Beranda Opinion Bahasa NU dan Tantangan “Islam Ekstrim”

NU dan Tantangan “Islam Ekstrim”

874
0

Tidak bisa dipungkiri ada banyak masalah fundamental yang dihadapi warga NU dan bangsa ini pada umumnya yang perlu dibenahi oleh “PBNU baru” ini: dari masalah sosial-ekonomi warga NU yang masih terbelakang, problem pendidikan yang tidak terurus, menguatnya arus konservatisme di tubuh NU, sampai masalah-masalah nasional dan internasional. Salah satu masalah krusial kekinian yang penting untuk ditangani oleh “PBNU baru” ini adalah tentang maraknya kelompok “Islam ekstrim” dan kaum radikal agama yang sering bertindak brutal dan melakukan tindakan kekerasan terhadap komunitas agama lain dan juga kelompok keislaman tertentu yang memiliki pemahaman, pandangan, prinsip, wawasan, dan praktek keagamaan yang berbeda dengan mereka.

Kepengurusan PBNU periode 2010-2015 hasil Muktamar Makassar sudah terbentuk. Meskipun susunan kepengurusan baru ini diwarnai ketidakpuasan sejumlah pihak, tetapi saya menilai kepengurusan baru yang merupakan kombinasi dari ulama, politisi, akademisi/intelektual, praktisi, birokrat, dan aktivis ini lebih baik dan ideal daripada periode sebelumnya. “PBNU baru” di bawah duet KH MA Sahal Mahfudh dan KH Said Aqiel Siradj ini dituntut untuk mengoptimalkan peran NU sebagai civil society organization (CSO) yang otonom jauh dari kepentingan politik kekuasaan tertentu. Saya setuju dengan statemen Ketum PBNU baru di Tempo belum lama ini bahwa NU akan lebih dihargai oleh publik luas jika tidak berpolitik praktis. Sejauh mana Kang Said konsisten dengan pernyataan ini, waktu yang akan menjawabnya. Hanya ketika NU menjadi ormas yang independenlah, NU bisa bergerak bebas menjalankan fungsi kritik dan kontrolnya baik terhadap “kekuatan politik” yang mencoba menyeret NU ke domain politik praktis maupun “kekuatan agama” yang mencoba mempengaruhi visi dan platform NU sebagai “ormas tengah” agar bergeser ke “kanan” maupun ke “kiri”.

Dalam sebuah penelitian bertajuk “Anti-Pluralist Movements and Religious Violence in Contemporary Indonesia” yang saya lakukan bersama Professor Robert Hefner belum lama ini menunjukkan bahwa masalah kasus-kasus “kekerasan agama” dan gerakan anti pluralisme di Indonesia (umumnya terjadi di Jawa, Sulawesi, Sumatra, dan Lombok) sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Data riset menunjukkan banyak sekali ormas dan kelompok keagamaan, gereja, atau pengikut sekte tertentu yang menjadi korban kebrutalan kelompok “Islam ekstrim” yang menguat sejak tumbangnya Orde Baru ini (lihat juga berbagai survei yang dilakukan oleh The Wahid Institute di http://wahidinstitute.org).

Harap diingat bahwa tindakan premanisme berjubah agama yang dilakukan kelompok “Islam ekstrim” ini tentu saja bukan menambah apalagi meninggikan derajat Allah SWT seperti klaim-klaim mereka selama ini, akan tetapi justru sebaliknya: merosotkan dan bahkan menodai kebesaran Allah sendiri sebagai “Zat Maha Damai” (As-Salam). Jika slogan mereka selama ini ingin menegakkan “amar makruf nahi munkar” dan apabila seruan-seruan mereka ingin membasmi kelompok keagamaan yang telah “menodai agama” dan “meresahkan masyarakat”, maka seharusnya mereka membasmi diri mereka sendiri yang telah jelas-jelas melakukan tindakan penodaan terhadap Islam sebagai agama damai dan toleran-pluralis. Mereka juga telah meresahkan masyarakat banyak dengan perilaku-perilaku konyol dan barbarian. Percayalah bahwa umat Islam ke depan tidak akan mampu mengarungi dunia yang semakin modern dan canggih ini jika para pemeluknya masih berwawasan “era zaman batu” dan berperilaku urakan dan tidak manusiawi.

Berbagai peristiwa kekerasan berbasis agama yang dilakukan kelompok Islam radikal ini harus segera dihentikan karena tindakan mereka dapat mengancam sendi-sendi kemajemukan bangsa kita. Jika perbuatan bengis mereka dibiarkan berlarut-larut tanpa ada tindakan perlawanan dan penanganan serius secara tegas, maka kaum “Islam Pentungan” ini akan terus membabi-buta, meneror dan menyerang kelompok minoritas agama yang mestinya wajib untuk dilindungi. Secara pribadi saya sedih sekali menyaksikan apa yang oleh antropolog Victor Turner disebut “drama sosial” kekerasan agama yang terjadi hampir setiap saat di republik ini. Hati ini giris bercampur kesal menyaksikan tindakan brutal kelompok “Islam ekstrim” yang dengan bebasnya melakukan kejahatan kemanusiaan, sementara di sisi lain, ironisnya, para aparat negara, penegak hukum, dan tokoh agama yang semestinya melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara, kadang-kadang justru “main mata” dengan kaum radikal agama ini.

Apapun alasannya, kekerasan “atas nama agama” ini tidak bisa dibenarkan, dan apapun dalilnya, kaum minoritas (khususnya minoritas agama dan etnis) harus dilindungi hak-hak dasar mereka. Perbedaan pandangan, pendapat, pemahaman, dan keyakinan keagamaan tidak bisa dijadikan sebagai pembenar untuk menggilas hak-hak mereka sebagai warga negara. Sepanjang mereka tidak melakukan kriminalitas kemanusiaan atau melakukan perbuatan yang mengancam keamanan hajat hidup orang banyak, maka wajib bagi negara dan kita semua yang tinggal di negeri ini untuk memberikan proteksi terhadap mereka.

Sebagai ormas keislaman terbesar di Indoneisa—bahkan di dunia—NU sudah semestinya menjadikan isu-isu kekerasan atas nama agama dan maraknya gerakan anti pluralisme yang mengancam eksistensi kemajemukan bangsa ini sebagai agenda penting untuk ditangani secara serius di masa mendatang. Sebagai ormas keagamaan yang berpegang teguh pada Ahlussunah Wal Jama’ah yang bertumpu pada prinsip-prinsip fundamental seperti tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), dan ta’addul (bersikap adil), sudah seharusnya jika NU yang memiliki ulama dan sumber kultural melimpah ruah ini berperan sebagai “vanguard” yang berdiri di depan sebagai “benteng pertahanan” kaum minoritas dari serbuan kelompok “Islam ekstrim” yang mengancam pluralitas bangsa dan eksistensi negara ini, bukan malah ikut menggebugi kelompok Muslim moderat-progresif yang berwawasan humanis-pluralis.

Dalam sejarahnya, NU memang selalu berada di “garda depan” menghadapi gempuran kelompok-kelompok politik-keagamaan yang mengancamsendi-sendi kemajemukan keberagamaan dan kebangsaan. Karena itulah NU selalu bersikap keras dan tegas tanpa kompromi terhadap (1) kelompok-kelompok agama yang bervisi puritan, “reformis”, Arab-sentris, dan anti tradisi lokal seperti yang dikembangkan kelompok Wahabi dan Salafi karena dipandang mengancam corak keberagamaan “pribumi” yang beraneka ragam; dan (2) kelompok “Islam politik” yang mencoba mengganti ideologi negara (Pancasila) dan konstitusi (UUD 1945) dengan sistem pemerintahan Islam dan syari’at.

Di tengah maraknya kelompok agama puritan berpaham Wahabi dan Salafi yang mengancam pluralitas keberagamaan dan kebangsaan, serta di tengah merebaknya kelompok “Islam politik” yang mengancam eksistensi Pancasila, NU sudah saatnya harus kembali bangkit maju ke depan dan berdiri di muka untuk mengibarkan bendera “perlawanan kultural” terhadap kelompok-kelompok politik-keagamaan ekstrim ini demi menjaga keutuhan negara-bangsa dan pluralitas agama di republik ini.

Artikulli paraprakIslam Arab dan Indonesia Kuliah Virtual Facebook 1
Artikulli tjetërMengsinergikan “NU Politik” dan “NU Kultural”
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini