Catatan: tulisan ini saya tulis sebagai penghargaan terhadap mantan teman kelasku, Leymah Gbowee, penerima “Nobel Perdamaian 2011” dari Liberia. Leymah adalah sosok “perempuan biasa yang luar biasa”. Selamat menikmati kisah-kisah heroiknya dalam memperjuangkan perdamaian di negaranya yang mengantarkannya menjadi penerima Nobel Perdamaian.

Nama lengkapnya Leymah Roberta Gbowee. Oleh teman-teman dan koleganya, termasuk saya, ia biasa dipanggil Leymah. Ia adalah mantan teman sekolahku sewaktu saya mengambil gelar master di bidang Conflict and Peace Studies di Center for Justice and Peacebuilding, Eastern Mennonite University di Harrisonburg, Virginia, Amerika Serikat dari tahun 2005 sampai 2007. Banyak juga yang memanggilnya “Mama” Leymah karena memang bentuk fisiknya yang bongsor dan karakter orangnya yang keras dan kuat bak “Kanjeng Mami”.

Sepintas orangnya tampak menakutkan karena badannya yang besar dan kekar (plus kulitnya yang hitam) laksana “Nyonya Meneer.” Tapi kesan itu segera sirna begitu kita mengenalnya lebih dekat. Memang bentuk fisik badan tidak menjadi ukuran untuk menilai baik-buruk seseorang. Orang yang bertubuh kecil-mungil tidak menjadi jaminan bahwa orangnya berkarakter baik. Lihat saja, misalnya, Adolf Hitler, konselir Jerman kelahiran Austria pembantai jutaan warga Yahudi ini. Orangnya kecil. Kumisnya juga sedikit. Tetapi dunia tahu, betapa ganasnya bekas bos Partai Nazi ini. 

Demikian juga dengan orang yang bertubuh besar-kekar, bukan berarti mereka lantas berhati jahat. Orang-orang Ambon misalnya yang (rata-rata) berbadan kekar, tegap, tinggi, kasar, dan agak hitam—kontras dengan orang Jawa misalnya yang bertubuh mungil dan lemah-gemulai—sering dipersepsikan oleh sejumlah pihak berkarakter buruk. Tetapi jika kita menyelami kehidupan mereka dari dekat, kesan itu hilang sama sekali seperti yang saya alami selama setahun tinggal bersama mereka sewaktu penelitian doktoral. Orang Ambon sering memetaforkan fisik mereka seperti pohon sagu yang bentuknya besar-kekar-kasar tetapi dalamnya putih. Jelasnya, baik-buruk seseorang tidak diukur dari bentuk fisik mereka.

Begitu pula dengan Leymah. Kontras dengan bentuk fisiknya besar-tegar, ia ternyata perempuan yang sangat ramah dan humoris sehingga banyak disukai teman-temannya. Saya juga suka sama Leymah karena orangnya lucu dan periang seperti tidak ada beban dalam hidupnya, meskipun belakangan saya tahu itu keliru. Pada 2006, saat ia merayakan ultah, saya memberikan hadiah buku kumpulan humor. Kalau tidak keliru buku itu berjudul Laughter the Best Medicine. Saat membuka hadiah itu, Leymah tertawa ngakak sampai tubuhnya yang bongsor itu bergoyang-goyang. Ia tunjukkan hadiah itu kepada para profesor dan teman-teman lain yang kemudian ikut tertawa membahana, atau istilah orang Amerika, “laugh out loud” (biasa disingkat lol).       

Leymah juga hobi dansa. Dansa yang ia kuasai bukan dansa ala salsa dari Amerika Latin yang lembut dan erotik itu. Melainkan dansa model Afrika yang keras dan energik. Berbeda dengan tarian salsa yang mengandalkan gerakan gemulai semua anggota tubuh, tarian Afrika ini hanya bertumpu pada goyangan pantat yang kencang dan bertubi-tubi. Supaya sukses berdansa ala Afrika ini dibutuhkan bentuk bokong yang besar dan padat. Mereka, laki-laki atau perempuan, yang berbokong tepos tidak bisa berdansa model ini.   

Selain dansa, Leymah juga gemar mengadakan pesta dengan mengundang teman-temannya, termasuk saya tentunya, ke apartemennya yang sederhana. Di Amerika, ada sebuah tradisi namanya “potluck” dimana setiap orang yang diundang untuk pesta (party) biasanya membawa makanan atau minuman khas daerahnya masing-masing untuk di-share dengan orang lain yang hadir di acara pesta. Jangan bayangkan kalau yang namanya “pesta” ini serba wah. Pesta di Amerika bisa bermacam-macam bentuknya: dari yang super sederhana seperti “tea party” alias “pesta minum teh” (biasanya hanya sejumlah orang saja, kecuali “Boston Tea Party” yang merupakan pesta tahunan warga Boston di Massachussetts untuk merayakan kebebasan dari penjajah Inggris) sampai yang super mewah seperti pesta-pesta glamor para silibritis Hollywood.

Dalam setiap pesta potluck ini, saya biasanya membawa nasi goreng atau makanan cemilan khas Jawa (atau China) seperti onde-onde, nogosari, lumpia, atau apa saja yang bisa dibikin oleh istriku (maklum saya tdak pandai memasak). Ada juga yang membawa minuman: wine, sprite, coca-cola, beer dan seterusnya. Tetapi biasanya yang dibawa adalah makanan khas negara masing-masing (kecuali bagi yang malas masak tentunya!).  Potluck bukan hanya medium untuk berbagi makanan tetapi juga berbagi cerita, informasi, perkenalan, dan diskusi dari masalah yang remeh-temeh hingga masalah besar seperti politik kenegaraan. Jadi tradisi potluck di Amerika ini tidak sekedar tempat “kongko-kongko” atau ajang ngrumpi ala ibu-ibu arisan, tetapi bisa difungsikan sebagai public sphere ala Jurgen Habermas, tempat dimana orang saling bertukar ide.

***

Pada tahun 2011 lalu, betapa kagetnya saya mendengar nama Leymah disebut sebagai salah satu pemenang “Nobel Perdamaian” yang sangat bergengsi itu. Semula saya ragu apakah benar dia adalah Leymah yang saya kenal. Setelah saya cek berita dan foto penerima Nobel, ternyata benar, Leymah menjadi salah satu pemenang Nobel Perdamaian bersama Ellen Johnson Sirleaf (Presiden Liberia) dan Tawakkul Karman (jurnalis dan aktivis muda dari Yaman).

Perempuan kelahiran Liberia, Afrika Barat, pada tahun 1972 silam ini, “diganjar” hadiah Nobel Perdamaian karena dianggap sukses memimpin “gerakan protes” yang mengakhiri Perang Sipil di negaranya pada tahun 2003. Gerakan protes damai yang dimpimpin Leymah ini berhasil memaksa rezim diktator pimpinan Charles Taylor untuk menandatangani perjanjian damai dan membuka kran bagi pemilu demokratis pada 2005. Selain itu, Leymah dianggap layak menerima penghargaan Nobel Perdamaian itu karena, seperti ditulis para juri penilai hadiah Nobel, ia—bersama Ellen Johnson Sirleaf dan Tawakkul Karman—dinilai berjasa dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam politik dan kerja-kerja perdamaian global serta perjuangan damai untuk membela kaum perempuan dari tindakan kekerasan penguasa dan militer.

Liberia yang berpenduduk sekitar empat juta jiwa ini adalah satu-satunya negara di Afrika yang merupakan bekas jajahan Amerika. Kebanyakan negara-negara di Afrika dijajah oleh Perancis, Inggris, atau Italia. Sebagian lagi dijajah Belanda. Kisah tentang negara yang kemudian dikenal dengan Liberia ini dimulai tahun 1820. Pada saat itu para budak di Amerika yang berasal Afrika yang telah dibebaskan dikirim ke kawasan ini. Atas bantuan American Colonization Society—ACS (nama lengkapnya the Society for the Colonization of Free People of Color of America), kaum imigran budak Afrika-Amerika ini kemudian mendirikan sebuah negara baru bernama Republik Liberia pada tahun 1847 dengan ibukota negaranya bernama Monrovia, yang diambil dari nama James Monroe, presiden kelima Amerika dan pendukung utama kolonisasi di Liberia.

Didirikan pada tahun 1817 oleh Robert Finley dari New Jersey, Amerika Serikat, ACS adalah organisasi swasta yang bertujuan untuk memberi suaka otonom bagi para budak (dan keturunannya) yang berasal dari Afrika yang diperbudakkan di Amerika sejak koloni Inggris pada abad ke-16. ACS ini agak mirip dengan gerakan Zionisme yang dibentuk Theodor Herzl pada tahun 1887 yang juga bertujuan untuk mencari “suaka otonom” kaum Yahudi yang kini disebut Israel. Para tokoh ACS berpendapat, Afrika adalah tempat yang cocok untuk suaka para budak Afrika-Amerika dan keturunannya ini. Mereka pun kemudian menemukan daerah yang kini dikenal Liberia itu sebagai “rumah baru” para budak Afrika-Amerika ini.

Karena didukung oleh ACS, sistem politik-pemerintahan di Liberia pun meniru model Amerika, dimana ada sistem eksekutif , legislatif, dan yudikatif. Maka sejak proklamasi pendirian negara ini, Liberia selama 130 tahun—di semua sektor: sosial, politik, ekonomi, dan budaya—dipimpin dan dikuasai oleh kelompok minoritas (sebagai dominant minority) keturunan para budak Afrika-Amerika ini yang kemudian dikenal dengan sebutan Americo-Liberians. Meski berdiri sejak 1847, proses modernisasi masyarakat dan liberalisasi ekonomi di Liberia baru dimulai pada 1940-an dibawah kepemimpinan Presiden William Tubman.

Tahun 1940-an memang era Perang Dunia II dimana Amerika berambisi untuk “memodernkan” negara-negara di Afrika, Timur Tengah, Asia, dan Amerika Latin guna membendung pengaruh komunisme Soviet. Asumsinya adalah, jika negara-negara pasca kolonial Eropa ini maju secara ekonomi, maka mereka tidak bisa dipengaruhi oleh virus-virus komunisme. Pada waktu itu Amerika tidak hanya berambisi memodernkan sistem politik dan ekonomi negara-negara “Dunia Ketiga” saja supaya menjadi pendukung trio “kapitalisme, liberalisme, dan demokrasi,” melainkan juga mendanai proyek-proyek riset ilmiah dengan menunjuk sejumlah ilmuwan sosial terkemuka Amerika—seperti Daniel Lerner, Talcott Parsons, Edward Shils, dlsb—untuk memimpin proyek riset ambisus itu. Hasil-hasil riset mereka inilah kemudian melahirkan sejumlah teori modernisasi dan sekularisasi.

Bencana ekonomi dan politik di Liberia mulai terjadi pada tahun 1980, ketika kudeta militer yang dipimpin Samuel Doe menggulingkan kekuasaan Americo-Liberian pimpinan William Tolbert. Sejak itu Liberia menjadi saksi dua kali Perang Sipil yang memilukan yang mengakibatkan kematian ratusan ribu jiwa dan ratusan ribu pengungsi serta menghancurkan sendi-sendi politik dan ekonomi negeri itu. Perang Sipil pertama terjadi antara 1989-1996. Dipimpin oleh Charles Taylor, kelompok pemberontak National Patriotic Front of Liberia berhasil menguasai pemerintahan Samuel Doe. Ia sendiri tewas dibunuh pemberontak pada 1990.

