Pada akhir abad ke-19, Robert Bayles, Presiden Market and Fulton National Bank di kota New York, Amerika Serikat, menelusuri catatan-catatan serta peninggalan-peninggalan sejarah leluhurnya. Ia mengaku terkejut ketika menemukan sejumlah “pusaka keluarga” (heirloom) yang diduga milik Anthony Jansen van Salee yang juga populer dengan panggilan Anthony Jansen van Vaes atau Anthony “the Turk.” Pusaka keluarga milik Robert Bayles tersebut termasuk sebuah panci perunggu, teko teh, dan sebuah Alqur’an. Bayles tahu bahwa istilah “Turk” (“orang/bangsa Turki”) pada waktu itu merupakan panggilan miring (pejoratif) untuk semua kaum Muslim darimana pun mereka berasal, apapun bangsa dan etniknya, tidak sebatas orang Turki.

Sebutan “Turk” kurang lebih sama dengan “Moor” atau “Moro” dalam bahasa Spanyol yang juga merupakan panggilan pelecehan orang-orang Kristen Eropa abad pertengahan yang ditujukan untuk seluruh kaum Muslim tidak melulu warga Muslim Moor di Maroko. Panggilan miring non-Muslim terhadap kedua suku bangsa Muslim ini bisa dimaklumi mengingat baik bangsa Moor maupun Turki pada zamannya merupakan orang-orang Muslim gagah perkasa yang tak tertandingi sehingga membuat bangsa dan pengikut agama lain miris.

Suku Moor-lah yang menaklukkan dan menguasai sejumlah wilayah kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa yang kemudian sukses mendirikan Dinasti Andalusia (kini masuk wilayah Spanyol, Portugal, Gibraltar, Andorra dan Perancis) selama beberapa abad (dari abad ke-8 sampai 15). Bangsa Turki juga, melalui kendaraan “Kerajaan Ottoman,” selama lebih dari enam abad sejak didirikan oleh Osman Bey tahun 1299 telah melanglangbuana di berbagai penjuru dunia menaklukkan berbagai negeri dan kerajaan sebelum akhirnya tumbang pada tahun 1922.  

Jadi meskipun disebut Anthony “the Turk”, bukan berarti bahwa ia berasal dari Turki tapi sekedar untuk menandai bahwa ia adalah “Muslim.” Yang menarik adalah sebutan Anthony “van Salee” atau “van Vaes” yang bisa jadi menunjukkan bahwa Anthony ini, leluhur Robert Bayles tadi, berasal dari daerah Sale atau Fez di Maroko. Menurut sejarawan Kambiz GhaneaBassiri dari Reed College, Oregon, AS, dalam bukunya The History of Islam in America, Anthony bermigrasi—dan kemudian menetap sebagai petani dan buruh—ke New Amsterdam (kini New York) sekitar tahun 1630.

New York ini dulu menjadi bagian dari jajahan atau koloni Belanda (Dutch West India Company) karena itu kota di daerah Pulau Menhattan ini dulu bernama “New Amsterdam”. Melalui sebuah perjanjian antara Belanda dan Inggris, wilayah New Amsterdam kemudian diserahkan ke Inggris sekitar tahun 1665. Sejak itu berganti nama menjadi New York yang merupakan penghargaan terhadap bangsawan Inggris “Duke of York” (James II of England). Sebagai gantinya, Belanda mendapatkan Pulau Banda di Maluku. Jelasnya, New York ditukar dengan Banda. Belanda rela menyerahkan New York ke Inggris karena mereka tahu Banda merupakan daerah subur pusat rempah-rempah dunia, khususnya pala dan cengkih, yang bernilai jual tinggi di pasaran Eropa kala itu.   

Anthony “van Vaes” ini diduga sebagai penghuni Muslim pertama yang menetap di Amerika, meskipun ia bukan orang pertama yang melintas atau singgah di kawasan ini. Sejak penemuan Benua Amerika pada akhir abad ke-15 oleh Christopher Columbus  (1451-1506), seorang admiral dan penjelajah ulung berkebangsaan Itali yang bekerja sebagai petinggi di Kerajaan Spanyol, yang kemudian diikuti oleh kolonisasi Spanyol atas Amerika Latin, orang-orang Eropa berbondong-bondong pindah ke daerah baru ini termasuk orang-orang Afrika Utara dan Afrika Barat yang didominasi Muslim yang didatangkan ke Amerika oleh otoritas Kerajaan Spanyol dan Inggris sebagai budak dan buruh kasar.

