Mennonite adalah salah satu sekte Kristen yang berdiri pada abad ke-18. Nama ini diambil dari nama, atau diinspirasi oleh, Menno Simons, seorang pembaru agama berkebangsaan Belanda yang sangat berpengaruh pada awal abad ke-16. Sekte keagamaan ini tidak memiliki pengikut banyak. Anggotanya sekitar 1,3 juta di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis Mennonite World Conference tahun 2006, warga Mennonite di Indonesia sekitar 72.624 yang tersebar di berbagai wilayah (khususnya Jawa Tengah) dan terbagi dalam beberapa kongegrasi. Jumlah ini membuat pengikut Mennonite di Indonesia lebih besar ketimbang seluruh negara Eropa yang hanya 50-an ribu. Jumlah penduduk Mennonite di Indonesia menempati urutan keenam setelah Amerika Serikat, Kongo, India, Kanada, dan Ethiopia.
Selama kurang lebih dua tahun (2005-2007), ketika menempuh program master di bidang studi “transformasi konflik dan studi perdamaian” di Eastern Mennonite University’s Center for Justice and Peacebuilding, saya berkesempatan tinggal bersama keluarga Mennonite di sebuah kota kecil bernama Harrisonburg di Negara Bagian Virginia, Amerika Serikat. Pengalaman keagamaan saya bersama komunitas Mennonite Amerika yang “illiberal” tapi toleran dan damai ini kemudian saya tulis dalam sebuah buku yang berjudul, Among the Believers: Kisah Hidup Seorang Muslim Bersama Komunitas Mennonite Amerika (2011). Buku yang diterbitkan oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (Semarang) ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Christy Reed dan Professor Lawrence Yoder dan akan terbit di AS.
Mennonite di Amerika adalah sebuah komunitas keagamaan yang sangat kecil. Jumlahnya tidak kurang dari 400 ribu atau sekitar 0,3 persen dari total penduduk Amerika. Jumlah ini jauh lebih kecil ketimbang warga Muslim di Paman Sam. Meski jumlah mereka kecil, komunitas Mennonite cukup populer di Amerika dan memiliki peranan signifikan dalam menyuarakan isu-isu kemanusiaan dan perdamaian global. Komunitas Mennonite ini—bersama pengikut Quaker, Brethren in Christ, dan “kaum pacifis” baik Muslim maupun bukan—adalah salah satu kelompok keagamaan yang paling getol menentang perang di AS. Doktrin “pacifisme” (sebuah doktrin anti-kekerasan dan pro-perdamaian) yang begitu kuat membuat mereka sangat militan dalam gerakan menentang kekerasan (non-violent movements) serta memperjuangkan perdamaian universal di seluruh dunia.
Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang aspek-aspek kepercayaan, keimanan dan praktek keagamaan yang dijalankan komunitas Mennonite ini bisa membaca Confession of Faith in a Mennonite Perspective (1995) yang dirumuskan Gereja Mennonite Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada). Juga sebuah buku yang ditulis oleh sejarawan dari Goshen College, John D. Roth, Beliefs: Mennonite Faith and Practice yang menyediakan informasi singkat tapi padat dan enak dibaca tentang teologi dan ajaran yang dipegangi kaum Mennonite.
***
Selain kuat visi perdamaiannya, Mennonite Amerika juga memiliki spirit yang kuat dalam pelayanan kemanusiaan. “Relief” dan “service” adalah di antara deretan kata-kata kunci untuk memahami visi humanisme Mennonite. Salah satu pengalaman menarik sekaligus inspiring selama saya bergaul dengan komunitas Mennonite Amerika adalah ketika saya bersama sejumlah teman peserta workshop dari berbagai negara yang digelar Summer Peacebuilding Institute (SPI), pada musim panas 2006, berkunjung ke sebuah “pabrik daur ulang” serta gudang raksasa tempat menyimpan barang-barang bekas milik komunitas Mennonite di sebuah kota kecil di Negara Bagian Pennsylvania.
Di gudang raksasa dan pabrik itu, saya melihat tumpukan pakaian dan selimut bekas yang menggunung, tumpukan kertas, buku-buku dan alat-alat sekolah bekas yang berjubel, juga gunungan barang-barang bekas lain.
“Untuk apa barang-barang bekas ini?” Tanyaku penasaran kepada petugas disana waktu itu.
“Barang-barang ini untuk didaur ulang kemudian didonasikan kepada orang-orang dan anak-anak yang membutuhkan di seluruh dunia,” kata petugas menjelaskan. Petugas tadi terus menjelaskan proses pengumpulan barang-barang bekas tadi sampai proses daur ulang dan penyaluran ke pihak-pihak yang membutuhkan.
Saya tertegun dan terenyuh mendengarkan paparannya. Dalam hati saya bergumam, berapa banyak barang-barang bekas yang terbuang sia-sia di Indonesia? Siapa orang di Indonesia yang bersedia mengorganisir pengumpulan barang-barang bekas bukan untuk dijual lagi tapi untuk diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan? Siapa di antara umat Islam yang peduli memulung barang-barang bekas untuk kemudian didaur ulang dan didonasikan kepada para korban gempa, banjir, tanah longsor, dlsb? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayut di benakku sampai acara “kunjungan intimewa” itu usai.
Memang sudah tidak terhitung lagi berapa “proyek kemanusiaan” yang telah dibiayai oleh lembaga-lembaga sosial milik Mennonite ini. Hampir semua negara di planet ini dari Haiti sampai Indonesia, dari Sudan sampai Sri Lanka pernah mereka jamah untuk diberi bantuan kemanusiaan, khususnya bagi mereka yang sedang dilanda bencana baik bencana alam maupun bencana politik seperti pengungsi korban perang. Mennonite Central Committee (MCC) sebagai salah satu lembaga sosial besar milik Mennonite juga telah menggelontorkan milyaran rupiah untuk proyek recovery Aceh, rekonsiliasi Ambon/Maluku, dan bantuan ke sejumlah daerah yang terkena korban gempa bumi dan banjir bandang. MCC juga ikut membantu membuatkan 100 rumah, 50 di antaranya untuk warga Muslim, bagi para korban Gunung Merapi di Yogyakarta.
Saya tertegun melihat sepak-terjang dan kegigihan orang-orang Mennonite Amerika dalam menggali dana (fundraising) untuk menjalankan misi kemanusiaan dan melayani hajat orang-orang yang kesusahan di seluruh belahan dunia tidak hanya terbatas di Amerika Serikat saja. Mereka rela mengumpulkan koin, melakukan lelang, mendonasikan uang, menyerahkan barang-barang berharga, mengumpulkan barang-barang layak pakai, memulung barang-barang bekas, menjual kembali barang-barang second hand, menjadi voluntir di toko-toko, dlsb.
Semua itu rela mereka lakukan demi misi kemanusiaan global, demi menolong orang-orang yang kelaparan dan membutuhkan uluran tangan, demi membantu anak-anak yang kesusahan tanpa menghiraukan identitas agama, etnis, bahasa, dan bangsa orang yang mereka tolong, serta tanpa mengharapkan imbalan sepeser pun.
Para pemuda dan pemudi Mennonite Amerika juga rela menjadi sukarelawan untuk diterjunkan ke pelosok-pelosok negeri di seluruh penjuru dunia dari Amerika Latin sampai kawasan Sahara Afrika, dari Meksiko sampai Palestina untuk membantu para korban bencana alam, kaum pengungsi, dan orang-orang yang menjadi korban perang.
***
Energi apa yang membuat mereka begitu bersemangat melakukan kerja-kerja humanistik? Apa yang mendorong mereka rela melakukan “pelayanan kemanusiaan”? Kekuatan apa yang mampu menggerakkan hati dan pikiran kaum Mennonite untuk menjadi “laskar perdamaian”? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini masih misteri. Tetapi jika kita tanyakan persoalan ini kepada kaum Mennonite, mereka bisa dipastikan akan menjawab: Yesus!
Ya, energi dan kekuatan itu bernama Yesus. Sosok agung nan mulia ini mampu menginspirasi dan menggerakkan kaum Mennonite untuk menjadi “duta kemanusiaan” dan “laskar perdamaian”. Yesus-lah yang mengajarkan “Cintailah musuh-musuhmu!”. Jika terhadap musuh saja kita disuruh mencintai apalagi dengan kawan dan saudara. Yesus jugalah yang mengajari para pengikutnya untuk menyayangi sesama manusia, kaum lemah dan tertindas tanpa memandang agama dan suku bangsa. Yesus tidak hanya berkata tetapi juga bertindak, mempraktekkan apa yang ia katakan. Demi mempertahankan keyakinanya, ia rela menjadi korban, dipaku di tiang salib dan dibiarkan kepanasan dan kedinginan oleh orang-orang biadab kala itu.
Doktrin “cinta” dan “kasih” yang diajarkan Yesus Kristus ini telah diajarkan dan dipraktekkan secara sempurna oleh komunitas Kristen Mennonite. Karena dedikasi Mennonite pada perdamaian dan kemanusiaan inilah, mantan guru saya Mohammed Abu-Nimer, profesor studi konflik dan perdamaian di American University, Washington, DC., suatu saat pernah berkata, “Mennonite—sebagaimana Quaker dan Brethren—tidak hanya mengekspresikan visi cinta, keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian lewat tulisan dan ucapan tetapi juga melalui tindakan nyata dalam bentuk gerakan perdamaian dan aksi tanpa kekerasan.”
Professor Abu-Nimer benar. Kaum Mennonite tidak hanya mengkhotbahkan ajaran-ajaran perdamaian dan spirit kemanusiaan global di gereja-gereja atau menulis doktrin-doktrin ini di jurnal, majalah, koran dan sebagainya. Akan tetapi mereka juga mempraktekkan spirit perdamaian dan kemanusiaan itu dalam tindakan nyata. Ini adalah pelajaran berharga bagi umat Islam dan ormas keislaman di Indonesia khususnya. Berapa banyak para khotib dan dai yang berbusa-busa mengwartakan kemanusiaan dan perdamaian baik dalam khotbah Jum’at maupun “pengajian-pengajian komersial” yang begitu marak belakangan ini. Berapa banyak para tokoh agama yang terus-menerus menyerukan visi perdamaian dan kemanusiaan. Berapa banyak ormas Islam yang menjual isu-isu kemanusiaan untuk mendapat simpati dan pengikut. Akan tetapi pertanyaan mendasarnya adalah: apakah mereka pernah mengamalkan apa yang mereka petuahkan itu dalam bentuk aksi-aksi konkrit kemanusiaan? Apakah da’wah bil lisan yang begitu bersemangat itu diiringi dengan semangat da’wah bil hal?
Apa yang dilakukan kaum Mennonite Amerika setidaknya menunjukkan bahwa tidak semua warga Amerika itu pro-perang dan anti-perdamaian, dan tidak semua umat Kristen itu berhati jahat yang selalu memusuhi kaum Muslim seperti yang banyak digambarkan secara keliru oleh sejumlah ormas “Islam ekstrim” di Tanah Air. []