Beranda Opinion Bahasa Menggali Sejarah Lewat Tradisi Lisan

Menggali Sejarah Lewat Tradisi Lisan

1881
1

Sudah sangat lama dunia akademik dan keilmuan kita dipengaruhi oleh apa yang disebut “tradisi tulisan”. Maksudnya adalah “tulisan” dijadikan sebagai satu-satunya parameter untuk mengukur keilmiahan sebuah wacana akademik. Singkatnya, yang tertulis (dalam bentuk buku, manuskrip atau dokumen lain) dianggap yang ilmiah karena memenuhi kriteria “logos” sementara yang tidak tertulis (sebut saja tradisi lisan) dianggap tidak ilmiah, tidak rasional karena hanya memuat mitos dan karena itu tidak bisa dijadikan sebagai basis rekonstruksi kesejarahan, tidak bisa dijadikan sebagai sumber penulisan “buku ilmiah”.

Saya pernah dikritik oleh sejarawan asal Bangladesh dalam sebuah seminar di Jogjakarta karena buku yang saya tulis, Arus China-Islam-Jawa, dianggap tidak memenuhi standar ilmiah hanya karena buku-buku referensi yang saya pakai sangat minim dan lebih banyak menggali lewat tradisi lisan yang berkembang di masyarakat dalam melakukan rekonstruksi sejarah muslim China di Jawa.

Sikap sejarawan Bangladesh yang menolak penggalian sejarah lewat tradisi lisan karena dianggap mitos—dan karena itu tidak ilmiah—tadi adalah “exemplary” dari para sejarawan kita yang mengabaikan tradisi lisan. Tentu tidak semuanya para historian kita menolak tradisi lisan seraya membela mati-matian tradisi tulisan. Meskipun demikian, yang menerima tradisi lisan pun masih bersikap “setengah hati” dan menerimanya sebagai sumber kelas dua atau bahkan “keterpaksaan intelektual” karena tidak adanya sumber tertulis. Mereka belum bisa menempatkan “tradisi lisan” sejajar dan memiliki otoritas yang sama dengan “tradisi tulisan” dalam upaya rekonstruksi sejarah.

Sikap demikian tentu sangat menyedihkan. Apakah mereka (para akademisi dan sejarawan kita) tidak menyadari bahwa pandangan demikian sebetulnya merupakan bagian dari “penjajahan Barat” atas negara berkembang? Kita tahu “tradisi tulisan” adalah bagian dari kebudayaan masyarakat Barat yang sudah lama “tercerahkan” dan “modern” sementara “tradisi lisan” tentu saja identik dan diidentikkan dengan negara berkembang yang “terbelakang” (untuk tidak menyebut “primitif”).

Perdebatan antara otoritas “lisan” dan “tulisan” dalam wacana ilmiah adalah side effect dari pertentangan antara “mitos” dan “logos” di dunia Barat. Jika kita telusuri lebih jauh, para ilmuwan Barat yang menolak keras mitos adalah akibat dari pengaruh rasionalisasi dan saintifikasi yang berkembang pesat di Barat di abad pertengahan. Puncaknya pada abad ke-18, ketika mereka meraih sukses luar biasa di bidang sains dan teknologi. Dari situ mereka berpikir bahwa logos adalah satu-satunya sarana menuju kebenaran. Mereka mulai menganggap mitos sebagai kesalahan dan takhayul belaka yang bisa menyesatkan.

Dalam pandangan mereka, logos adalah sebuah pemikiran rasional, pragmatis, ilmiah yang memungkinkan manusia berfungsi dengan baik di dunia. Tidak seperti mitos, agar bisa efektif, logos harus berkaitan persis dengan fakta-fakta dan bersesuaian persis dengan realitas eksternal. Dari sinilah kemudian mereka melakukan “propaganda intelektual” baik melalui kolonialisme konvensional yang berujung pada pembudayaan dan atau pemodernan negara miskin maupun lewat kolonialisme modern dengan menyelundupkan ilmu-ilmu sosial Barat di berbagai dunia akademik yang bercorak “Barat sentris.” 

Saya tidak menolak “prinsip-prinsip logos” dalam wacana ilmiah. Hanya saja kekeliruan C.C.Berg (propagandis teori logos) dan sejumlah ilmuwan Barat lain terletak pada upaya untuk mengukur mitos dari perspektif logos. Beranggapan bahwa yang “tidak rasional,” “tidak ilmiah,” “tidak pragmatis” (baca, tidak sesuai dengan prinsip logos) dengan sendirinya tidak berguna untuk kepentingan rekonstruksi kesejarahan adalah pemikiran yang keliru dan ceroboh. Mitos, seperti diuraikan Johannes Sloek dalam Devolutional Language, masih berguna terutama untuk melihat kembali asal-muasal kehidupan, dasar kebudayaan, dan tingkatan terdalam pikiran manusia. Mitos berurusan dengan makna, tidak berurusan dengan masalah-masalah praktis. Manusia akan mudah terperosok ke dalam keputusasaan jika mereka tidak menemukan makna dalam hidup mereka.

Mitos dalam suatu masyarakat memberi manusia konteks yang membuat kehidupan rutin mereka masuk akal. Mitos mengarahkan perhatian mereka pada yang abadi dan yang universal. Mitos berakar pada alam pikiran “bawah sadar”. Berbagai kisah mitologis yang tidak dimaksudkan untuk diartikan secara harfiah merupakan bentuk kuno dari psikologi. Kisah-kisah dunia mitologis itu meskipun tidak bisa dimasuki oleh penelitian rasional murni, namun berakibat besar terhadap perilaku dan pengalaman kita. Akibat kurangnya apresiasi mitos dalam masyarakat modern mereka harus mengembangkan ilmu psikoanalisis untuk membantu memahami dunia batiniahnya.

Logos tidak mampu mengarungi “alam bawah sadar” yang terbatas. Logos tidak mampu mengurangi kesedihan, keperihan dan kegetiran manusia. Argumen rasional juga tidak mampu memahami tragedi. Inilah perlunya mitos. Mitos memang tidak bisa ditunjukkan dengan bukti-bukti rasional. Manfaatnya lebih bersifat intuitif. Ia serupa dengan seni, musik atau puisi. Ia bagaikan notasi musik yang tetap tidak bisa dimengerti bagi kebanyakan kita, sehingga notasi itu perlu ditafsirkan secara instrumental agar kita dapat menikmati keindahannya. Realitas inilah yang tidak ditangkap oleh para “propagandis logos” baik mereka yang ada di Barat maupun di negara kita sendiri.

Dari sinilah kita perlu melakukan pembacaan ulang atas “indikator keilmiahan” jangan hanya tunduk begitu saja pada logika-logika ilmiah yang dibangun Barat. Kita mesti punya perspektif keilmiahan sendiri yang dibangun dari akar kebudayaan kita. Bangsa ini mempunyai warisan kebudayaan, tradisi  dan kesejarahan yang melimpah, dan itu hanya memungkinkan jika penggalian sejarah dilakukan dari perspektif tradisi lisan. Jangan hanya karena tidak ada sumber tertulis kemudian kita menyerah tidak mau melakukan eksplorasi intelektual karena berdalil: yang tidak tertulis adalah tidak ilmiah, tidak rasional, cerita fiksi, mitos. Atau sebetulnya ketidakmauan itu bukan lantaran dalil tadi tetapi lebih pada watak “kemalasan intelektual” (intellectual laziesness) yang menjangkiti para akademisi dan sejarawan kita?

Artikulli paraprakMenghidupkan “Tradisi Averroisme” dalam Islam
Artikulli tjetërKontroversi Tentang Busana Perempuan di Arab Saudi
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

1 KOMENTAR

Komentar ditutup.