Sepanjang Perang Dunia II (PD II), di antara umat agama yang diperebutkan oleh negara-negara kolonial adalah umat Islam. Pada waktu itu, negara-negara raksasa yang terlibat dalam PD II yang memperebutkan populasi umat Islam adalah Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Jerman, Itali, Prancis, dan Jepang, sekadar menyebut sejumlah nama.
Sebagian kawasan Muslim, pada waktu PD II berlangsung, memang dikuasai oleh negara-negara tersebut sehingga wajar jika umat Islam kemudian diperebutkan bak gadis molek yang lugu. Negara-negara yang terlibat dalam PD II saat itu sama-sama melihat Islam dan kaum Muslim sebagai entitas dan kekuatan yang sangat penting dan strategis untuk dijadikan kawan atau partner guna menggempur rival-rival politik mereka.
Kala itu, otoritas politik umat Islam tidak ada lagi yang dominan. Emperium Turki Usmani (Ottoman) yang selama berabad-abad menjadi pemain politik utama sudah tumbang pada 1918–20 dikeroyok oleh berbagai kekuatan: Eropa, Arab, Kurdi, dan lainnya (silakan baca buku Eugene Rogan, The Fall of the Ottomans). Jadi, nyaris umat Islam menjadi “obyek bancaan” negara-negara non-Muslim.
Sejarawan David Motadel dari London School of Economics and Political Science mencatat sekitar 150 juta umat Islam yang tinggal di antara kawasan Afrika Utara dan Asia Tenggara berada di bawah kekuasaan Inggris dan Prancis, dan lebih dari 20 juta jiwa kaum Muslim berada di bawah Uni Soviet. Jerman dan Jepang belakangan menyusul.
Jepang menguasai Asia Tenggara, khususnya Indonesia, sementara Jerman memperluas pengaruh politiknya ke teritori yang banyak dihuni oleh umat Islam: Balkans, Afrika Utara, Crimea, Caucasus, Timur Tengah, dan kemudian Asia Tengah.
Masing-masing negara adidaya itu berlomba-lomba “mengambil hati” umat Islam dengan berbagai cara: dari membuat lembaga-lembaga agama dan mendirikan masjid dan madrasah hingga mengklaim sebagai “pelindung sejati” agama Islam dan kaum Muslim dari ancaman dan gempuran negara-negara lain. Bukan hanya itu, mereka juga memperkerjakan kaum Muslim di berbagai sektor.
Otoritas Jerman, misalnya, pada 1942, mendirikan sejumlah institusi untuk Muslim seperti Berlin Islamic Central Institute dan memperkerjakan para tokoh dan sarjana Muslim dari berbagai kawasan. Pada 1937, Benito Mussolini (1883-1945), pemimpin fasis Itali, mendeklarasikan diri sebagai “Pedang [pelindung] Islam” dan “Penjaga Syariat”.
Bersama para propagandisnya, ia keliling Timur Tengah dan Afrika untuk menggaet simpati umat Islam dan mengajak kaum Muslim bekerja sama dengan rezim Fasisme memerangi musuh-musuh Itali.
Para negara sekutu anti-Jerman dan Itali juga melakukan hal yang sama. Pemerintah Inggris pada tahun 1941 mendirikan East London Mosque dan juga London Central Mosque (didirikan oleh Churchill War Cabinet). Sir Winston Churchill (1874-1965), Perdana Menteri Inggris pada periode 1940–45 dan 1950–55, memandang Islam sebagai “ancaman potensial” sekaligus instrumen kuat untuk peperangan politik.
Churchill sendiri pernah bertugas menjadi tentara di Afrika dimana ia menyaksikan “Pemberontakan Mahdi Sudan” sehingga ia mengerti potensi bahaya antiimperialisme Islam bagi kolonialisme. Kepada jajaran pemerintahannya, Churchill menyerukan dan menginstruksikan untuk tidak memutus hubungan dengan kaum Muslim karena mereka menjadi komponen utama di negara-negara jajahan Inggris, dan bahkan menjadi bagian dari sistem ketentaraan Great Britain, khususnya di British Indian Army.
Setali tiga uang, Amerika Serikat juga melakukan hal yang sama. Sejak 1940-an, Departemen Perang Amerika melatih para tentaranya bagaimana bersikap baik dan berinteraksi dengan benar terhadap kaum Muslim. Para tentara juga dibekali dengan “buku panduan” tentang pengetahuan dasar Islam. Kapan pun tentara Amerika tiba di kawasan Muslim, maka berbagai kebijakan politik dan propaganda perang selalu menjadikan Islam sebagai pertimbangan utama.
Di Timur Tengah dan Afrika Utara selebaran-selebaran propaganda itu ditulis dalam Bahasa Arab dengan mengutip ayat al-Qur’an, Hadits, atau idiom-idiom keislaman tentang kewajiban jihad bagi Muslim untuk membela “negeri” dan memerangi “musuh-musuh Islam”.
Di Maroko, misalnya, pamflet-pamflet propaganda Amerika (yang konon ditulis oleh Gordon Brown dan Carleton Coon) tertulis: “Para pahlawan suci Amerika telah tiba untuk berperang dan berjihad bersama Muslim demi kebebasan”. Demikian tulis Steve Cool, Dekan Columbia University Graduate School of Journalism.
Yang menarik adalah Uni Soviet. Meskipun negara komunis ini pernah memiliki sejarah buruk dengan umat Islam, pada saat PD II, Kremlin juga mengubah strategi, taktik, dan kebijakan yang pro-Islam. Pada tahun 1942, rezim Kremlin membentuk empat Dewan Muslim Soviet atau “direktorat spiritual”.
Soviet juga mendirikan masjid-masjid baru, mengorganisir kongres atau konferensi Muslim, membolehkan Muslim melakukan ibadah secara terbuka, serta mengizinkan umat Islam melakukan ibadah haji yang sebelumnya dilarang. Mungkin karena didorong oleh sejumlah kebaikan rezim Soviet ini, mufti Soviet, Abdurrahman Rasulaev, melakukan kampanye penggalangan umat Islam di Soviet agar mereka mendukung “tentara merah” dalam melakukan perlawanan terhadap Nazi Jerman.
Sebagaimana kawasan-kawasan berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia juga mengalami hal yang sama. Kali ini aktornya adalah Jepang. Sama seperti negara-negara kolonial lain, pada tahun 1940-an Jepang juga melakukan pendekatan intensif terhadap umat Islam. Pada waktu itu, tentara Jepang membentuk kelompok-kelompok milisi jihad, membentuk sejumlah lembaga dan organisasi keislaman serta mendekati dan mengkooptasi para ulama, klerik, dan pemimpin Muslim yang kecewa dengan Belanda.
Jepang juga menginstruksikan para imam, ulama, dan khatib agar berdoa untuk pemimpin Jepang dan kemenangan tentara Jepang dalam perang melawan Belanda dan sekutu. Sama seperti negara-negara kolonial lain yang diuraikan diatas, Jepang juga mengklaim sebagai pelindung sejati Islam dan kaum Muslim.
Paparan singkat di atas bukan hanya cerita tentang upaya sejumlah rezim non-Muslim untuk menjadikan Islam dan kaum Muslim sebagai instrumen kepolitikan dan kemiliteran saja, tetapi juga kisah tentang dinamika sejarah politik umat Islam saja.
Sejarah mencatat, banyak umat Islam yang terperdaya dan termakan kampanye dan propaganda negara-negara kolonial selama PD II itu. Kala itu, banyak kaum Muslim yang dimobilisir untuk bergabung dengan “negara-negara perayu” tersebut menjadi milisi atau “foot soldiers” melawan negara-negara lawan. Banyak para ulama dan tokoh Muslim berpengaruh waktu itu yang menjadi “anjing poodle” atau “burung beo” yang membebek pada negara-negara tertentu.
Jika Mufti Kremlin Abdurrahman Rasulaev menyerukan umat Islam Soviet untuk berperang melawan Nazi Jerman, Mufti Yerusalem Amin Al-Hussaini menginstruksikan kaum Muslim untuk berjuang bersama Hitler dan tentara Nazi melawan Soviet, Inggris, dan Yahudi. Sementara para ulama dan tokoh Muslim lain terang-terangan membela Amerika, Inggris, atau Itali.
Kisah tentang mudahnya umat Islam dimobilisir oleh propaganda-propaganda asing tersebut bukan berakhir seiring dengan berakhirnya PD II. Memang, PD II telah berhenti tetapi kampanye dan propaganda atas umat Islam yang dilakukan oleh “kekuatan-kekuatan asing” itu tak pernah berhenti. Sejarah memilukan PD II masa lalu yang bahkan perang antarumat Islam terus terulang kembali hingga dewasa ini.
Dari dulu hingga kini, umat Islam, baik elite maupun massa, memang sangat fragile atau ringkih sehingga gampang diperdaya oleh siapa saja yang mempunyai kepentingan politik, ideologi, maupun ekonomi. Jika para elite Muslim gampang disogok untuk mendukung kepentingan-kepentingan politik-ekonomi-ideologi orang dan kelompok tertentu, rakyat bawah mudah dikibuli dan disulut dengan kampanye atau propaganda yang memakai idiom-idiom Islam.
Mereka mudah sekali tersulut hanya dengan sejumlah kata: jihad, kafir, zalim, dajjal, dan semacamnya tanpa mempelajari terlebih dahulu sejarah, makna, dan konteks kata-kata tersebut.
Itulah yang terjadi di Afganistan, Irak, Libia, Suriah, Tunisia, Yaman, Mesir, Sudan, dan masih banyak lagi. Umat Islam gampang sekali diperdaya untuk berkoalisi dengan rezim-rezim non-Muslim (apa pun ideologi mereka: kapitalisme, komunisme, fasisme, naziisme dan seterusnya) dan bertempur melawan sesama Muslim.
Tetapi, ironisnya, ada sejumlah kelompok umat Islam yang terus-menerus lebih suka menyalahkan “asing” sebagai biang kerok kehancuran umat Islam tanpa melakukan instrospeksi diri. Padahal, yang terjadi, umat Islam sendiri juga turut berkontribusi menghancurkan diri mereka sendiri lantaran dengan mudahnya dipecah-belah, diadu domba, diprovokasi, dan dipropagandai oleh berbagai kekuatan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam tubuh umat Islam itu sendiri.
Selama umat Islam masih lugu, maka selama itu pula mereka tak akan mampu bangkit dari keterpurukan. (SQ)