (baik yang dari pantai maupun gunung) dan “kaum migran” ini terjadi terutama di sektor perekonomian dan perdagangan.   

Konflik-konflik di atas harus diperhatikan dengan serius dan seksama serta ditangani dengan pendekatan yang bijak, cermat, akurat, dan komprehensif agar Papua yang selama ini dikenal sebagai “surga kecil” itu di kemudian hari tidak berubah menjadi “neraka kecil” dan malapetaka bagi masyarakat Papua. Ambon telah menjadi saksi sejarah yang patut direnungkan bersama. Karena kelengahan mengatasi sumber-sumber konflik di masyarakat, “Ambon Manise” itu kemudian berubah menjadi “Ambon Pahite” yang sangat memilukan dalam sejarah hubungan sosial-kemanusiaan di Indonesia.

Saya tentu saja berharap Papua akan terus menjadi “surga kecil” yang indah dengan aneka ragam budaya, adat-istiadat, agama, dan kekayaan biodiversity-nya. Karena itu, pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk turut serta merawat keindahan dan keharmonisan Tanah Papua. Presiden Jokowi sudah melakukan dan mencontohkan dengan baik yang idealnya dan seharusnya ditiru dan dicontoh oleh para bawahannya, baik yang di Jakarta lebih-lebih yang di Papua. Semoga bermanfaat.     [SQ]

Artikulli paraprakJokowi itu Pro, Bukan Anti-Ulama
Artikulli tjetërSyiah, Sunni Ekstrim, dan “Islam Pentungan”
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini