Jamak diketahui bahwa Indonesia adalah
negara plural yang dihuni oleh manusia dari berbagai latar belakang etnik,
budaya, dan agama. Karena watak Indonesia yang majemuk inilah, Robert W.
Hefner, profesor saya di Boston University, menyebutnya sebagai negara yang
kaya akan “pluralist endowments” (Hefner 2005: 122). Dari perspektif
sosiologis, realitas bangsa Indonesia yang beragam ini bukan sesuatu yang
“given” atau sunatullah dalam bahasa kaum santri, tetapi merupakan buah dari
proses sosial-budaya yang sangat panjang yang melibatkan berbagai agen atau
aktor sejarah dari berbagai suku-bangsa.
Sejarawan Anthony Reid dalam bukunya yang
mendapat sambutan luas dunia akademik, Southeast Asia in the Age of Commerce
(dua jilid) mengatakan bahwa interaksi manusia dari berbagai latar belakang
agama dan budaya di Indonesia itu sudah berlangsung ribuan tahun jauh sebelum
Kerajaan Sriwijaya di Palembang atau Kerajaan Majapahit di Jawa Timur berdiri.
Sudah sekian lamanya, kepulauan Indonesia menjadi, meminjam istilah almarhum Denys Lombard, “carrefour” atau “persimpangan jalan” (crossroads) beragam manusia dari berbagai negara dan bangsa mulai China, Arab, Persia, Mesir, India, Bengali dan seterusnya. Para turis, pedagang, atau bahkan misionaris baik dari “luar negeri” maupun “dalam negeri” sudah terbiasa singgah di pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara yang membentang dari Aceh sampai Maluku.
Karena peran “Nusantara” sebagai
carrefour aneka manusia, negeri ini mampu mengembangkan, dalam kalimat Hefner
yang meminjam kata-kata Lombard, “a tradition of ethnic hybridity within
civilizational commonality to go with the great cultural flow.” Lebih lanjut,
proses perjumpaan manusia lintas-budaya yang sudah berlangsung ribuan tahun ini
kemudian menghasilkan corak kebudayaan bangsa Indonesia yang warna-warni
(colorful), pluralistik, dan “fuzzy.” Harap kata “kebudayaan” (culture) disini
tidak hanya dimaknai sebagai artifak saja tetapi juga “socially distributed
knowledge and habits.”
Karena telah terjadi proses “peleburan” demikian
lama, agak sulit untuk mencari sesuatu yang “pristine” dari tradisi dan
kebudayaan tertentu di Tanah Air. Jenis lembaga dan tradisi keagamaan tertentu
yang selama ini diklaim asli “pribumi” dan “unik” (baca, hanya ada di
Indonesia) ternyata dijumpai juga di negara-negara lain. Sebut saja model
pesantren beserta santrinya. Sebagian sarjana, seperti de Graaf dan Pigeaud,
tradisi pesantren berakar kuat pada sistem mandala dan ashrama Hindu pra-Islam.
Sementara itu, van Bruinessen menyatakan bahwa sistem pesantren seperti
terlihat saat ini adalah umum dijumpai di Mesir dan Mekkah (khususnya model
Sawlatiyya dan Darul Islam).
Demikian juga karakteristik dan praktek kaum
Muslim “abangan” di Jawa yang ditandai dengan (1) pemujaan terhadap leluhur
atau danyang; (2) kepercayaan atas roh dan mahluk halus melalui sacrificial
meals sebagai bentuk utama ritual; serta (3) aneka mistisisme yang menekankan
kesatuan kekal Tuhan dan manusia, bisa dijumpai di Mesir seperti ditunjukkan
dalam buku klasik karya antropolog budaya William Lane, Manners and Customs of
the Modern Egyptians (terbit pertama tahun 1836). Karena didorong ingin
mendalami lebih jauh kultur masyarakat Mesir yang didominasi oleh etnik Arab
ini, Lane kemudian belajar bahasa Arab dan mengadopsi “gaya hidup” Arab. Ia
kemudian menerapkan sejenis “participant observation” yang menjadi ciri
penelitian antropologis dengan hidup dan bergaul bersama orang-orang Mesir.
Setelah meneliti cukup lama, hasilnya sangat
mengejutkan. Karya ini berhasil mendeskripsikan secara detail tata-cara,
tradisi, adat-istiadat, dan kebudayaan masyarakat Muslim Mesir mulai tradisi
pendidikan dan sistem pemerintahan sampai adat nikah, ritual kelahiran, ritus
penguburan dan kematian, musik, tari, dunia megis, pemujaan roh leluhur dlsb
persis sebagaimana dipraktekkan kelompok “Islam abangan” Jawa.
Hal ini menunjukkan bahwa ide dan
praktek “Islam abangan” berakar kuat pada sejarah dan tradisi Islam itu
sendiri, dan bukan bersumber dari Hinduisme, animisme, atau spiritisme
pra-Islam seperti dikemukakan sejumlah sarjana dan pengamat Islam Indonesia.
Temuan Lane ini merontokkan tesis klasik yang dipelopori Raffles, van Leur,
Kern, Kraemer, atau Geertz yang mengatakan bahwa jenis atau varian, sebut saja
“Islam abangan” di Jawa khususnya adalah berasal atau warisan dari tradisi
keagamaan Hindu-Budha Majapahit.
***
Perjumpaan lintas-budaya masyarakat Indonesia
itu tidak hanya melahirkan bentuk tradisi dan kultur yang bersifat majemuk
tetapi juga mampu menghasilkan sikap pluralis dan toleran warga di bumi pertiwi
ini terhadap berbagai jenis kebudayaan yang berlainan. Seperti dilaporkan oleh
para pengembara awal di negeri ini sebut saja Tome Pires (Portugis), Ma Huan
(China), Edmund Scott, de Houtman (Belanda), atau Ibnu Batutah (Maghrib),
penduduk setempat sudah lama terbiasa bergaul dengan orang luar dan menyerap
aneka tradisi dan kebudayaan mereka: makanan, pakaian, musik, seni, sampai
pengetahuan dan falsafah hidup. Tapi semua ini bukan berarti bahwa penduduk
“pribumi” hanya semata-mata berfungsi sebagai “penerima pasif” bukan “aktor
aktif.”
Dalam setiap pertemuan kebudayaan (cultural
encounter) selalu terjadi “take” and “give.” Tidak ada istilah “center” yang
dominan yang berperan sebagai “produsen budaya” dan “periphery” yang marijinal
yang berfungsi sebagai “konsumen budaya.” Di tingkat masyarakat di luar
“negara-kerajaan,” semua berlangusung dalam suasana dialog yang sehat, normal,
natural, dan peaceful. Bahwa telah terjadi konflik dan ketegangan antara “yang
global” dan “yang lokal” adalah fenomena wajar dalam sejarah interaksi
antar-manusia, akan tetapi konflik itu—seperti ditunjukkan dalam studi Reid dan
Lombard—tidak berubah menjadi konfrontasi dan kekerasan sosial.
Respons positif atas pluralitas yang
diwariskan para pendahulu bangsa itu kemudian “dilembagakan” oleh para founding
fathers bangsa Indonesia dalam bentuk motto nasional yang sangat populer:
Bhinneka Tunggal Ika yang bisa diterjemahkan sebagai “kesatuan dalam keragaman”
(unity in diversity). Motto ini jelas merupakan bentuk dari kesadaran global
para pendiri bangsa ini atas realitas pluralitas bangsa Indonesia.
Dalam literatur ilmu-ilmu sosial kontemporer,
reaksi positif para founding fathers ini bisa disebut sebagai “pluralisme,”
yang oleh Diana Eck didefinisikan sebagai “the energetic engagement with
diversity”—atau katakanlah, sebuah pergumulan intensif terhadap fakta
keberagaman atau pluralitas itu. “Pluralism is not the sheer fact of plurality
alone, but is active engagement with plurality,” tulis Eck (2003: 191). Diana Eck menjelaskan panjang-lebar tentang
pluralisme ini dalam bukunya yang sangat menarik: Encountering God.
Dalam moto Bhinneka Tunggal Ika
mengandung makna yang begitu dalam berupa kesadaran atas pentingnya menyikapi
kemajemukan dalam bingkai “positif-konstruktif,” bukan sebaliknya:
“negatif-distruktif” seperti ditunjukkan para kaum militan agama termasuk
kalangan Muslim radikal di Indonesia. Penting untuk diketahui bahwa moto itu
tidak semata-mata “temuan instan” dan temporal melainkan hasil dari proses
pergumulan pemikiran panjang berdasarkan pada praktek pluralis-toleran para
leluhur bangsa Indonesia. Karena itu kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” itu bukan
hanya semata-mata “cermin atas” keragaman bangsa akan tetapi juga mengandung
sebuah harapan dan idealitas Bangsa Indonesia ke depan.
***
Setidaknya ada empat pendekatan dalam menyikapi
fakta pluralitas atau katakanlah “tafsir atas pluralitas” ini:
Pertama adalah eksklusi atau pengucilan diri
atas segala sesuatu yang baru dan dianggap asing yang berasal dari luar
kelompok dan agamanya. Bagi kaum eksklusif, pengucilan atau “pengurungan diri”
merupakan cara efektif untuk mempertahankan atau membentengi tradisi keagamaan
dan kebudayaan mereka dari pengaruh unsur-unsur asing. Meskipun mereka bersikap
“eksklusif” (hanya mau bergaul dengan kelompoknya sendiri) tetapi bukan berarti
mereka bersikap keras terhadap orang dan kelompok lain.
Contoh dari bentuk eksklusi ini adalah
komunitas Amish dalam tradisi Kristen Amerika. Mereka tinggal jauh dari kota,
mengisolasi diri dari keramaian, dan hidup mengelompok dengan cara membentuk
“koloni” sendiri. Tidak seperti warga Kristen lain yang “modernis,” mereka
menolak memakai mobil, listrik, tv, radio, dan segala jenis produk teknologi
modern. Kendaraan sehari-hari mereka adalah delman, sementara alat penerang
yang biasa mereka pakai adalah sejenis “lampu sentir” seperti di
pedesaan-pedesaan Jawa. Bagi mereka teknologi modern adalah sejenis “bid’ah”
yang bisa merusak kemurnian ajaran kekristenan. Selain itu, mereka juga
berpandangan bahwa teknologi modern adalah semacam “kenikmatan dunia” yang bisa
membuat manusia lalai mengabdi kepada Tuhan.
Kedua, asimilasi atau pandangan yang menyambut
dengan baik kelompok luar asal dengan syarat mereka bersedia menanggalkan
tradisi dan kebudayaan mereka untuk kemudian “meleburkan diri” ke dalam arus
tradisi dan kebudayaan kelompok dominan tertentu. Contoh terbaik tentang ini
adalah proses asimilasi terhadap etnis China di Indonesia yang dikampanyekan
oleh pemerintah Orde Baru. Contoh lain adalah proses peng-Islam-an penduduk
“Kafiristan” di Afghanistan sebelum berubah nama menjadi “Nuristan.” Asimilasi
dalam batas tertentu juga terjadi atas warga Shi’ah di beberapa kawasan Arab
atau negara-negara yang didominasi Sunni (Pakistan, Afghanistan, dll), atau
warga Sunni di daerah yang secara sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan
dikontrol oleh Shi’ah seperti Iran.
Ketiga, destruksi, yakni pendekatan menyikapi
kemajemukan dan perbedaan dengan sikap kekerasan. Contoh pendekatan destruktif
ini adalah seperti apa yang dilakukan oleh kaum Wahabi di Arab Saudi dan
kelompok-kelompok Islam garis geras “semi-Wahabi” di Indonesia belakangan ini.
Atas nama menegakkan Al-Qur’an dan memurnikan ajaran Islam, kaum Muslim
“tengil” atau katakanlah “Islam Pentungan” ini dengan bengisnya menghancurkan
individu dan kelompok keagamaan tertentu yang mereka anggap telah menyimpang
dari “kanon resmi” Islam.
Keempat, adalah pluralisme, yakni sikap atau
pandangan positif-empatik terhadap kemajemukan budaya dan agama. Bagi kaum
pluralis, perbedaan dan keberagaman itu bukan disikapi dengan sikap sinis dan
mata mendelik seperti ditunjukkan kelompok “Islam Pentungan” akan tetapi
direspons dengan sikap ramah dalam bingkai persahabatan dan kebersamaan dengan
tetap menghargai keunikan, perbedaan, dan kemajemukan masing-masing. Kaum
pluralis akan mengatakan: “come as you are, with all your differences……and
be yourselves.” Bagi mereka keragaman bukanlah aib sosial yang harus dibasmi
dari muka bumi melainkan sebuah potensi yang mampu memperindah sebuah taman
dunia. Jika dunia ini diibaratkan sebagai “taman bunga,” kaum pluralis akan
membiarkan aneka bunga yang warna-warni itu hidup dalam sebuah taman karena
mereka memiliki hak yang sama: yakni hak untuk hidup. Tidak ada bunga yang
lebih indah dan unggul dari pada yang lain karena masing-masing memiliki
keunikan. Inilah sikap pluralis yang oleh para ilmuwan sosial disebut “civic
pluralism,” yakni sebuah kultur publik yang menggaransi persamaan hak setiap
warga negara serta berwatak tolerance-in-pluralism.
Dalam konteks bangsa Indonesia yang pluralistik,
maka pluralisme civic adalah jenis “tafsir” terbaik untuk menyikapi kemajemukan
etnis, budaya, dan agama negeri ini. Pesantren sebagai kekuatan civil society
yang berwatak pluralis dan toleran sudah sepatutnya menjadi agen “civic
pluralism” ini untuk menjaga kosmos Indonesia agar tetap damai dan harmonis.
Di tengah munculnya sejumlah kelompok keislaman garis keras yang radikal-militan yang hobi-nya melakukan tindakan kekerasan, maka pesantren harus tampil ke depan sebagai “vanguard” gerakan-gerakan keislaman yang bercorak toleran-pluralis demi terciptanya stabilitas bangsa, kehidupan harmoni, perdamain sejati, democratic civility, dan citizenship culture yang menghargai hak-hak setiap warga negara yang hidup di bumi Indonesia, serta bebas dari segala bentuk kekerasan agama yang hanya menambah kesengsaraan dan penderitaan rakyat [].
Sumber: http://www.pondokpesantren.net/