Terbunuhnya Samuel Doe tidak lantas membuat Liberia aman karena faksi pemberontak terbelah dan saling memerangi. Sampai akhirnya pada 1995, dimana terjadi perjanjian damai antar kelompok pemberontak. Pemilu 1997 digelar yang berhasil mengantarkan Charles Taylor sebagai presiden baru. Sayang, bukannya membawa Liberia ke dalam kedamaian dan kemakmuran, Taylor justru melakukan praktek-praktek pemerintahan yang korup dan kejam. Maka pada 1999, Liberia kembali terlibat Perang Sipil melawan pemerintahan. Kali ini pemberontakan dipimpin oleh Liberians United for Reconciliation and Demoracy. Pada 2003, kelompok kedua pemberontak muncul di bawah bendera Movement for Democracy in Liberia yang membuat suasana politik bertambah kacau.

***

Pada saat Liberia dilanda Perang Sipil kedua inilah, Leymah Gbowee yang juga pemimpin gereja Lutheran ini muncul sebagai sosok “pemberontak damai.” Di bawah bendera Women of Liberia Mass Action for Peace, Leymah memimpin ribuan kaum perempuan selama berbulan-bulan untuk melakukan aksi damai yang kemudian berhasil memaksa Presiden Charles Taylor dan kaum pemberontak untuk menandatangi perjanjian damai di Ghana pada tahun 2003.

Aksi protes yang dilakukan Leymah dan kelompoknya pun tergolong unik. Mereka berdoa dan menyanyikan lagu-lagu perdamaian selama berbulan-bulan di sebuah pasar ikan. Ribuan kaum hawa ini—Kristen dan Muslim—mengenakan pakaian dan kaus serba putih sebagai perlambang perdamaian. Mereka juga membawa poster-poster berisi pesan-pesan perdamaian dan nasehat kepada para pemberontak dan pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi demi kemajuan Liberia. Tidak hanya itu, mereka juga melakukan aksi protes dalam bentuk “perlawanan seksual” (biasa disebut “sex strike” atau “sex boycott” dalam literatur social movements, yakni aksi protes dengan menggunakan atau mengekspresikan simbol-simbol seksualitas seperti telanjang) serta “ancaman karma/kutukan” (curse).

Leymah dan kelompoknya berhasil memaksa Presiden Charles Taylor untuk melakukan perundingan dengan kedua kelompok pemberontak—Liberians United for Reconciliation and Democracy dan Movement for Democracy in Liberia—di istana kepresidenan Ghana. Selama berlangsung perundingan antara kaum pemberontak dan pemerintah itu, Leymah dan kaum perempuan yang dipimpinnya mengepung istana. Mereka tidak membolehkan baik kelompok pemerintah maupun kaum pemberontak untuk keluar ruangan sebelum perjanjian damai diteken. Jika mereka menolak, Leymah dan kaum perempuan akan mengancam melakukan aksi telanjang di publik.

Menurut kepercayaan tradisional warga Liberia, perempuan, terlebih ibu-ibu, yang telanjang di area publik bisa mendatangkan bencana dan kutukan bagi kaum pria. Karena takut terhadap karma atau kutukan jika kaum ibu-ibu nekad telanjang, maka mereka pun akhirnya menyepakati perjanjian damai. Di antara klausul perjanjian damai itu, Liberia menggelar pemilu bebas-demokratis pada 2005. Tim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian mengawal proses perjanjian damai itu sampai dibentuknya pemerintahan baru hasil pemilu itu.

Dalam sebuah artikel khusus tentang Leymah Gbowee, Majalah O, The Oprah Magazine, menulis proses transisi politik dramatik itu sebagai berikut:

The Liberian civil war, which lasted from 1989 to 2003 with only brief interruptions, was the result of economic inequality, a struggle to control natural resources, and deep-rooted rivalries among various ethnic groups, including the descendants of the freed American slaves who founded the country in 1847. The war involved the cynical use of child soldiers, armed with lightweight Kalashnikovs, against the country’s civilian population. At the center of it all was Charles Taylor, the ruthless warlord who initiated the first fighting and would eventually serve as Liberian president until he was forced into exile in 2003.  

Pada pemilu baru yang digelar tahun 2005 ini dimenangkan oleh tokoh politik perempuan bernama Ellen Johnson Sirleaf yang merupakan mantan Menteri Keuangan Liberia era Presiden William Tolbert yang digulingkan dalam kudeta Samuel Doe tahun 1980 itu. Perempuan kelahiran 1938 ini tercatat sebagai perempuan pertama yang menjadi presiden dalam sejarah politik Afrika. Begitu memimpin Liberia, Sirleaf langsung melakukan sejumlah reformasi penting di bidang politik dan ekonomi termasuk memberikan hak-hak penuh kepada kaum perempuan di negaranya untuk melakukan partisipasi politik dan aktivitas publik lain sebagaimana kaum laki-laki. Karena jasanya inilah ia pun ikut dihadiahi Nobel Perdamaian bersama Leymah.

Tentu saja Leymah tidak sendirian dalam memimpin aksi heroik kaum hawa itu. Selain Leymah ada Asatu Bah Kenneth, presiden Liberia Female Law Enforcement Association yang juga pendiri Liberian Muslim Women’s Organization. Leymah dan Kenneth merupakan simbol koalisi damai Kristen-Muslim Liberia yang membawa pengaruh penting bagi hubungan antar agama di negeri itu.

***

Dalam memoir-nya, Mighty Be Our Powers (2011), Leymah berkisah bahwa suatu malam di tahun 2002, saat tertidur di kantornya, Women in Peacebuilding Network (WIPNET), sehabis melakukan pelatihan trauma healing untuk para korban Perang Sipil di negaranya, ia bermimpi mendengar suara gaib, “Kumpulkan kaum perempuan dan berdoalah untuk perdamaian!.” Sejak mimpi itu ia selalu terngiang-ngiang, merasa mendapatkan “wangsit” dan “mandat Tuhan” untuk mengorganisir kaum perempuan dalam aksi damai untuk menghentikan perang dan kekacauan di negaranya sejak meletusnya Perang Sipil tahun 1989.

Bersama tokoh perempuan Muslim, Asatu Bah Kenneth, Leymah kemudian membentuk Women of Liberia Mass Action for Peace yang menjadi medium penggerak aksi protes damai yang mengakhiri kepemimpinan Presiden Charles Taylor itu. Setiap Jum’at, mereka berdua dan kelompok perempuan yang tergabung di lembaga ini pergi ke masjid, setaip Sabtu ke pasar, dan setiap Minggu ke gereja untuk melakukan aksi-aksi damai sekaligus guna menggugah hati-nurani warga lain untuk bergabung dengan mereka bersama-sama menyuarakan perdamaian. Dalam setiap aksinya mereka selalu membawa spanduk atau poster bertuliskan: “We are tired! We are tired of our children being killed! We are tired of being raped! Women, wake up! You have a voice in the peace process!” Selain itu mereka juga membawa gambar-gambar yang mengekspresikan gerakan damai supaya dimengerti oleh mereka yang tidak bisa membaca.

Maka sejak 2002, nama Leymah sudah dikenal luas di negaranya sebagai penggerak kaum hawa untuk melakukan aksi-aksi damai dengan berbagai cara, strategi, dak taktik. Berbulan-bulan bersama ribuan kaum perempuan Kristen dan Muslim, Leymah menjadi pemimpin gerakan perdamaian yang dipusatkan di ibukota Liberia, Monrovia, tempat ia dilahirkan. Ia bergerak melampaui batas-batas etnik dan agama demi terwujudnya perdamaian di negara yang ia cintai. Puncaknya pada tahun 2003 ketika ia dan kelompok perempuan yang dipimpinnya sukses memaksa Presiden Charles Taylor dan kubu pemberontak untuk meneken perjanjian damai di Ghana.

Sejak ia sukses mengantarkan perdamaian bagi negaranya, namanya pun langsung mendunia. Sudah puluhan penghargaan tingkat internasional berhasil ia kantongi seperti John F Kennedy Profile in Courage Award, Gruber Prize for Women’s Rights, John Jay Medal for Justice, Bernard College Medal of Distinction, The New York Women’s Foundation Century Award, hingga Nobel Peace Prize. Oleh Leymah, uang hadiah Nobel Perdamaian ini antara lain digunakan untuk mendirikan lembaga yang ia beri nama Gbowee Peace Foundation of Africa. Eastern Mennonite University, sebagai almamater Leymah juga tidak ketinggalan ikut menghadiahinya sebagai “Alumna of the Year” pada tahun 2011. Prestasi gemilangnya itu pula turut mengantarkannya menjadi “selebritis dunia” menjadi pembicara di berbagai forum internasional serta nara sumber di berbagai media cetak dan elektronik, termasuk acara talk show Oprah Winfrey yang sangat populer di Amerika. Tidak hanya itu, Leymah juga ditawari berbagai kampus terkemuka di Amerika untuk menjadi research scholar, visiting fellow, dan sebagainya, meskipun ia tidak memiliki gelar doktor. Gelar akademik tertingginya adalah master (MA) di bidang Conflict and Peace Studies dari Eastern Mennonite University itu.

***

Prestasi gemilang dan berbagai penghargaan internasional yang diterima oleh ibu lima anak (satu hasil adopsi) ini bukan datang secara tiba-tiba. Sebelum namanya mendunia seperti sekarang, Leymah menjalani masa-masa kehidupan yang penuh penderitaan selama bertahun-tahun. Ia menjadi korban kekerasan suaminya yang kasar yang dinikahinya sewaktu masih remaja. Karena tidak tahan dengan kekerasan dalam rumah tangganya, ia pun memilih cerai. Ketika Perang Sipil pertama meletus, ia dan dua anaknya harus melarikan diri ke Ghana dan terlunta-lunta hidup di pengungsian dengan bekal seadanya. “Waktu itu saya tidak membawa uang sepeser pun,” kenangnya.   

Aktivitasnya di bidang perdamaian dan resolusi konflik di mulai tahun 1998, ketika ia menjadi relawan sosial di Gereja Lutheran St. Peter di Monrovia, Liberia. Setelah setahun menjadi relawan, oleh mentornya, BB Colley, ia diperkenalkan kepada Sam Doe, Direktur Eksekutif West Africa Network for Peacebuilding (WANEP), lembaga perdamaian pertama di Afrika Barat yang berpusat di Ghana. WANEP ini adalah lembaga yang sangat aktif menggalang kaum perempuan, khususnya di negara-negara di Afrika Barat, melalui berbagai konferensi, training, dan workshop tentang peacebuilding, trauma healing, atau restorative justice, agar menjadi aktor-aktor perdamaian dan resolusi konflik di negara mereka masing-masing. Leymah pun direkrut oleh WANEP untuk menjadi peserta workshop di Ghana. Workshop yang diprakarsai WANEP itu mempertemuakan Leymah dengan Thelma Ekiyor, pengacara dan spesialis resolusi konflik dari Nigeria. Atas prakarsa Ekiyor ini, dengan bantuan dana dari WANEP, mereka kemudian membentuk Women in Peacebuilding Network (WIPNET) dan menggelar pertemuan pertama para aktivis perempuan se-Afrika Barat di Ghana.

Dalam memoir-nya, Mighty Be Our Powers, yang diterbitkan oleh Beast Book, New York, Leymah (2011: 112) menulis:

How to describe the excitement of that first meeting…? There were women from Sierra Leone, Guinea, Nigeria, Senegal, Burkina, Faso, Togo—almost all the sixteen West African nations. In her quietly brilliant way, Thelma had handwritten an organizer’s training manual with exercises that would draw women out, engage them, teach them about conflict and conflict resolution, and even help them understand why they should be involved in addressing these issues at all.

Dalam pertemuan para aktivis perempuan ini, Leymah berkesempatan untuk pertama kalinya mengekspresikan penderitaan warga dan kaum perempuan Liberia, termasuk dirinya yang pernah tidur di lantai rumah sakit berhari-hari saat melahirkan anaknya karena tidak mampu membayar biaya perawatan. Thelma Ekiyor pulalah yang kemudian menunjuk Leymah menjadi koordinator WIPNET untuk Liberia. Singkatnya, filosofi perdamaian Leymah pertama kalinya dibentuk oleh dan dipengaruhi oleh para mentor-nya seperti B.B. Colley, Sam Doe, dan Thelma Ekiyor, yang semuanya adalah alumni Eastern Mennonite University (EMU). Saya sendiri juga pernah bertemu dengan Sam Doe saat diundang di kelas untuk berbagi pengalaman kerja-kerja peacebuilding-nya di Afrika.

Melalui “jaringan EMU” ini pula, Leymah kemudian melanjutkan studi master di bidang conflict and peace sudies itu untuk memperdalam kerangka teoretik tentang kekerasan, resolusi konflik, restorative justice, trauma healing, dan pembangunan perdamaian. Di EMU, Leymah, sebagaimana saya, belajar dengan para ahli di bidang ini seperti Lisa Schirch, John Paul Lederach, Hezkiaz Asefa, Howard Zehr, dan masih banyak lagi. Selain itu, visi perdamaian Leymah juga dipengaruhi oleh para “legenda perdamaian” seperti teolog John Howard Yoder, Martin Luther King, Jr., dan Mahatma Ghandi.

Akhirul kalam, kisah Leymah ini memberi pelajaran berharga bahwa semua pencapaian prestasi tertinggi di bidang apapun, selalu diawali dengan kisah perjuangan panjang penuh duka-lara. Perjuangan panjang yang Leymah lakukan selama ini bukan demi “uang proyek,” atau untuk “menghabiskan anggaran,” atau untuk menaikkan citra seperti umumnya dilakukan para politisi dan artis, tetapi betul-betul berangkat dari hati-nurani dan “panggilan dari dalam” untuk menyelesaikan persoalan kelabu dan kemelut politik-ekonomi yang menimpa bangsa dan negaranya.

Jauh sebelum namanya mendunia dan menjadi “selebritis perdamaian” seperti saat ini, Leymah berjuang tanpa kenal-lelah dan tanpa mengharapkan imbalan sepeserpun meski hidupnya penuh kesusahan. Ia juga berjuang tanpa pamrih, tanpa mengharap pujian dari siapapun, apalagi berharap untuk mendapatkan penghargaan ini-itu. Semangatnya untuk menciptakan perdamaian dan kemakmuran negaranya selalu berkobar-kobar. Baginya uang bukanlah segala-galanya untuk pembangunan sebuah perdamaian global. Kemauan keras dan semangat yang membaralah yang menjadi kunci aktivitas-aktivitasnya.

Kisah Leymah juga memberi inspirasi tersendiri bahwa sebuah prestasi tertinggi selalu dimulai dari lika-liku perjalanan panjang, yang tidak jarang penuh dengan penderitaan hidup yang memilukan. Maka barang siapa yang mampu bertahan menjalani berbagai “ritual kepahitan hidup”, maka merekalah yang akan sukses memetik buahnya kelak di kemudian hari. Sebaliknya, mereka yang putus asa di tengah jalan karena tidak tahan menjalani pahitnya “ritual kehidupan” ini, maka ia tidak akan pernah mencapai prestasi tertinggi dalam hidupnya. Akibatnya, ritme hidupnya hanya berputar dari situ kesitu saja. Tidak lebih tidak kurang. Tidak ada jalan pintas di dunia ini.

Saya sungguh beruntung bisa menjadi teman sekelas Leymah, perempuan perkasa dari Liberia, yang banyak memberi pelajaran berharga tentang hidup yang penuh suka-duka, tentang perjuangan perdamaian yang panjang dan melelahkan, tentang penghargaan terhadap kelompok yang tidak diuntungkan dan seterusnya. Namanya akan terus dikenang dan menjadi sumber inspirasi sepanjang masa tidak hanya oleh saya atau oleh bangsa Liberia saja, tetapi juga oleh siapapun di dunia ini yang peduli dengan perdamaian dan keadilan di lingkungan sekitarnya. [SQ]

Artikulli paraprakMembudayakan Islam yang Ramah Lingkungan
Artikulli tjetërPesantren Sebagai Agena Civic Pluralism
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini