Beranda Opinion Bahasa Mengsinergikan “NU Politik” dan “NU Kultural”

Mengsinergikan “NU Politik” dan “NU Kultural”

935
0

Muktamar NU ke-31 yang digelar di Donohudan baru saja usai. KH MA Sahal Mahfudh dan KH Hasyim Muzadi terpilih kembali untuk kedua kalinya sebagai Rais ‘Aam dan Ketua Umum PBNU masa bakti 2004-2009—sesuatu yang sebetulnya bukanlah unpredictable. Selain masalah kepemimpinan, ada sejumlah hal atau isu yang menarik untuk dicermati selama berlangsungnya Muktamar terutama menyangkut persoalan pemikiran keagamaan (keislaman) dan wacana kepolitikan.

Dalam bidang pemikiran keislaman, satu hal yang ramai diperbincangkan adalah soal penolakan gagasan Islam liberal karena dipandang (sebagian besar) peserta Muktamar sebagai “sesat dan menyesatkan” dan sudah keluar dari garis-garis besar haluan Ahlussunah wal Jama’ah sebagai paham teologi resmi yang dianut NU. Karena itu, Muktamar memutuskan siapa saja kader NU yang terlibat dalam “jaringan Islam liberal” (liberal Islam network), maka tidak boleh menjabat struktur kepengurusan NU. Kata “liberal” disini tidak hanya mengacu pada gagasan yang diusung Jaringan Islam Liberal (JIL) di bawah koordinator Ulil Abshar-Abdalla tetapi juga setiap ide-ide keislaman yang (dianggap) “menyimpang” dari “kanon resmi” Ahlussunah wal Jama’ah (Sunni) sebagai paham mayoritas yang dianut dunia Islam termasuk NU. Inikah tanda-tanda bangkitnya arus konservatisme baru di tubuh NU?

 “Islam Liberal” Anti Islam?

Pemikiran yang menolak gagasan “Islam liberal” di NU seperti tampak di Muktamar adalah sebuah kemunduran sejarah pemikiran Islam NU yang selama ini erat dengan gagasan “liberal” terutama sejak 1980-an sampai-sampai banyak pengamat bilang NU sebagai kelompok “tradisional liberal.” Trade mark NU sebagai ormas Islam liberal ini misalnya ditunjukkan dengan gagasan fiqih sosial yang diperjuangkan para kiai terutama lewat forum halqah (forum sarasehan “kiai kultural” yang diadakan P3M dan RMI—sebuah lembaga perkumpulan pesantren) sebagai respon dinamika masyarakat dan perkembangan zaman. Jika diamati lebih seksama fiqih sosial ini adalah “fiqih liberal” yang lahir dari kaum tradisional.

Lebih dari itu, pemikiran anti gagasan liberal dalam wacana keislaman juga sangat membahayakan sekaligus ancaman bagi demokrasi pemikiran dan supremasi akal yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Banyak teks-teks keislaman yang menghargai optimalisasi peran akal dalam proses pemikiran untuk mewujudkan kemaslahatan dan keadilan sosial yang menjadi inti ajaran Islam. Memelihara akal (hifdz al-aql) juga bagian dari tujuan syara’ (baca, maqashid syari’ah) di samping menjaga agama (hifdz al-din), menjaga harta (hifdz al-mal) dan seterusnya seperti dirumuskan para ulama klasik.

Pelarangan gagasan Islam liberal juga berlawanan dengan spirit dan tradisi intelektual Islam sejak masa Nabi Muhammad yang dibangun di atas basis “liberalisme” dan “sekularisme”. Bukankah Muhammad sebagai nabi juga seorang “liberal” dan “sekuler”? Jika Muhammad seorang konservatif, maka dia tidak perlu bersusah payah melawan dominasi dan hegemoni Quraisy baik dalam pengertian politik maupun keagamaan. Muhammad juga seorang pribadi yang terbuka dan demokratis. Bukti keterbukaan dan watak demokratisnya adalah diterimanya sejumlah gagasan “nakal” dan “liberal” yang dilakukan sejumlah sahabat terutama Umar Bin Khattab. Umar ini dalam sejarah Islam dikenal sebagai tokoh “Islam liberal” klasik yang sangat brilian. Intelektual sekaligus sastrawan Mesir ternama, Muhammad Husain Haekal (lahir 1888), telah menuliskan sejarah intelektual Nabi Muhammad dan Umar ini secara memukau masing-masing dalam Hayat Muhammad (“Sejarah Hidup Muhammad”) dan Al-Faruq ‘Umar (“Umar Bin Khattab”).

Dengan demikian gagasan Islam liberal yang bertumpu pada supremasi akal tidaklah bertentangan dengan spirit Islam. Dengan rumusan lain, wacana liberal Islam yang ramai belakangan ini bukanlah ide yang sifatnya “meta-historis” tetapi justru bagian dari upaya untuk mewujudkan kesinambungan sejarah (historical continuity). Saya menduga, penolakan terhadap ide Islam liberal yang dilakukan para kiai itu karena terbatasnya informasi mengenai Islam liberal itu sendiri. Islam liberal di sini dianggap sebagai jenis keislaman yang bebas tak terbatas, Islam tanpa nilai/norma, Islam yang suka menghalalkan segala hal, Islam yang sudah terkontaminasi Barat, Islam anti Alqur’an dan khazanah keislaman klasik, Islam yang anti tradisi dan seterusnya Anggapan demikian bukan hanya mereduksi wawasan Islam liberal tetapi bahkan bertentangan (bertolak belakang) dengan ide munculnya pemikiran Islam liberal itu sendiri. 

“NU Politik” Versus “NU Kultural”

Hal lain yang juga menarik untuk dicermati adalah tampilnya kembali KH Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum PBNU yang berhasil mengalahkan Masdar Farid Mas’udi menandai kemenangan “NU politik” atas “NU kultural”. Yang dimaksud “NU politik” disini adalah kelompok NU (baik yang di struktural maupun bukan) yang menghendaki ormas Islam yang berdiri tahun 1926 ini sebagai bagian dari kekuatan politik praktis kekuasaan. Kelompok ini berpandangan bahwa NU—jika ingin tampil sebagai ormas Islam yang “gemilang” di masa datang—harus diperjuangkan lewat mekanisme kekuasaan. Mereka berdalil (berdalih?) kekuasaan adalah lahan subur dan strategis bagi cita-cita untuk memperjuangkan dan mewujudkan kesejahteraan (bahasa NU, kemaslahatan) warga NU khususnya dan umat pada umumnya. Kekuasaan adalah jalan bagi terciptanya kemaslahatan umat, demokratisasi dan keadilan sosial.

Sementara itu, “NU kultural” (baik yang di struktural NU maupun bukan) adalah kelompok yang menghendaki NU tampil sebagai kekuatan politik kerakyatan, sebagai bagian dari kekuatan civil society. Kubu ini  berpandangan bahwa NU yang merupakan ormas Islam terbesar dengan basis masa tradisional yang melimpah di Tanah Air ini adalah aset kultural yang luar biasa karena itu sangat berpotensi untuk mengawal jalannya clean government dan clean governance. Kelompok “NU kultural” sangat menyayangkan jika NU yang demikian besar itu hanya dijadikan sebagai “kendaraan politik” untuk mengais kepentingan pragmatis yang berjangka pendek dan temporal. Selain hal itu, pemihakan pada wilayah kultural kerakyatan dan bukannya politik kekuasaan karena didasarkan pada dua hal mendasar, yakni pertama, fakta NU sebagai ormas (organisasi sosial-kemasyarakatan) bukan orpol (organisasi politik) apalagi parpol (partai politik) Islam sejak dikukuhkan pada Muktamar ke-27 di Situbondo 1984 lewat teks Khittah (hal ini dipertegas lagi pada Muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta). Kedua, banyak masalah sosial yang dihadapi warga NU terbengkelai akibat konsentrasi penuh elit struktural NU pada masalah-masalah kepolitikan praktis.

Masalah-masalah dimaksud, al, menyangkut problem buruh termasuk buruh migran seperti TKI/TKW, tukang, nelayan, petani, hak-hak perempuan, masalah pendidikan, pesantren, seni & kebudayaan dan hal-hal lain yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Masalah-masalah tersebut sering diabaikan oleh struktural NU (lihat hasil-hasil keputusan Musyawarah Besar Warga NU di Cirebon, 8-10 Oktober 2004). Karena merasa NU struktural lebih tertarik pada masalah politik ketimbang sosial, maka para warga “NU kultural” membentuk Nahdliyin Crisis Center (NCC) di semua wilayah sebagai wadah perjuangan atau aspirasi warga NU.

Persetruan antara “NU politik” dan “NU kultural” itu tidak hanya berlangsung secara sembunyi-sembunyi tetapi sudah menjadi “konflik” terbuka dan vulgar. Suksesnya Hasyim Muzadi dalam mendulang suara pada Muktamar kemarin tidak lepas dari wacana (tepatnya isu) “NU politik” dan “NU anti Islam liberal” (baca, “konservatif”) yang dimainkannya. Sementara kekalahan Masdar Farid Mas’udi (yang mendapat “endorsement” dari Gus Dur) juga tidak bisa dilepaskan dari wacana “NU kultural” dan “Islam liberal”. Bagaimanapun, isu “NU politik” dan “anti Islam liberal” memang lebih “seksi” dan menarik untuk dijual ke publik NU yang memiliki “syahwat” politik tinggi dan tradisional-konservatif ketimbang “NU kultural” dan “Islam liberal”.

Tema “NU politik” dan anti Islam liberal adalah dua paket yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Sebetulnya, gagasan anti Islam liberal yang dihembuskan pada Muktamar mempunyai tujuan ganda. Satu sisi, sebagai tujuan jangka panjang memang untuk mengikis (“membersihkan”) pemikiran liberal Islam dari tubuh NU. Di pihak lain, isu ini memiliki tujuan pendek, yakni untuk membidik Masdar yang dianggap sebagai “ikon” Islam liberal yang akan maju sebagai kandidat Ketua Umum PBNU. Masdar juga dianggap sebagai person atau elit struktural NU yang memperjuangkan NU sebagai kekuatan kultural bukan politik kekuasaan yang menjadi “trade mark” Hasyim Muzadi.

Mengsinergikan

Apapun hasilnya KH Hasyim Muzadi kembali terpilih sebagai Ketua Umum PBNU lewat mekanisme pemilihan yang berlangsung “demokratis.” Keputusan ini harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama kubu “NU kultural” sebagai “amanat Muktamar.” Janganlah karena kalah bermain politik kemudian mendirikan ormas baru yang bisa jadi tidak ikut menyelesaikan masalah ke-NU-an tetapi justru memperuwet NU yang memang sudah ruwet ini. Sebaliknya, kelompok “NU politik” yang tampil sebagai the winner jangan bersikap arogan kemudian meminggirkan kubu “NU kultural.” Baik kubu “NU politik” maupun “NU kultural” adalah aset NU yang harus berjalan seiring dan saling melengkapi satu sama lain. Sebab masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Karena itu, jalan terbaik adalah mengsinergikan potensi kekuatan keduanya. Saya berharap Rais ‘Aam KH MA Sahal Mahfudh dan lembaga syuriyah bisa berfungsi secara maksimal sebagai mekanisme kontrol roda NU lima tahun mendatang sekaligus secara arif mau mengayomi wacana “Islam liberal” yang dilakukan sebagian kalangan NU agar tidak tergerus ke pinggiran diskursus kebudayaan Islam.

Artikulli paraprakNU dan Tantangan “Islam Ekstrim”
Artikulli tjetërNU, Islam, dan Barat
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.