Belakangan ini, arus konservatisme, fanatisme, dan “fundamentalisme”, baik dalam konteks politik, pemikiran, maupun tindakan, kembali menguat pada masyarakat—baik “masyarakat agama” maupun “masyarakat sekuler”—di berbagai negara.
Di Amerika Serikat dan berbagai negara Eropa dan Barat pada umumnya—negara-negara yang konon sebagai “kampium demokrasi” di mana orang dihargai bukan karena status agama, etnisitas, ras, suku, dan hal-ikhwal primordial lainnya melainkan lebih pada hak-hak dan martabat kemanusiaan—penyakit fanatisme, konservatisme, dan fundamentalisme ini juga menyeruak dan bergaung di mana-mana.
Ada banyak radio, televisi, media, tempat ibadah, ormas dan lembaga keagamaan yang menyuarakan kebencian dan perseteruan terhadap kelompok agama, aliran, sekte, kongregasi, dan denominasi lain. Ada bahkan sejumlah kelompok masyarakat Barat yang membangun aksi dan gerakan kekerasan (dan “sikap antipati terhadap yang lain”) berbasis rasisme, etnosentrisme, chauvinisme, nasionalisme, dan lain sebagainya
Dalam konteks Barat dewasa ini, kaum migran non-kulit putih dan kaum Muslim khususnya menjadi target utama kampanye dan propaganda sarkastik sebagian kelompok masyarakat.
Dalam banyak hal, kaum “fanatik overdosis” ini menjadi “foot soldier” dan “vote-getter” partai politik tertentu. Mereka menjadi basis massa para “politisi hitam” yang sukses meraup keuntungan dengan membangkitkan sentimen primordialisme serta menjual kebencian dan permusuhan terhadap kelompok lain yang dianggap atau diklaim merugikan kepentingan partai, agama, atau bangsa (simak misalnya ulasan Ruth Wodak dari University of Vienna dalam karyanya “Right Wing Populist Parties on the Rise”.
***
Bukan hanya di Barat, kawasan Timur Tengah juga mengalami fenomena yang sama. Dalam konteks politik, Timur Tengah sebagai basis utama Islam sudah lama dikenal sebagai kawasan yang jauh dari nilai-nilai demokrasi. Hampir semua negara di Timur Tengah adalah kerajaan absolut (atau “semi absolut”), atau negara totaliter (atau “semi totaliter”) yang dibungkus dengan demokrasi.
Kalaupun ada pemilu di negara-negara di kawasan ini, biasanya terjadi dalam empat kemungkinan. Pertama, di bawah ancaman kekuasaan militer yang selalu siap membatalkan hasil pemilu yang kurang menguntungkan kepentingan kaum tentara.
Kedua, di bawah bayang-bayang “rezim agama” (seperti kaum mullah atau wilayatul faqih). Ketiga, pemilu berlangsung di bawah kekuasaan politik yang semi-otoriter dan represif. Keempat, pemilu yang dilangsungkan secara “akal-akalan” sekedar untuk memenuhi tuntutan negara-negara Barat dan publik internasional tentang demokrasi.
Bukan hanya masalah politik, aura konservatisme, fanatisme, dan fundamentalisme juga merambah wilayah pemikiran dan tindakan keagamaan (keislaman).
***
Setali tiga uang dengan kawasan Barat dan Timur Tengah, Indonesia dewasa ini, khususnya pasca Orde Baru, juga mengalami gejala dan fenomena yang sama.
Negara yang selama ini disebut-sebut sebagai exemplary dari negara mayoritas berpenduduk Muslim yang mampu menerapkan prinsip demokrasi yang berdasar pada toleransi, pluralisme, keterbukaan, dan otonomi warga negara dalam menentukan pilihan intelektual, agama, dan politiknya ini, kini sedang diuji eksistensi, komitmen, dan kredibilitasnya.
Memang, dalam konteks “kebebasan berpolitik”, Indonesia masih jauh lebih baik dengan negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim dimanapun di dunia ini. Masyarakat Indonesia masih relatif bebas mengekspresikan diri melalui pemilu (pemilihan umum) misalnya, baik Pileg (pemilu legislatif) maupun Pilpres dan Pilkada.
Meskipun tentu saja, pemilu yang berlangsung selama ini bukan berarti tanpa cacat dan kecurangan. Tetapi itu sudah jauh lebih baik dan demokratis ketimbang pemilu di negara-negara berbasis Muslim lain yang penuh dengan intrik dan rekayasa.
Masalahnya adalah pemilu hanyalah “demokrasi prosedural” yang tentu saja tidak bisa dijadikan sebagai acuan utama untuk menilai kedemokratisan sebuah negara. Apalagi banyak Pemilu yang tidak benar-benar demokratis.
Ada hal-hal yang jauh lebih substansial untuk melihat substansi demokrasi, misalnya bagaimana negara dan masyarakatnya menyikapi masalah hak-hak minoritas (baik minoritas agama, etnis, maupun politik), kebebasan sipil dalam beragama, kemajemukan, kemerdekaan berfikir dan seterusnya.
Alih-alih menegakkan demokrasi, sebagian kaum Muslim justru terjerembab ke dalam sikap, pemikiran, dan tidakan konservatif, fanatik, militan, dan bahkan ekstrim yang membahayakan bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara serta keberlanjutan demokrasi pemikiran dan pluralisme di Indonesia di masa datang.
Sebuah lembaga riset di Jakarta, Freedom Institute (FI), belakangan ini telah mengadakan survey mengenai sikap keberagamaan umat Islam di Indonesia. Hasilnya sangat mengejutkan, yakni besarnya kaum Muslim di Indonesia yang mendukung atau bersimpati pada gagasan sekaligus tindakan Islam radikal di negeri ini.
Meskipun harap dicatat bahwa mendukung bukan berarti mau bertindak (melakukan perbuatan) seperti yang dilakukan kalangan Islam radikal karena sikap dan tindakan tidak selamanya berjalan paralel. Namun demikian, hasil survey ini setidaknya menunjukkan arus konservatisme umat Islam di negeri ini cukup kuat.
Hasil survey juga menunjukkan rendahnya tingkat toleransi umat Islam terhadap kelompok lain. Misalnya, umat Islam keberatan terhadap pembangunan gereja dan bahkan sekedar kebaktian di wilayah mereka. Kaum muslim juga keberatan jika umat Kristen mengajar di sekolah-sekolah negeri.
Tidak sebatas itu, dukungan terhadap ide-ide konservatif yang biasanya diusung oleh “kelompok fundamentalis” Islam juga sangat kuat seperti penerapan hukum rajam (55%), potong tangan (40%), penolakan terhadap pemimpin perempuan (41%). Prosentase dukungan terhadap agenda-agenda Jama’ah Islamiyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Front Pembela Islam (FPI) juga cukup signifikan.
Jika kita perhatikan, sikap konservatisme itu terjadi di hampir semua faksi Islam. Bahkan ormas Islam besar seperti Muhammadiyah dan NU yang dikenal sebagai “sayap Islam moderat” di negeri ini juga tidak lepas dari semangat konservatisme ini. Memang di tingkat elit struktural, kedua ormas Islam ini hampir selalu dipimpin oleh figur yang moderat dan liberal tetapi sikap mereka tidak berdampak secara positif dan otomatis pada arus bawah.
Beberapa tokoh moderat dan liberal Muhammadiyah seperti Syafi’i Ma’arif, Moeslim Abdurrahman, Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah dan lain-lain tidak mampu menghadang laju konservatisme warga Muhammadiyah. Para pemikir muda Muhammadiyah terutama yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) juga sering mengeluh akibat tidak kondusifnya iklim intelektual keislaman dan menguatnya arus konservatisme dan anti pemikiran Islam liberal di ormas ini.
Demikian juga NU. Ormas Islam yang berdiri tahun 1926 yang selama ini memiliki reputasi sebagai ormas Islam moderat, pluralis dan progresif ini belakangan “terperangkap” ke dalam wacana pemikiran Islam yang konservatif. Muktamar NU (sejak di Solo sampai Makasar) menjadi saksi atas bangkitnya arus konservatisme ormas Islam yang berbasis masa tradisional ini.
Di setiap sudut di arena Muktamar terpampang poster, spanduk, brosur, dan selebaran-selebaran yang isinya mengecam gagasan-gagasan Islam liberal yang dianggap membahayakan otoritas dan otentisitas Islam sebagai “agama langit”. Selama berlangsungnya Muktamar, terutama di forum masa’il diniyah (persoalan keagamaan) telah terjadi pengadilan pemikiran terhadap Islam liberal.
Akhirnya, para kiai NU menolak keras gagasan Islam liberal yang kebanyakan diusung kaum muda NU kultural serta menyerukan agar struktur NU bersih dari “orang-orang NU liberal”. Dalam hal ini mereka lupa satu hal mendasar, yakni bahwa pemikiran sekeras dan seliberal apapun tidaklah sama dengan perbuatan: pemikiran tidak bisa dihukum hanya bisa dikritisi, sehingga ide-ide yang merupakan produk dari pergulatan intelektual anak muda NU tidak bisa diposisikan sebagai “anak haram” yang harus diasingkan dan dipinggirkan dari wacana keislaman.
Ide-ide pemikiran kalangan liberal ini tetap merupakan “anak kandung yang sah” dalam khazanah peradaban Islam yang mendukung bersemainya pluralisme pemikiran. Pemikiran Islam liberal yang bertumpu pada kebebasan nalar janganlah dianggap sebagai virus ganas yang dapat meracuni kebenaran hakiki ajaran Islam.
Sebab, seperti dinyatakan intelektual Iran berpengaruh, Abdul Karim Soroush dalam salah satu karyanya, Reason, Freedom and Democracy in Islam, mereka yang menghindari kebebasan (berfikir) karena kebebasan dianggap sebagai musuh kebenaran dan tempat persemaian yang cocok untuk ide-ide salah dan sesat tidak menyadari bahwa kebebasan adalah kebenaran itu sendiri. Dunia, kata Soroush, adalah ibarat pasar tempat tukar-menukar ide dan gagasan. Karena itu siapapun tidak berhak untuk memboikot dan mengadili sebuah produk pemikiran!
***
Mengapa arus konservatisme begitu menguat di kawasan Islam? Jawaban atas pertanyaan ini bisa panjang apalagi jika dikaitkan dengan masalah politik. Tetapi di antara faktor penting yang bisa menjelaskan fenomena menguatnya konservatisme di tubuh Islam ini adalah berkaitan dengan pemahaman keislaman yang fragmented, parsial, sepotong, instan, dan tidak komprehensif.
Kita tahu, sebagian besar umat Islam di Indonesia (mungkin angkanya sampai 90-an%) bukanlah ahli agama dalam pengertian bahwa mereka dilatih dan dididik secara intensif dalam lingkungan agama. Kalaupun ada yang belajar di lingkungan agama, umumnya adalah lingkungan yang tidak ramah dengan wacana keislaman diluar mainstream dan karena itu ujung-ujungnya konservatif seperti terjadi di NU dan Muhammadiyah.
Mungkin kurang dari 2% umat Islam Indonesia yang memiliki kemewahan untuk meneliti dan memahami ajaran agama mereka “secara benar”. Yang dimaksud di sini adalah mengkaji wacana keislaman dengan perangkat ilmiah yang objektif dan sesuai dengan standar kesarjanaan. Sebagian besar informasi keagamaan kaum muslim di Indonesia diperoleh melalui “kaki lima”(ini istilah Luthfi Assyaukanie).
Yakni tempat-tempat yang menyajikan ajaran dan doktrin Islam secara sederhana dan instan seperti mimbar-mimbar khotbah di masjid, bulletin ruhani, ceramah tujuh menit, kuliah keagamaan di TV dan radio dan tempat-tempat lain dimana informasi keislaman diobral secara murah dalam retorika keagamaan. Dan kita tahu, jenis atau wacana keislaman yang disampaikan di forum-forum ini sangat konservatif.
Versi pemahaman keislaman seperti inilah yang dikonsumsi oleh sebagian besar umat Islam sehingga wajar apabila mereka kemudian berwatak intoleran dan konservatif serta tidak menghargai pluralisme pemikiran. Pemahaman keislaman model ini jelas tidak akurat dan berlawanan dengan visi Islam yang menjunjung tinggi pluralisme pemikiran dan kemerdekaan akal. []
Sumber : liputan6.com