Sudah saatnya umat Islam perlu merumuskan semacam “format ideal” kepolitikan ke depan di tengah kemajemukan budaya (multikulturalisme) dan beragamnya etnis dan tradisi keagamaan seperti Indonesia ini. Pencarian “format ideal” itu berangkat dari sebuah keprihatinan mendalam atas realitas kepolitikan Islam selama ini yang cenderung praktis-pragmatis (pro kekuasaan) ketimbang mengembangkan model kepolitikan yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Berkaitan dengan ini, ada satu pertanyaan mendasar: mengapa para kiai dan ulama di negeri ini lebih suka berpolitik praktis-kekuasaan ketimbang mengembangkan model “politik kultural-kerakyatan”? Atau katakanlah, mengapa “politik kerakyatan” kalah populer ketimbang “politik  kekuasaan”?

Selain alasan pragmatisme, “kemaruk kekuasaan” dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang sudah dibahas banyak orang, saya menduga mereka kekurangan basis resources teks politik Islam. Kita tahu bagi kiai/ulama, teks menempati posisi penting. Hampir tidak ada keputusan sekecil apapun yang tidak merujuk pada teks keagamaan. Dengan demikian, teks menduduki maqam sentral dalam wacana kepolitikan Islam.

Masalahnya adalah banyak para ulama yang menyandarkan diri secara ketat (hanya?) pada mainstream politik Sunni terutama yang dikembangkan para ulama Sunni mazhab Abbasyiah. Karena itu setiap pembicaraan yang menyangkut mengenai kepolitikan, rujukan utama para ulama adalah kitab-kitab politik (fiqih siyasah) yang ditulis para ulama Sunni zaman Dinasti Abbasyiah ini dari Ibnu Muqaffa, Abu Ya’la, Ibnu Jama’ah, al-Tharthusi, dan terutama al-Ghazali dan al-Mawardi. Mereka inilah yang mula-mula merumuskan “dasar-dasar pemerintahan” (al-ahkam al-sulthaniyah). Padahal corak kepolitikan Islam yang dikembangkan para ulama klasik ini—dengan pengecualian di sana-sini tentunya—adalah corak kepolitikan pragmatis yang sangat akomodatif terhadap kekuasaan bukan kerakyatan.

Jika kita menelusuri teks-teks skriptural khususnya yang berkaitan dengan kepolitikan yang ditulis para ulama periode Abbasyiah ini, kita akan segera tahu yang menjadi bahasan utama di situ adalah tentang hal-ihwal penguasa, sifat-sifat yang mestinya dimiliki serta bagaimana rakyatnya bisa mematuhi segenap titah penguasa, juga bagaimana terciptanya stabilitas, ketenteraman, serta tidak terjadi kekacauan dan konflik. Singkatnya, tentang “kedaulatan penguasa”.

Maka muncullah istilah-istilah seperti tawazun (seimbang), tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan ta’addul (berkeadilan) yang selama ini menjadi “merek dagang” golongan Sunni. Oleh karena itu, seperti dikatakan Hasan Hanafi, pemikir “kiri Islam” dari Mesir dalam Min al-Aqidah ila al-Tsaurah (“Dari Teologi Ke Revolusi”), dalam ajaran Sunni, politik dijadikan sebagai salah satu cabang dari cabang-cabang fiqih (far’un min furu’ fiqhiyyah), bukan pokok-pokok atau dasar-dasar agama (ashl min ushul al-din) seperti dipedomani Syi’ah, Khawarij dan kalangan Falasifah.

Salah satu konsekuensi dari pengukuhan imamah (baca, kepemimpinan politik) sebagai “cabang dari cabang-cabang fiqih” bukan “dasar dari dasar-dasar agama” adalah miskinnya teori-teori tentang etika sosial dan politik dalam tradisi politik Sunni. Dalam kerangka politik Sunni, jarang atau bahkan tidak pernah dibicarakan peran masyarakat dalam penyelenggaraan kekuasaan, partisipasi kalangan minoritas dalam politik (baik minoritas etnis maupun agama), mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap negara, akuntabilitas penguasa terhadap publik serta hal-hal lain yang terkait dengan politik dalam masyarakat.

Mungkin merasa sudah keenakan menjadi patron penguasa sehingga para ulama ini mengabaikan masalah politik dalam konteks kerakyatan. Para ulama yang saya sebut di atas memang patron penguasa dan menduduki posisi penting dalam struktur kekuasaan sebagai hakim agung, sekretaris negara, juru bicara kenegaraan atau imam istana. Saya ingin menyebut model kepolitikan Islam klasik periode ini sebagai “politik pragmatis”. 

Corak kepolitikan yang dikembangkan para ulama Sunni periode Abbasyiah di atas sangat berbeda dengan model kepolitikan yang dikembangkan Syi’ah atau Khawarij dan terutama kaum Falasifah. Mereka ini menjadikan politik bukan sebagai “cabang-cabang fiqih” sebagaimana ulama Sunni Abbasyiah melainkan sebagai “pokok-pokok agama” sehingga menjadikan persoalan politik tetap hangat dan membara di tengah masyarakat serta bermakna bagi perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni negara. Sayangnya, Khawarij dikenal anarkis dan tidak mengenal nalar politik tertentu sementara Syi’ah dikritik karena terlalu dominannya tradisi imamah yang disandarkan pada imam-imam mereka.

***

Generasi Islam yang otoritatif menentang konsep “kedaulatan penguasa” yang dikembangkan ulama Sunni Abbasyiah ini berasal dari tradisi Falasifah, tepatnya tradisi Averroisme. Saya menyebut kelompok ini sebagai “mazhab Andalusia” karena memang lahir di masa Dinasti Andalusia (sekarang kawasan Spanyol) atau yang populer disebut Daulah Umayah II, pasca runtuhnya Daulah Abbasyiah. Tradisi ini dibangun oleh para pendukung filsafat Yunani dari kalangan umat Islam klasik yang mengedepankan kritik terhadap monarki absolut seperti yang diajarkan Plato dan Aristoteles.

Mereka adalah Ahmad bin Yusuf, Ibnu Bathriq, Ibnu Bajjah dan puncaknya Ibnu Rusyd (di Barat terkenal dengan Averroes). Pada masa Ibnu Rusyd ini ditemukan satu penegasan tentang “kedaulatan rakyat” sebagai kritik atas konsep “kedaulatan penguasa”. Ibnu Rusyd, yang demikian populer di Barat, secara tegas menyatakan, “Tidak ada kedaulatan dalam demokrasi kecuali di tangan warga negara dan rakyat serta sesuai dengan hukum-hukum dasariah fitriyah yang menghargai kebebasan manusia” (la siyadah fi dakhil al-madinah al-jama’iyah illa bi iradati musawwadin wa tabqan lil qawanin al-ula al-fithriyyah”). Pernyataan ini, ia kemukakan dalam kitab al-Dlaruri fi al-Siyasah: Mukhtashar Kitab al-Siyasah li Aflathun. Kitab ini sebagian merupakan komentar Ibnu Rusyd atas Republic-nya Plato dan Nicomachean Ethics-nya Aristoteles.

Karena menghargai hak-hak manusia (human rights) sebagai manusia sejak lahir (fitriyah/natural) dan bukan melihatnya dari aspek agama, gender, etnis dan kelompok primordial lain, Ibnu Rusyd kemudian dikenal sebagai perintis liberalisme politik yang melapangkan jalan bagi demokrasi Barat. Ini bisa kita lihat misalnya dalam pemikiran Rousseau tentang state of nature dan civil society. Pada Ibnu Rusyd juga kita kenal sekularisasi politik, pemisahan agama & negara, gagasan tentang kedaulatan rakyat dan juga egalitarianisme.

Dalam buku ini, ia juga membenarkan perempuan sebagai kepala negara dan diakuinya masyarakat non Muslim sebagai citizen yang memiliki hak penuh sebagai warga negara sebagaimana umat Islam—sebuah gagasan yang diharamkan oleh para ulama mazhab Abbasyiah. Tidak sebatas itu, melalui konsep al-madinah al-jama’iyah yang merupakan terjemahan dari demokrasi (madinah = kratos, jama’iyah = demos), Ibnu Rusyd juga dikenal sebagai pengkritik ideologi militerisme yang gigih. Bagi Ibnu Rusyd, kekuasaan yang dikendalikan oleh militer bukan hanya menyebabkan lemahnya supremasi sipil tetapi juga hancurnya nilai-nilai demokrasi. Contohnya ya Ibnu Rusyd sendiri yang dipenjara dan diasingkan oleh rezim militer sementara karya-karya kritisnya dibredel sang rezim. Buku al-Dlaruri fi al-Siyasah sendiri yang selesai ditulis 1322 M juga disita dan dibakar. Untungnya naskah ini sempat diselamatkan oleh seorang Yahudi Andalusia bernama Rabbi Samuel Bin Judah dari Marseilles (kini wilayah Perancis) dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Ibrani sehinga tersebar ke Eropa melalui versi Latin.

Sayang sekali umat Islam tidak mengenal sosok Ibnu Rusyd ini secara lengkap. Mereka umumnya hanya mengenal Ibnu Rusyd sebagai ahli fiqih dan ushul fiqh melalui kitabnya Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid yang sudah tidak asing lagi di dunia pesantren. Sementara sisi lain dari Ibnu Rusyd sebagai filsuf, teoritikus politik kerakyatan dan dokter tidak begitu dikenal di dunia Islam meskipun sangat populer di dunia Barat. Ibnu Rusyd ini juga menulis kitab al-Kulliyat fi al-Thib (General Rules on Medicine) yang terdiri atas 16 jilid sehingga mengantarkan namanya sebagai ahli kedokteran terkemuka.

Diduga Renaissance Eropa pada abad pertengahan karena diinspirasi oleh para pemikir muslim dari Andalusia terutama pemikiran-pemikiran politik Ibnu Rusyd seperti dinyatakan Peter De Berg, ketua Unesco Features dalam tulisannya “Telling the Truth in Another Language.” Itu bisa dimaklumi mengingat Andalusia, 800-an tahun lalu merupakan pusat peradaban dunia dengan kemajuan di bidang sains, arsitektur kebudayaan, sastra, filsafat, musik dan ilmu pengetahuan lain di saat Barat sedang “buta huruf.”

Pada waktu itu banyak para mahasiswa Eropa dari berbagai agama yang menjadi murid di Toledo Islamic Academy of Translation di Andalusia. Karena itu jangan heran jika di kemudian hari kita temukan beberapa karya sarjana Barat yang mirip dengan karya para pemikir muslim. Perintis metode empirisme, Roger Bacon dan Francois Bacon diduga mengadopsi karya sosiolog besar muslim, Ibnu Khaldun. Ini dinyatakan oleh J.W. Draper dalam History of the Conflict between Religion & Science.

Di bidang sastra, karya Cervantes yang sangat terkenal, Don Quixote, diduga diadopsi dari karya Said Hamid Bin Anjeli. Karya Dante yang sangat tersohor Divina Commedia (Komedi Tuhan) diduga kuat terinspirasi oleh karya Muhyiddin Ibnu Arabi, seorang sufi kontroversial yang juga dari Andalusia. Dan jangan lupa drama Shakespeare “All is will what ends well” konon terpengaruh karya “Alfu Lailah wa Lailah” (Seribu Satu Malam”). Sayang dunia Islam kurang bergairah mewarisi tradisi intelektualisme yang dibangun para pemikir muslim generasi Andalusia ini. Sementara Barat yang bukan muslim justru bersemangat untuk memetik buah pikiran cemerlang para pendahulu kita. Karena itu jangan menyesal jika Barat kemudian tampil gemilang sementara dunia Islam terpuruk dalam keterbelakangan.

Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya ingin merekomendasikan agar wacana kepolitikan yang umat Islam bangun tidak hanya melulu didasarkan pada kitab-kitab klasik warisan Dinasti Abbasyiah yang sangat “kompromistik” dan menjunjung tinggi “kedaulatan penguasa” tetapi juga tradisi Averroisme yang kritis, egaliter, anti-militerisme dan yang lebih penting lagi adalah menjunjung semangat “kedaulatan rakyat” alias supremasi sipil.

Artikulli paraprak“The Rising Star” Barack Obama
Artikulli tjetërMenggali Sejarah Lewat Tradisi Lisan
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini