Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 16-18 April ini akan mengadakan Muktamar II di Semarang. Seperti umumnya sebuah Muktamar atau Kongres, Muktamar PKB kali ini disamping merupakan ajang pemilihan formasi kepengurusan baru juga akan dijadikan sebagai medium untuk mengevaluasi partai sejak dideklarasikan 1998 silam. Dalam tulisan ini, saya ingin lebih mengfokuskan pada kinerja partai ketimbang hiruk-pikuk pemilihan ketua umum dan pengurus yang bagi saya kurang menarik karena isunya masih sangat klasik dan klise, yakni persetruan antara Saifullah Yusuf dengan Gus Dur (via Muhaimin Iskandar atau siapapun). Gus Dur dalam PKB seperti Amen Rais dalam PAN atau Mega di PDIP yang minimal dalam jangka pendek ini masih mempunyai reputasi dan kharisma yang sulit ditandingi. Hanya “keajaiban” yang bisa menggusur kekuatannya.
Siapapun yang akan memimpin PKB, Saifullah Yusuf, Ali Masykur Musa atau orang yang mendapat endorsement Gus Dur, tantangan yang akan dihadapi oleh partai ini ke depan adalah bagaimana menjadikan PKB sebagai partai nasional dan modern. Harus diakui selama ini PKB tampil sebagai partai lokal dan tradisional belum menjadi partai politik yang memiliki basis pemilih merata di seluruh Indonesia dan juga belum mampu mewujudkan diri sebagai partai modern yang dikelola berdasarkan manajemen modern yang profesional dan rasional. Meskipun dalam platform partai, PKB relatif “sangat maju” (terutama jika diukur dari konstituen NU yang tradisional) karena bertumpu pada wawasan pluralisme dan menganut asas keterbukaan namun dalam aplikasinya partai ini sering kedodoran dan tidak konsisten.
“Pemegang saham mayoritas” partai, yakni para kiai masih ingin terus-menerus menguasai dinasti PKB sehingga menutup ruang bagi para kader profesional di luar NU (apalagi non muslim dan Muhammadiyah). Kalaupun mereka bisa lolos menjadi caleg PKB, misalnya dengan endorsement Gus Dur— belum tentu konstituen mendukungnya. Contoh konkretnya ketika pada 1999, PKB memasang KH Nur Iskandar SQ dari dapil DKI Jakarta, ia berhasil melenggang ke senayan. Tetapi ketika dari dapil ini PKB memasang Marzuki Usman (Muhammadiyah) dan AB Susanto (non-muslim) pada pemilu 2004 lalu, tidak ada satupun kursi DPR yang berhasil diraih PKB.
Jangankan kader diluar NU, kader NU yang kredibel dan memiliki kapabilitas tinggi pun jika ingin selamat menjadi elite partai dan menjadi caleg (jadi atau tidak) harus melalui restu “tangan-tangan gaib” (invisible hand—istilah Adam Smith) kiai. Jangan harap mereka bisa lolos—meskipun mungkin mereka berkualitas—jika tanpa restu kiai tadi. Tentu yang dimaksud kiai di sini adalah “kiai PKB”. Meskipun sebetulnya restu mereka hanyalah semu belaka karena bukan jaminan bahwa yang bersangkutan akan dipilih oleh konstituen NU. Lebih parah lagi, para kiai PKB ini justru memberikan restu kepada anaknya, menantunya, keluarganya atau orang-orang dekatnya sendiri (baca: kroni) untuk menjadi caleg PKB. Bahkan untuk memuluskan jalan agar mereka (“ahlul bait kiai” ini) bisa menjadi caleg jadi, para kiai ini tidak segan-segan “meminta jatah” ke DPP agar calon yang disokongnya harus ditempatkan di daerah basah meskipun itu bukan dari daerahnya. Innalilahi!
Karena “wataknya” yang masih “lokal” dan “tradisional” inilah sehingga dalam dua kali Pemilu (1999 & 2004), PKB belum mampu menunjukkan diri sebagai partai yang memiliki basis dukungan luas masyarakat pemilih. Bahkan pada pemilu 2004 lalu, suara PKB melorot dari 12,6% pada 1999 menjadi 10,6%. Dan tragisnya, perolehan kursi PKB di DPR RI malah jeblok dari peringkat ke-4 di bawah PDIP, Golkar dan PPP pada Pemilu 1999, turun ke ranking ke-6 di bawah Partai Golkar, PDIP, PPP, Demokrat dan PAN. Di sejumlah daerah yang dikenal sebagai basis NU, suara PKB juga nyaris jeblok. Padahal jika dilihat hampir tidak ada partai yang memiliki masa dukungan padat dan melimpah serta mempunyai jurkam ribuan kiai yang ahli pidato seperti yang dimiliki PKB. Ada fenomena apa ini? Kemana larinya suara warga NU yang konon 40an juta orang itu? Mengapa NU tidak all out mendukung PKB padahal partai ini diprakarsai oleh para pentolan NU? Bagi orang-orang PKB “menuduh” NU (PBNU dan jaringannya) ikut menggembosi pemilih dengan mengatakan bahwa NU tidak memiliki kewajiban untuk mendukung PKB karena orang-orang NU ada di hampir semua partai politik. Sementara bagi orang-orang elit NU memandang PKB telah kehilangan ruh, tidak lagi memikirkan kepentingan NU. (Warga) NU hanya dijadikan sebagai objek saat pemilihan umum habis itu kemudian dilempar di pinggir jalan. Singkatnya habis manis sepah dibuang!
Saya tidak ingin larut dalam polemik yang tidak produktif ini. Kepentingan saya adalah bagaimana menjadikan partai ini tumbuh menjadi partai nasional dan modern. Bagaimana partai ini secara konsisten menjalankan platform partai yang bertumpu pada wawasan pluralisme, keterbukaan dan memiliki semangat kebangsaan yang universal melampaui batas-batas tradisionalisme dan parokialisme sempit sehingga partai ini memiliki dukungan luas dari masyarakat Indonesia dari berbagai daerah dan etnis. Seperti ditunjukkan dalam survey LSI (Februari 2005), PKB selama ini masih terlalu bias Pulau dan etnik Jawa khususnya Jawa Timur. Hampir semua pemilih PKB berasal dari Pulau Jawa dan etnik Jawa. Secara nasional pemilih dari Pulau Jawa sekitar 50% sementara di antara pemilih PKB yang berasal dari Pulau Jawa mencapai 88%. Demikian juga dalam hal etnik. Pemilih nasional dari etnik Jawa sekitar 41% sementara dalam pemilih PKB sekitar 71%. Dalam Pemilu 2004 lalu lebih dari separuh pemilih PKB berasal dari Jawa Timur, padahal populasi pemilih Jawa Timur hanya sekitar 16% dari total pemilih nasional. Dari sini maka tidak meleset jika dikatakan bahwa PKB adalah partai lokal seperti yang pernah disinggung pengamat politik Dr. Saiful Mujani.
Selain itu, PKB juga terlalu bias pedesaan dan kelas bawah. Pemilih PKB dari pedesaan sekitar 67% dan lebih dari 50% berasal dari kelas sosial bawah. Data kuantitatif lain yang perlu dielaborasi berdasarkan hasil survei LSI di atas adalah basis dukungan ke PKB yang mayoritas masih berasal dari NU (85%) dan Islam (98%). Inilah sekilas profil demografi dan sosial-ekonomi pemilih PKB. Dari data ini kita bisa lihat bahwa obsesi PKB untuk menjadi partai nasional, modern, dan terbuka seperti terpampang dalam platform partai masih jauh panggang dari api, belum menjadi kenyataan. PKB masih menjadi partai kelompok dan kelas tertentu, yakni Jawa (Timur & Tengah)-NU-Islam-pedesaan dan orang miskin. PKB belum mampu mewujudkan diri sebagai partai yang memiliki basis dukungan luas: Jawa-non Jawa (baik dalam pengertian pulau maupun etnik), Islam-non Islam, pedesaan-perkotaan, kelas menengah-bawah dan seterusnya. Ini tentu menjadi tanda tanya besar sebab PKB dipimpin oleh seorang Gus Dur yang dikenal publik luas sebagai tokoh intelektual yang pluralis dan memiliki semangat kebangsaan yang tidak diragukan lagi. Tetapi kenapa non muslim dan etnis lain serta masyarakat di luar Jawa Tengah dan Timur tidak bergairah memilih PKB? Apakah tampilan Gus Dur sebagai tokoh universal kurang meyakinkan di mata publik pemilih atau problemnya justru di “second line,” di level basis yang tidak sepenuhnya menerima ide dan wawasan keterbukaan PKB?
Data dan fakta politik di atas harus dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi peserta Muktamar II PKB. Saya sendiri berpendapat jika partai ini ingin melangkah sedikit lebih maju dan “naik kelas” tidak hanya “jago kandang” maka harus mengubah citra dan kultur partai dari “tradisional” ke “modern.” Partai politik yang modern adalah partai politik yang dikendalikan di atas kepemimpinan institusional, melepaskan diri dari kepemimpinan personal termasuk yang berciri tradisional dan patrimonial. Sebuah partai modern tidak tergantung pada figur besar melainkan bertumpu pada kepemimpinan kolektif yang dinamis, profesional dan kompeten. Suatu partai juga dikatakan modern manakala ia membangun identitas politiknya di atas platform berupa sikap maupun orientasi kebijakan yang baku menyangkut isu utama politik, sosial dan ekonomi yang tegas dan mapan (Eep Saefulloh Fatah, 2005). Karakter ini lalu memfasilitasi terbangunnya hubungan yang makin kalkulatif dan rasional di antara partai dan para simpatisan, juga pendukung dan pemilihnya.
Tentu saja tidak mudah untuk mencapai “maqam” partai modern itu. Butuh waktu dan komitmen yang tulus dari para stakeholder partai. Dua partai besar yang sama-sama lahir di era reformasi, yakni PDIP dan PAN yang baru saja selesai kongres sudah terbukti belum menunjukkan diri sebagai partai modern. Meskipun PDIP berhasil menyusun kepengurusan baru tetapi masih tetap bercita rasa lama. Mega masih menjadi simbol kepemimpinan personal dan patrimonial di partai. PAN yang diprakarsai banyak orang hebat dan “berpendidikan” serta dipimpin oleh tokoh sekaliber Amin Rais yang dikenal sebagai reformis dan demokrat belakangan juga tersungkur ke dalam perangkap pola-pola kepemimpinan tradisional yang patrimonialistik. Amin sendiri mengalami “Soehartoisasi” atau “Gus Durisasi” dengan menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Apakah Muktamar II PKB akan mengulang “kesalahfatalan” PDIP dan PAN? Apakah Gus Dur akan tetap tidak mau menyerahkan tampuk kepemimpinan dinasti atau dengan legawa menyerahkan mekanisme kepemimpinan partai kepada peserta muktamar? Melihat desas-desusnya tampaknya apa yang dilakukan Gus Dur tidak jauh berbeda dengan Megawati dan Amin Rais. Jika peserta Muktamar II PKB kali ini hanya berkonsentrasi pada perebutan kekuasaan tidak mau mengubah kultur partai menjadi partai modern dengan kualifikasi di atas, maka obsesi PKB untuk memenangkan pemilu pada tahun 2009 hanya tinggal mimpi belaka.