Salah satu yang terkenal di antara mereka adalah Estevanico de Dorantes yang digambarkan dalam sejarah awal Amerika sebagai “seorang Arab berkulit hitam berasal dari Azamor, Maroko.” Estevanico ini ditengarai sebagai orang Afrika dan Muslim pertama yang mendarat di Amerika khususnya di kawasan New Mexico dan Arizona. Perlu diketahui bahwa penggunaan “nama-nama Eropa” seperti “Anthony” dan “Estevanico” dan bukan “nama-nama Islam” atau nama-nama Arab hanyalah “strategi budaya” semata-mata demi alasan keamanan saja guna menghindari stigma negatif sebagai Muslim di tengah masyarakat non-Muslim. 

Meski ada banyak praduga mengenai orang-orang Islam pertama yang singgah di Amerika, data dan teori yang absah mengenai generasi Muslim awal Amerika ini masih simpang siur. Berikut ini penuturan mendiang Caesar E. Farah, mantan sejarawan Islam dari Universitas Minnesota,

“Cerita tentang asal-usul Islam di Amerika terjadi jauh sebelum kolonisasi Eropa di benua ini. Sebagian mengatakan bahwa orang-orang Muslim Andalusia telah menjelajah ke Amerika jauh sebelum Christopher Columbus seperti dilaporkan oleh ahli geografi Muslim, Al Idrisi (1099-1165). Sumber lain mengklaim bahwa orang-orang Muslim dari Afrika Barat telah mendarat di kawasan Karebian. Sumber lain lagi menyebutkan bahwa expedisi laut ke Amerika yang dilakukan oleh Kerajaan Spanyol dan Portugis sebetulnya dipimpin oleh para perwira dan ahli navigasi Muslim yang sudah lama menguasai dunia laut dan sistem navigasi. Sejumlah penjelajah ini dikenal dengan sebutan Moriscos, orang-orang Muslim dari Andalusia yang berpura-pura menjadi Kristen. Para imigran Muslim dari Maroko juga pernah dikabarkan memimpin penyerangan melawan tentara laut Portugis dan Spanyol di pulau Karibean, Amerika.”

***

Meski dipastikan kaum Muslim sudah mendarat di Amerika jauh sebelum Columbus melalui jaringan kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam Mamluk, Andalusia, atau Ottoman, arus migrasi kaum Muslim ke AS dalam jumlah signifikan baru terasa sejak akhir abad ke-18 terutama setelah pendirian negara AS pada tahun 1776. Sebagai penguasa baru menggantikan Inggris, Amerika membutuhkan banyak budak untuk dipekerjakan di berbagai sektor pembangunan serta pembukaan lahan baru (babat alas) di berbagai wilayah di AS yang masih belantara. Para budak itu kebanyakan didatangkan dari Afrika. Tercatat pada tahun 1800, ada sekitar 500 ribu budak dari Afrika di AS. Para sejarawan, misalnya Michael Gomez, menaksir sekitar 30% dari para budak laki-laki dan 15% budak perempuan beragama Islam. Hal ini bisa dimaklumi mengingat para budak itu didatangkan dari berbagai kawasan Afrika yang diantaranya sudah lama diislamkan oleh para penguasa Muslim, misalnya Afrika Utara dan Afrika Barat.

Migrasi kaum Muslim dari Turki dan Yaman, meski dalam jumlah terbatas, baru terjadi pada 1840 sampai berakhirnya Perang Dunia I. Tidak seperti para budak tadi, kaum “migran sukarela” Muslim ini datang ke AS semula hanya untuk mencari pekerjaan sementara dan pulang setelah mendapat uang. Tetapi karena ekonomi AS memburuk pada abad ke-19, akhirnya memaksa mereka menetap disana. Para migran Muslim ini tinggal dan menetap di berbagai daerah seperti Dearborn (Michigan), Quincy (Massachusetts), Biddeford (Maine), Ross (North Dakota), dlsb. Di daerah Ross ini terdapat situs masjid dan kuburan Muslim.    

Tidak seperti kaum migran China yang umumnya membentuk koloni di sebuah daerah yang kemudian populer dengan sebutan “China Town” atau “pecinan”, kaum Muslim di AS cenderung menyebar, bergabung, dan membaur dengan masyarakat yang sudah ada. Karena itu di AS hampir-hampir susah menemukan secara khusus “kampung Muslim” misalnya. Hal ini tentu berbeda dengan pecinan yang mudah dijumpai dimana-mana terutama di kota-kota besar seperti New York, Boston, Los Angeles, San Francisco, Philadelphia dan lain-lain. Komunitas Muslim dari China yang bermigrasi ke AS juga bergabung dengan sesama warga China, bukan sesama Muslim. Beberapa tokoh Cina Muslim yang terkenal di AS antara lain Jenderal Ma Hongkui, Ma Dunjing, Pai Shien-yung, dlsb.

Satu-satunya “daerah Muslim” yang terkenal di AS adalah Dearborn, sebuah kota di kawasan metropolitan Detroit di Negara Bagian Michigan yang berpenduduk kurang lebih 100 ribu jiwa. 40% dari jumlah penduduk ini, sekitar 40 ribu, beretnik Arab-Amerika. Belakangan orang-orang Lebanon juga bermigrasi ke Dearborn sehingga membentuk “koloni Lebanon” terbesar di AS. Juga ikut bergabung ke kota ini orang-orang pengungsi Palestina dan Irak akibat dilanda perang di negara mereka. Meski mereka beretnik Arab, bukan berarti secara otomatis mereka beragama Islam. Banyak dari mereka yang beragama Kristen seperti pengikut Moronite, Ortodhox Syria, Koptik dan sebagainya.

Orang-orang Arab ini sudah datang ke AS sejak awal abad ke-20 untuk bekerja di industri otomotif. Detroit memang dikenal sebagai “kota otomotif” di AS. Di kota Dearborn inilah Henry Ford, pendiri perusahaan “Motor Ford” dilahirkan, dan markas besar Ford Motor Company yang megah dibangun. Selain bekerja di pabrik-pabrik otomotif, orang-orang Arab juga mengelola toko dan berbagai bisnis lain. Sangking banyaknya orang-orang Arab di kota ini, pelayanan publik dilakukan dalam dua bahasa: Inggris dan Arab.

Karena didukung oleh ekonomi yang baik, komunitas Muslim Arab di Dearborn ini mendirikan sejumlah bangunan megah seperti Arab American National Museum. Pengikut Shiah dari Iraq dan Lebanon juga mendirikan masjid bernama Islamic Center of America. Masjid ini merupakan masjid terbesar sekaligus masjid Shiah tertua di Amerika. Selain dikenal sebagai “kota Muslim”, Dearborn juga populer dengan sebutan “jantung Shiah” di Amerika mengingat banyaknya komunitas agama ini yang tinggal disana. Mesjid yang diarsiteki oleh David Donnellon ini dibangun tahun 1963 oleh Muhammad Jawad Chirri yang kemudian menjadi direktur dan imam masjid sampai ia wafat tahun 1994. Setelah ia meninggal, masjid megah ini kemudian dipimpin oleh imam Shiah dari Iraq bernama Sayed Hassan al-Qazwini. Perlu diketahui, banyak masjid di AS menggunakan nama “Islamic Center” bukan “masjid” (mosque) meskipun ada juga yang menggunakan nama “mosque” atau “masjid.”

Bagi kebanyakan kaum Muslim di AS, nama “Islamic Center” dipandang lebih aman untuk digunakan ketimbang nama “masjid” yang bisa mengundang kontroversi terutama bagi non-Muslim yang anti-Islam. Pada tahun 2011, masjid Shiah ini pernah menjadi target kekerasan seorang warga Kalifornia, Roger Stockham, yang akhirnya ditangkap polisi karena hendak meledakkan bangunan ini. Ciri lain dari masjid-masjid di AS adalah “bernuansa etnis.” Kebanyakan yang mendirikan masjid di AS adalah komunitas etnis tertentu yang sudah lama menetap di AS. Karena itu masjid-masjid di AS dikenal dengan sebutan-sebutan “masjid Arab,” “masjid Pakistan”, “masjid Turki”, “masjid Kurdi” (didirikan oleh warga suku Kurdi yang tersebar di Iraq, Yordania atau Turki) dan seterusnya. Komunitas Muslim Indonesia juga mendirikan masjid di Philadelphia (populer dengan sebutan Masjid Al-Falah). Kini warga Muslim Indonesia sedang menggalang dana untuk mendirikan masjid baru di Pittsburg, Pennsylvania. 

Selain masjid Shiah diatas, juga terdapat masjid Sunni di Dearborn bernama “Dearborn Masjid”, yang merupakan salah satu masjid tertua di AS. Masjid ini dibangun tahun 1937 oleh para pengikut Sunni Arab. Masjid yang kini dipimpin oleh Sheikh Hamood Affif yang bermazhab Syafii ini mencatat sejarah unik di AS. Pada tahun 1980-an, pengadilan setempat memperbolehkan pihak masjid untuk menggunakan pengeras suara (loudspeaker) pada waktu azan, membatalkan gugatan sejumlah warga yang keberatan. Pengadilan berpendapat bahwa penggunaan pengeras suara ini seperti penggunaan bel di gereja karena itu diperbolehkan. Sejak itu masjid ini mencatat rekor sebagai masjid pertama—dan mungkin satu-satunya masjid di AS—yang menggunakan pengeras suara hingga suara azan terdengar keluar masjid seperti umumnya di Indonesia dan negara-negara mayoritas Muslim lain. Kebanyakan masjid di AS, seperti gereja dan bangunan ibadah lain, tidak menggunakan pengeras suara yang bisa terdengar sampai keluar masjid. Semua bangunan ibadah di AS didesain kedap suara sehinggap hanya terdengar dari dalam ruangan saja.

Menurut data yang dirilis oleh U.S. Mosque Study Project, pada tahun 2011 ada sekitar 2,106 masjid di seluruh AS yang disponsori oleh berbagai kelompok etnik, ormas Islam, dan lembaga riset. Negara Bagian di AS dengan bangunan masjid terbanyak adalah New York, California, Texas, Florida, dan New Jersey. Tidak selamanya pendirian masjid di AS berjalan mulus. Berdasarkan studi yang dilakukan Pew Research Center, setidaknya ada sekitar 53 masjid yang proses pendiriannya mengalami kesulitan akibat protes dari warga sekitar lokasi masjid yang akan didirikan. Kebanyakan protes itu berkaitan dengan masalah parkir, nilai properti, trafik, kebisingan dan lain-lain meski ada di beberapa daerah yang protes pendirian masjid karena alasan kekhawatiran tentang pengaruh Islam dan terorisme. Protes sebagian warga juga dilakukan terhadap proses pendirian gereja, sinagog, dan tempat-tempat ibadah lain dengan alasan mengganggu kenyamanan dan ketertiban. Tidak seperti di Indonesia dimana sejumlah kelompok “Muslim pentungan” sering ngamuk terhadap pendirian sejumlah gereja tertentu, protes warga di AS dilakukan lewat pengadilan. Jika pengadilan memenangkan gugatan warga yang protes, maka pendirian masjid dibatalkan. Tetapi jika gugatan warga di pengadilan kalah, maka pendirian masjid terus berlanjut.

Pada umumnya masjid-masjid di AS dibangun sejak 1960-an. Sebelum itu, hanya segelintir masjid saja yang berhasil dibangun. Tercatat masjid tertua di AS dibangun pada tahun 1915 di daerah Biddeford, Maine, oleh komunitas Muslim dari Albania. Kemudian diikuti oleh Masjid Al-Sadiq yang didirikan oleh komunitas Ahmadiyah tahun 1921, lalu “Masjid Dearborn” milik Sunni seperti dituturkan di atas. Meski bangunan fisik masjid baru ada sejak 1915, sejumlah masyarakat Islam sudah mendirikan ormas dan sekolah sebelum itu. Tercatat pada tahun 1906, kaum Muslim Bosnia di Chicago, Illinois, misalnya, sudah mendirikan sebuah perkumpulan bernama “Jama’ah al-Khairiyah”. Di bawah bimbingan Sheikh Kamil Avdich, mereka menggelar “Sekolah Minggu” (sekolah yang dilakukan setiap hari Minggu) untuk mengajarkan pelajaran keislaman dan Al-Qur’an.  

Tidak seperti di Indonesia pada umumnya, masjid-masjid di AS tidak hanya berfungsi untuk salat saja tetapi juga untuk sekolah, rapat, makan-makan dan berbagai aktivitas lain. Karena itu masjid-masjid di AS dilengkapi dengan berbagai ruangan, sarana, dan fasilitas publik. Ini membuat masjid-masjid di AS sangat dinamis karena padat dengan aktivitas. Para pengurus masjid kebanyakan berpendidikan tinggi bergelar doktor dan banyak yang menjadi profesor di kampus. Menghadapi jamaah yang kebanyakan dari kelas terdidik mengharuskan para takmir dan pengelola masjid juga harus berasal dari orang-orang yang berpendidikan, tidak melulu sekolah agama.

Sering setiap salat Jum’at ada sejumlah orang non-Muslim AS yang mengikuti prosesi Jum’atan sejak khotbah sampai salat. Biasanya mereka yang ikut berpartisipai dalam Jum’atan itu sedang melakukan penelitian tentang kaum Muslim, tugas dari lembaga-lembaga interfaith kampus untuk menjalin hubungan dengan warga Muslim, atau bahkan ingin “mengalami keberislaman” atau melihat dari dekat aktivitas kaum Muslim. Para pengurus masjid selalu terbuka dengan “para pengamat” dan peneliti non-Muslim ini. Seorang takmir masjid keturunan India di South Bend, Indiana, menuturkan kepada saya bahwa tidak sedikit warga AS yang semula jadi “pengamat salat Jum’at” ini kemudian menjadi mualaf. “Alhamdulillah,” katanya penuh bangga. Saya hanya manggut-manggut saja mendengarkan penuturannya.   

***

Salah satu gerakan yang membuat Islam populer dan mencuri perhatian luas publik AS adalah gerakan nasionalis-keagamaan yang diprakarsai oleh kaum Muslim keturunan Afrika-Amerika (dikenal dengan sebutan Black Muslim). Kelompok Black Muslim ini merupakan mayoritas dari total warga Muslim di AS, kemudian disusul oleh warga keturunan Arab dan Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Afghanistan). Sejak awal abad ke-20 kelompok Black Muslim ini sudah sangat aktif melakukan berbagai “perlawanan budaya” terhadap supremasi kulit putih. Pada tahun 1913 misalnya, Noble Drew Ali mendirikan sebuah grup atau ormas bernama Moorish Science Temple of America yang berbasis pada ajaran-ajaran Islam dan “tradisi Afrika.” Drew Ali mengatakan bahwa orang-orang Afrika di AS pada mulanya adalah keturunan Bangsa Moor yang beragama Islam. Tetapi identitas keislaman mereka “dibajak” oleh orang-orang kulit putih melalui sistem perbudakan dan segregasi ras. Oleh karena itu, melalui ormas ini, ia mengajak orang-orang Afrika di Amerika untuk “kembali ke jalan yang benar” dengan kembali menjadi Islam yang beridentitas Moor.

Ormas Islam paling besar, paling populer sekaligus paling kontroversial di AS yang diprakarsai warga Muslim Afrika-Amerika adalah Nation of Islam (NOI). Ormas ini dibentuk tahun 1930 oleh Wallace Fard Muhammad (lahir 1893) yang oleh sejumlah pengikut fanatiknya dianggap sebagai “nabi.” Diinspirasi oleh ajaran-ajaran Noble Drew Ali, Fard Muhammad kemudian mengajarkan tentang “suprimasi kulit hitam” (warga keturunan Afrika). Ia juga memberi label warga kulit putih (warga Amerika keturunan Eropa) sebagai “si jahat” yang tidak manusiawi karena telah memperbudak dan tidak memanusiakan warga kulit hitam. Selanjutnya Wallace Fard merumuskan tiga prinsip utama yang menjadi fondasi NOI yaitu (1) Allah sebagai Tuhan, (2) kulit putih sebagai sumber kejahatan, dan 3) orang-orang Negro adalah ras paling unggul di planet bumi.

Popularitas NOI mulai melambung sejak ormas ini dipimpin oleh Elijah Muhammad (1897-1975) tahun 1934. Elijah Muhammad yang merupakan mentor dari sejumlah tokoh Muslim penting di AS, antara lain Malcolm X, Louis Farrakhan, Muhammad Ali, Warith Deen Mohamed dll, telah berhasil menata NOI menjadi ormas modern dan berpengaruh di AS. Elijah jugalah yang mula-mula menganggap Wallace Fard sebagai inkarnasi Tuhan, Mesiah, Imam Mahdi serta dan rasul yang dibimbing langsung oleh Allah untuk bangsa Amerika. Elijah juga berhasil memprakarsai sejumlah masjid yang diberi nama “temple”, universitas (Muhammad University of Islam), sejumlah perusahaan di bidang pertanian dan real estate dlsb.

Meski mendapat sorotan dan kritik tajam dari warga kulit putih—bahkan hingga sekarang radikalisme Islam di AS selalu dikaitkan dengan NOI— ajaran-ajaran NOI berhasil merebut hati banyak warga Afrika non-Muslim dari berbagai kalangan—buruh, mahasiswa, kaum profesional, dll—untuk melakukan konversi memeluk agama Islam. Pada waktu itu NOI dianggap sebagai gerakan nasionalis-keagamaan berbasis Islam-Afrika, representasi warga kulit hitam sekaligus “simbol perlawanan” terhadap kulit putih. Perlu diketahui bahwa selama bertahun-tahun praktek politik Amerika sangat diskriminatif. Meski dalam Konsitusi Amerika tidak diakui adanya sistem perbudakan dan praktek diskriminasi, realitas politik berbicara lain. Sampai pada 1960-an ketika terjadi gerakan nasional penghapusan sistem diskriminasi yang populer dengan sebutan “Civil Rights Movement” yang dipimpin Martin Luther King, Jr., politik segregasi ras-etnik, khususnya kulit putih vs. kulit hitam, sangat terasa di AS. Dimana-dimana di area, fasilitas, dan bangunan publik selalu ditandai dengan tulisan-tulisan “khusus warga kulit putih” atau “untuk kulit hitam” (“Colored”) bahkan sampai toilet sekalipun dibedakan antara “toilet kulit putih” dan “toilet kulit hitam.” Intinya warga kulit hitam Afrika tidak boleh campur dan membaur dengan warga kulit putih.

Karena dianggap sebagai keturunan budak, warga kulit hitam Afrika ini selalu dinomorsekiankan dalam kepolitikan AS selama berpuluh-puluh tahun. Karena itu tidak mengherankan jika NOI kemudian sukses menggiring warga Afrika, baik Muslim maupun non-Muslim, untuk bergabung dengan ormas ini. Selain Elijah Muhammad, tokoh yang dipandang sukses mempengaruhi ratusan ribu warga Afrika-Amerika untuk berbagung dengan NOI adalah Malcolm Little atau populer dengan sebutan Malcolm X, seorang aktivis dan orator ulung yang sering disejajarkan dengan tokoh legendaris Martin Luther King, Jr. Pidato Malcolm X yang bergemuruh dan menganggap Kristen sebagai “agama orang kulit putih” mampu menyihir ribuan warga Kristen Afrika untuk pindah menjadi Muslim. Mungkin warga Kristen Afrika di AS kala itu berpikir, apalah artinya menjadi Kristen, jika sesama warga Kristen sendiri tidak menghargainya hanya karena perbedaan warna kulit. Di kalangan Kristen sendiri, politik segregasi ras ini juga mendorong lahirnya “black liberation theology” yakni teologi pembebasan untuk orang-orang tertindas (warga kulit hitam baik di Amerika maupun Afrika Selatan di masa rezim Aparthied) yang berakar pada tradisi Biblikal. Salah satu tokoh gerakan “black theology” ini adalah James Hal Cone.

Dalam perkembangannya NOI ini mengalami berbagai perubahan gerakan. Ketika Elijah Muhammad wafat dan roda organisasi dikendalikan oleh putranya, Warith Deen Mohamed, telah terjadi perubahan mendasar menyangkut platform NOI. Ia misalnya menolak sejumlah “ajaran” ayahnya seperti tentang status kenabian dan mesiah pendiri NOI (Wallace Fard Muhammad). Warith Deen juga mengganti nama “temple” menjadi “masjid” untuk pusat-pusat ibadah pengikut NOI. Lebih lanjut, tidak seperti ayahnya yang mengafirkan Kristen dan Yahudi, Warith Deen menganggap mereka sebagai bagian dari tradisi Semit sebagaimana Islam. Mungkin karena reputasi NOI yang kurang baik sebagai “ormas Islam garis keras” di mata publik AS, ia kemudian berkali-kali mengganti nama ormas ini. Terakhir ormas ini diberi nama “American Society of Muslims”. Warith Deen juga mengtransformasi ormas ini menjadi ortodoks Sunni yang ketat dalam menjalankan salat, puasa, dan haji ke Mekah. Merasa tidak puas dengan kepemimpinan Warith Deen yang mungkin dianggap terlalu moderat, Louis Farrakhan atau Louis X pada tahun 1977 mendirikan kembali NOI yang dibangun berdasarkan pada “ajaran-ajaran radikal” Wallace Fard dan Elijah Muhammad. Hingga kini Farrakhan merupakan tokoh paling berpengaruh di NOI dan sering dicurigai sebagai otak gerakan radikalisme Islam di Amerika.   

***

Kini negeri Paman Sam menjadi rumah bagi kaum Muslim dari berbagai ragam suku-bangsa. Tidak ada data pasti tentang berapa jumlah umat Islam di AS karena sensus penduduk tidak menanyakan agama. KTP di AS juga tidak mencantumkan kolom agama. Dari berbagai riset diperkirakan jumlah umat Islam di AS berkisar antara 4-7 juta jiwa atau kurang lebih 1,5% dari total penduduk AS. Pengamat sejarah perkembangan Islam di Barat Jane I. Smith menganggap AS sebagai daerah berpenduduk Muslim paling heterogen. Dibanding dengan negara-negara lain, AS sekarang  memang dihuni kaum Muslim dari berbagai negara dan kelompok etnik. Dalam Islam in America, Jane Smith menulis, “America today is home to the most heterogenous Muslim community at any time or place in the history of the world. Muslims represent many races and ethnic / cultural groups, speak a range of languages, espouse many different understandings of the religion of Islam and often choose to present themselves in very different ways.” Akibat dari beragamnya umat Islam di AS, negeri ini terdapat berbagai macam ormas, kelompok ras-etnik, gerakan sektarian, organisasi politik, lembaga profesional dan lain-lain yang berafiliasi Islam.   

Meski arus migrasi kaum Muslim ke AS—baik yang melalui sistem perbudakan maupun migrasi sukarela—sudah berlangsung sejak beberapa abad lalu, akan tetapi gelombang migrasi kaum Muslim ke AS dalam skala besar baru terjadi sejak peristiwa Perang Dunia (I dan II) khususnya sejak dihapusnya UU Imigrasi yang membatasi perpindahan penduduk ke AS tahun 1975. Dua peristiwa sejarah ini berdampak sangat signifikan bagi gelombang migrasi Muslim ke AS. Sejak itu, AS tidak hanya dihuni warga Muslim kulit hitam keturunan Afrika saja yang telah lebih dulu mendarat di AS melalui jalur perbudakan, tetapi juga warga Arab dari berbagai negara di Timur Tengah dan berbagai belahan dunia lain. Perang dan kekerasan antar-kelompok agama di berbagai negara di Asia Selatan, Turki, negara-negara bekas berpenduduk Muslim bekas jajahan Uni Soviet, serta konflik berkepanjangan di Timur Tengah dan Afrika Utara, juga mendorong warganya untuk pindah ke AS guna mencari suaka baru yang aman.

Sistem demokrasi sekuler yang dianut AS memungkinkan orang dari berbagai kelompok agama untuk tinggal secara nyaman disini. Semua orang dipersilakan untuk merayakan kebebasan beragama. Jika ada kelompok-kelompok tertentu yang melakukan kekerasan atas nama agama dan mengganggu hamonisasi hubungan antar-agama segera ditindak tegas. Pengalaman masa lalu AS yang begitu kelam membuat negara ini introspeksi diri untuk tidak melakukan kesalahan serupa. Karena itu tidak heran jika di AS sekarang dihuni oleh ribuan kelompok agama dan sekte yang menikmati iklim kebebasan beragama. Protestan, Katolik, Yahudi, Islam, Budha, Hindu, Taoisme, Sikh, Bahai, Zoroaster, Konghucu, Sinto, Ahmadiyah, Mormon, Shaker, Evangelis, Teosopis, Transendentalis, Advantis, Freemason, Millianaris, dan masih banyak lagi semua tinggal adem-ayem di AS. Hampir semua suku-bangsa Muslim di dunia juga ada di AS sehingga banyak yang menyebut AS sebagai “mikrokosmos” dunia Islam. Orang-orang kulit putih Amerika sendiri, termasuk para intelektual beken seperti Huston Smith, William C. Chittick, Martin Lings, dll, banyak yang tertarik dan menjadi Muslim setelah mempelajari ajaran-ajaran Sufi yang menekankan pada aspek moralitas, perdamaian, spiritualisme, dan harmoni antar-agama.

Sejak peristiwa serangan terorisme yang meledakkan gedung Pentagon dan WTC pada 11 September, 2001, gerakan anti-Islam yang dipelopori oleh sejumlah kelompok konservtaif Yahudi dan Kristen memang semakin intensif. Berbagai provokasi anti-Islam dilancarkan dengan deras melalui berbagai media (radio, koran, buku, pamflet, gereja, dll) dan ceramah-ceramah di kampus. Tetapi publik Amerika tidak gampang terprovokasi karena sudah lama hidup dalam kultur demokrasi yang penuh dengan perbedaan pendapat. Berbagai pernyataan miring itu hanya dianggap angin lalu saja. Selain itu pemerintah AS akan menindak tegas kelompok-kelompok tertentu yang melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Karena itu meskipun kelompok yang dikenal “Islamophobis” ini berbusa-busa melontarkan berbagai pernyataan yang mengecam Islam, Al-Qur’an, Nabi Muhammad dan lain-lain, mereka tidak berani melakukan tindakan kekerasan fisik dengan merusak masjid, sekolahan, atau mengusir kaum Muslim. Semua keberatan disalurkan lewat jalur hukum melalui cara-cara legal-formal atau melalui perdebatan dan diskusi yang lebih beradab.

Warga Amerika kini lebih suka membaca peristiwa dengan “perspektif ganda” sehingga tidak mudah digiring oleh opini-opini politis dan bualan omong-kosong sejumlah kelompok agam konservatif. Banyak yang berspekulasi, tragedi pengeboman di Boston belum lama ini yang ternyata dilakukan oleh pasangan Muslim bersodara betetnis Chehnya dan berkebangsaan Kyrgystan (Tamerlan Tsarnaev dan Dzhokhar Tsarnaev), akan berdampak pada sikap sinisme terhadap kaum Muslim secara umum. Ternyata juga tidak. Warga Muslim di AS adem ayem. Mayoritas warga AS juga tidak main tuduh sembarangan. Kedewasaan berdemokrasi tampaknya menjadi kunci stabilitas AS. Inilah yang menjadi alasan kenapa berbagai kelompok agama dan sekuler dari ekstrim kanan sampai ekstrim kiri, termasuk sekte-sekte minoritas, dari berbagai belahan dunia betah tinggal di AS. Disaat mereka digebuki di negara mereka sendiri, mereka justru menemukan Amerika sebagai suaka aman-nyaman untuk merayakan kebebasan beragama. Saya tidak bisa membayang apa jadinya AS yang sangat warna-warni ini jika semua perbedaan dan keaneragaman diselesaikan dengan kekerasan dan ditumpas dengan senjata seperti negeriku Indonesia yang kucintai ini.

Sayang, kebaikan “demokrasi sekuler” ala Amerika ini kadang-kadang “dinodai” oleh sejumlah kelompok fanatik-radikal agama, termasuk kelompok Muslim, yang masih saja kusak-kusuk menggalang solidaritas keagamaan guna membangun sistem politik utopis bernama teokrasi atau khilafah. Meski mereka menikmati kebebasan hidup sambil mengais rizki di alam “demokrasi sekuler”, kelompok-kelompok konservatif-ekstrim ini terus-menerus mencaci-maki demokrasi. Kalau bukan munafik alias tak tahu diri, lalu istilah apa yang tepat untuk menyebut makhluk sejenis ini? (SQ)

Artikulli paraprakIslam, Travel, and Learning: A Case Study on Indonesian Muslim Student Diasporas in Saudi Arabia
Artikulli tjetërBerebut Umat Islam di Perang Dunia II
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini