Istilah “Islam kampung” yang dimaksud disini adalah jenis dan tradisi keislaman yang berkembang di kampung-kampung (desa atau negeri di Maluku) di Indonesia. Ada sejumlah persamaan dan perbedaan mendasar antara kaum “Islam kampung” dan “Islam kota”. Tentu saja perbedaan ini tidak seratus persen benar karena tetap ada pengecualian disana-sini.
Salah satu perbedaan utamanya adalah kelompok “Islam kota” cenderung mengarah ke konservatisme, puritanisme, dan “tauhidisme”, setidaknya dalam pemikiran, bukan dalam tindakan. Sedangkan kaum “Islam kampung” lebih cenderung ke nominalisme, moderatisme, dan “kulturisme”.
Setidaknya, sekali dalam setahun, khususnya pada saat lebaran, saya sempatkan untuk “mudik” atau pulang ke kampung halaman di sebuah desa terpencil di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Pada saat itu pula saya sempatkan untuk mengamati perkembangan keislaman dan sosial-ekonomi masyarakat di kampungku. Memang ada sejumlah perubahan disana-sini tetapi karakter keislaman masyarakat tidak banyak berubah.
Sejumlah perubahan itu misalnya bisa dilihat dari jumlah tempat ibadah (masjid atau mushala). Di kampung yang berpenduduk tidak lebih dari 700 jiwa itu kini terdapat tiga mushala atau langgar dan satu “masjid jami” yang cukup megah untuk ukuran desa yang berdiri persis di tengah kampung.
Dulu, sewaktu saya masih kecil, di kampungku cuma ada satu masjid kecil saja (Masjid Al-Huda) yang terletak persis di depan rumah orang tuaku karena memang dibangun di atas tanah milik orang tuaku. Pembangunan masjid itu, atas bantuan Departemen Agama (kini Kementerian Agama), diprakarsai oleh almarhum ayah yang dulu berprofesi sebagai “modin”, yaitu orang yang bertugas mengurusi masalah ritual keagamaan dan keislaman di kampung. Ayahlah yang menjadi imam masjid itu serta mengajari warga kampung mengaji Al-Qur’an dan sembahyang (salat).
Perubahan lain adalah jumlah umat Islam yang bersedia salat di masjid atau mushala. Dulu, hanya segelintir orang saja yang bersedia sembahyang. Tapi kini sudah lumayan banyak. Kesadaran warga Muslim untuk sembahyang di masjid atau langgar lumayan tinggi, di banding dengan tahun-tahun lalu, khususnya saat salat Jum’at dan Mahrib. Sedangkan untuk salat Isya, Asar, dan Subuh masih saja lengang alias sepi peminat seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya imam dan satu-dua orang saja yang salat berjamaah. Sering bahkan hanya imamnya saja.
Hal lain yang juga berubah adalah organisasi ritual seperti tahlilan. Tidak seperti dulu, hampir setiap RT (Rukun Tetangga) sekarang mempunyai kelompok tahlilan. Kaum perempuan juga memiliki kelompok tahlilan sendiri, kontras dengan masa lalu dimana grup jamaah tahlil hanya terdiri atas kaum laki-laki saja.
Biasanya kelompok tahlilan ini mempunyai aktivitas pertemuan rutin setiap bulan, selain kalau ada orang yang meninggal dunia. Dalam tradisi “Islam Jawa”, orang yang wafat harus ditahlili selama seminggu penuh setelah jasad dikubur, kemudian pada saat 40, 100, dan 1.000 hari pascakematian.
Warga kampung yang menunaikan ibadah umroh juga ada, meskipun belum banyak. Begitu pula yang sudah mendaftar ibadah haji. Mereka harus mengantri puluhan tahun untuk bisa berangkat ke Makah karena jatah quota yang terbatas sementara peminat haji cukup banyak. Ini tentu saja sesuatu yang baru di kampung ini karena dulu sama sekali tidak terpikirkan orang kampung berangkat umroh atau haji ke Makah dan Madinah.
Bagaimana dengan tradisi jilbab? Kini, cukup banyak juga remaja, anak-anak, dan perempuan dewasa yang berjilbab atau berhijab, meskipun terbatas di waktu-waktu tertentu saja (misalnya saat lebaran atau mengikuti jamaah tahlil). Kalau perempuan yang bercadar, sejauh ini belum ada.
Sementara tata busana kaum laki-laki masih seperti dulu, yaitu sarung, baju koko, dan peci. Tidak ada yang memakai gamis seperti sekelompok “Islam kota”.
***
Bagaimana membaca fenomena ini? Dari sudut pandang sosiologi-antropologi, perubahan individual-sosial itu wajar saja, seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman. Meskipun terisolir, kampungku juga tidak luput dari pengaruh perkembangan modern di bidang berbagai bidang, termasuk bidang teknologi telekomonikasi, informatika dan Internet.
Urbanisasi juga menjadi faktor penyebab perubahan individual dan sosial. Warga kampung yang pindah ke kota, baik karena alasan mencari pekerjaan maupun menikah, cenderung meniru pola dan gaya hidup masyarakat kota dimana mereka tinggal.
Yang pengaruhnya cukup dramatik bagi gaya hidup beragama warga kampung tentu saja televisi dan Internet. Dulu, hanya 1-2 warga kampung yang mempunyai televisi. Itupun “tv hitam-putih”. Kini, hampir setiap rumah mempunyai tv. Berbagai pertunjukan “sinetron Islami” atau pengajian rohani yang hampir ditayangkan di setiap tv turut membentuk “tampilan luar” warga kampung.
Dunia internet, khususnya media sosial juga turut berkontribusi mewarnai perubahan di kampung. Masyarakat, khususnya generasi muda, dengan mudah mencontoh tren gaya hidup, pola hidup, dan perilaku masyarakat luar.
Pola hidup masyarakat, dimanapun mereka berada, cenderung adaptif dan karena itu mereka dengan mudah meniru apa yang terjadi diluar. Demikian pula warga Muslim di kampungku.
***
Tetapi jika diamati secara seksama, perubahan sosial-individual masyarakat Islam di kampung itu sebetulnya hanya terjadi di level permukaan dan kuantitas saja, bukan di substansi dan kualitas. Dengan kata lain, perubahan itu hanya terjadi di tingkat jumlah umat Islam yang tergabung di jamaah tahlil, klub pengajian, sembahyang, atau mereka (perempuan) yang berhijab.
Tetapi watak, karakteristik, dan jenis keberagamaan mereka tetap tidak banyak berubah: abangan, nominal, lentur, inklusif, moderat, nasionalis, serta berorientasi atau bertumpu pada tradisi dan budaya lokal. Mereka tidak serta merta berubah menjadi puritan, teologis, fiqih-oriented, konservatif, eksklusif, kaku dan anti keindonesiaan dan kebangsaan seperti umumnya sekelompok “Islam kota”.
Seorang tokoh agama kampung pernah bercerita kepada saya bahwa suatu ketika pernah ada serombongan orang bergamis cingkrang dan berjenggot yang “menduduki” masjid (kemungkinan anggota Jamaah Tabligh) selama beberapa hari dan mencoba “mengontrol” keislaman dan keberislaman warga kampung.
Tetapi upaya mereka gagal total. Alih-alih ingin mempengaruhi warga setempat, mereka malah diusir dari desa karena dianggap meresahkan warga lantaran mengajarkan jenis keislaman yang kaku dan serba haram atau serba kafir-syirik sehingga bertentangan dengan praktik berislam dan keberagamaan warga kampung.
Menarik untuk dicatat, hingga saat ini, warga Muslim di kampung tetap memasang sesaji (kadang dilengkapi dengan kemenyan dan bunga) di sawah dan rumah, khususnya di momen-momen tertentu seperti menjelang panen, lebaran, hajatan, malam Jum’at Kliwon, ulang tahun kematian anggota keluarga, dan seterusnya.
Tradisi ziarah kubur juga masih terawat dengan baik, meskipun banyak Muslim kota yang mengharamkan karena dianggap perbuatan syirik atau penyekutuan Tuhan. Tetapi bagi warga kampung, ziarah, terutama kepada anggota keluarga yang sudah wafat, adalah bagian dari cinta-kasih, kebaktian, dan “upaya spiritual” untuk merawat silaturahmi dengan sang almarhum / almarhumah.
Selanjutnya, bagi warga kampung, orang meninggal dunia itu hanya jasad / fisiknya saja yang mati, sementara rohnya tetap hidup. Mereka percaya bahwa orang yang sudah wafat tetap “hidup” dan “menjaga” anggota keluarga yang belum meninggal dunia. Oleh karena itu, di hari-hari tertentu mereka memasang sesaji di kamar karena pada hari itu orang yang sudah wafat itu akan “pulang” menengok rumahnya.
Apa yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa agama, bagi warga kampung, bukan semata-mata masalah teologi-legal-doktrinal semata tetapi juga berkaitan erat dengan masalah tradisi-kebudayaan, spiritual-kerohanian, solidaritas kelompok, dan relasi sosial antarwarga.
Seorang warga yang mengikuti jamaah tahlil bukan lantaran untuk menghimpun pahala demi kebahagiaan kehidupan di alam akhirat misalnya tetapi lebih sebagai ekspresi solidaritas sebagai sesama warga serta untuk menjaga hubungan sosial di antara mereka.
Agama bagi warga kampung, dengan begitu, berfungsi sebagai “perekat sosial” hubungan antarindividu, antartetangga, dan antarwarga. Tentu saja ini bukan satu-satunya fungsi agama karena memang agama memiliki banyak fungsi bagi pemeluknya.
Ekspresi keberislaman warga kampung tadi menunjukkan bahwa agama memiliki banyak fungsi (fungsi individual maupun sosial) dan umat agama yang mengikuti tren keagamaan dan keberagamaan tertentu tidak serta merta dibaca dalam perspektif hitam-putih dan linier karena memang ada banyak tujuan dan motivasi dari umat beragama–agama apapun dan dimanapun umat agama itu berada. Semoga bermanfaat.
Sumber: liputan6.com