Jika tidak ada halangan, sejumlah pilar NU non-struktural akan menggelar Musyawarah Besar Warga NU pada 8-10 Oktober 2004 di Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Musyawarah  Besar (selanjutnya, Mubes) warga NU ini adalah suatu forum warga NU yang diselenggarakan oleh Komite Warga NU yang didukung oleh Persatuan Seluruh Pesantren Babakan (PSPB). Bertindak sebagai  Steering Committee adalah KH Yahya Masduki (koordinator) dan M. Imam Azis selaku Koordinator Organizing Committee. Melalui email yang dikirim kepada saya, dikatakan bahwa Mubes warga NU ini dimaksudkan sebagai media warga NU untuk mempertemukan dan membincangkan berbagai kegelisahan, gagasan-gagasan dan eksperimen-eksperimen gerakan sosial-ekonomi-budaya warga NU dari beragam komunitas.

Adapun tujuan Mubes ini, adalah; 1) menyediakan ruang untuk merefleksikan berbagai eksperimentasi gerakan-gerakan sosial kerakyatan di lingkungan NU untuk merumuskan formasi gerakan yang simultan, berjejaring serta sinambung dengan NU yang ideal sebagai “persekutuan besar”; 2) menyediakan ruang bagi warga NU untuk merefleksikan “pergolakan-pergeseran” peran keulamaan sepanjang sejarah NU untuk melahirkan kerangka rumusan signifikansi peran keulamaan NU sebagai “pewaris” nabi dalam kecenderungan perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya kontemporer; 3) menyediakan ruang bagi warga NU agar mendiskusikan berbagai capital resources yang hidup dan dimiliki warga NU untuk ditransformasi sebagai kekuatan survival dan perjuangan gerakan sosial-keagamaan dalam menegakkan hak-hak rakyat di tengah perubahan global.

Karena Mubes ini merupakan ruang curah gagasan problem-problem kultural warga NU yang multi-disiplin, maka peserta yang terlibat dalam Mubes pun menunjukkan dari berbagai latar belakang profesi: nelayan, buruh, petani, pedagang modal kecil, guru, aktivis LSM, seniman-budayawan, kiai, santri, pendidik, intelektual, kaum muda dan siapa saja (laki-laki atau perempuan) yang concern pada gerakan sosial warga NU ke depan. Karenanya tidak terlalu berlebihan jika saya menyebut Mubes ini sebagai “Muktamar Kultural” NU sebagai imbangan dari “Muktamar Struktural” NU yang akan digelar akhir November mendatang. Jika pada “Muktamar Struktural” melibatkan semua pengurus NU dari pusat sampai cabang/kabupaten baik yang duduk di jajaran Syuriyah maupun Tanfidziyah. Maka “Muktamar Kultural” ini melibatkan siapa saja yang merasa sebagai “wong NU.”

Seiring dengan itu, tema yang dijadikan bahasan dalam Mubes juga yang berkaitan dengan masalah pertanian, perburuhan, kelautan & nelayan, pendidikan & pesantren, gerakan perempuan, kesenian & budaya pesantren dan hal-hal lain yang terkait dengan capital resources warga NU. Mubes ini kemudian ditutup dengan brainstorming tentang “scenario building” NU ke depan. Yang menarik, topik bahasan juga menyangkut “pembongkaran” di tingkat wacana keagamaan (baca, keislaman) khususnya teks-teks yang dipandang kontraproduktif sekaligus menghambat bagi usaha menumbuhkan etos emansipasi serta tidak berwawasan keindonesiaan dan kemanusiaan. Saya rasa gagasan ini “sangat maju” dan positif mengingat banyaknya teks-teks keislaman yang mengandung watak “Arab-sentris.” Selain itu, juga tidak sedikit teks-teks keislaman yang dalam batas tertentu tidak menghargai eksistensi manusia sebagai manusia.

Signifikansi

Dilihat dari ide, maksud & tujuan, sasaran & target grup serta topik yang dijadikan bahasan, Mubes atau “Muktamar Kultural” ini sangat positif guna membangun masa depan NU baik dalam pengertian jamaah (warga) maupun jam’iyyah (institusi). Bagi warga NU, forum ini sangat penting mengingat eksistensi mereka selama ini nyaris tidak terurusi oleh elite struktural NU. Mereka hanya “dimobilisasi” untuk menghadiri pengajian, istighatsah dan forum spiritual-politik lain sementara problem riil yang mereka hadapi menyangkut soal-soal dasariah kaum buruh, petani, nelayan, pedagang kecil dan lain-lain hampir-hampir tidak tersentuh sama sekali. Padahal mereka setiap hari bergelut dengan masalah-masalah ketidakadilan, pelecehan hak-hak kemanusiaan, peminggiran/marginalisasi, ketimpangan sosial-ekonomi, subordinasi kekuasaan dan hal-hal lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak. 

Di pihak lain, jika ada kader NU yang menjadi “pelayan” mereka dengan melakukan advokasi & pembelaan kemanusiaan serta melakukan program “pemberdayaan” (empowerment) dan “penyadaran” (awareness) hak-hak mereka sebagai bagian dari warga negara, oleh kalangan elite struktural NU, mereka ini dianggap “kurang NU.”  Hal ini disebabkan, mungkin di antara para “pejuang kultural” ini tidak menguasai kitab kuning, tidak bertradisi pesantren, tidak menjabat struktural NU dan yang lebih penting lagi adalah gerakan mereka yang “melawan arus”. Karena itulah Mubes ini menjadi ajang atau momentum yang sangat penting bagi warga NU dari berbagai latar profesi itu untuk mencurahkan gagasan atau unek-unek seputar problem yang mereka hadapi.

Tidak hanya bagi warga NU, Mubes ini juga sangat signifikan bagi struktural NU khususnya dalam pengambilan kebijakan agar berorientasi pada basis kebutuhan warga/masyarakat NU. Diakui atau tidak, sejak KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI (dan puncaknya ketika dua tokoh NU, KH Hasyim Muzadi dan KH Salahudin Wahid tampil sebagai cawapres yang akhirnya gagal), NU seperti kehilangan élan vital sebagai ormas Islam yang mestinya melakukan kerja-kerja kultural yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat (empowering society) basis bukan malah mengurusi kekuasaan. Sejak itu, energi NU terkuras untuk mengurusi masalah kepolitikan praktis. Politik yang dimainkan elite NU dari pusat sampai ranting adalah politik dalam pengertian kekuasaan bukan politik kerakyatan yang selama ini menjadi “trade mark” NU. Akibatnya, NU kemudian direduksi sedemikian sempit hanya menjadi mesin dan alat politik! NU kemudian tampil sebagai “ormas semu” dan bahkan mendekati “orpol”.

Rekomendasi Pemikiran

Dalam konteks inilah, gagasan-gagasan segar dan cerdas dalam Mubes diharapkan dapat memperbaharui gerakan NU dari sisi institusional sekaligus guna meneguhkan tradisi yang akan mampu berintegrasi secara simultan dengan formasi gerakan yang dikembangkan oleh komunitas-komunitas warga NU di berbagai sektor kehidupan: pendidikan, buruh, petani, nelayan, HAM, budaya, ekonomi mikro dan seterusnya. Dengan kata lain, Mubes atau “Muktamar Kultural” NU bisa dijadikan sebagai basis untuk membangun politik kerakyatan. Dalam jangka pendek, hasil-hasil Mubes ini juga diharapkan bisa dijadikan sebagai “rekomendasi pemikiran” NU yang akan menggelar Muktamar di Boyolali, 28 November – 4 Desember mendatang. Karena itulah, saya mengharapkan PBNU (dan struktural NU di level wilayah, cabang sampai ranting) menyikapi Mubes ini secara positif bukan dengan ungkapan-ungkapan sinisme semacam “Muktamar tandingan,” “illegal” atau “separatis” seperti yang belakangan dikatakan dua tokoh NU, Prof. Said Aqiel Siradj dan Ahmad Bagdja.

Memang ada hal-hal dasar yang perlu “diluruskan” terutama menyangkut pandangan filosofis dan ontologis bagi kedua kubu, yakni kelompok kultural yang menghendaki NU (baik dalam pengertian struktural maupun personal) harus penuh mengurusi wilayah sosial-kemasyarakatan (baca, mengembangkan politik kerakyatan) dan kelompok struktural NU (meskipun tidak semuanya) yang menghendaki pemberdayaan NU harus melalui mekanisme kekuasaan. Wilayah kultural-kemasyarakatan dan politik kekuasaan tidak bisa dipertentangkan secara diametral dan ekstrem. Keduanya harus bersinergi dan saling melengkapi. Di tingkat implementasi, politik kerakyatan akan mengalami banyak masalah jika mengabaikan jaringan kekuasaan. Sebaliknya, politik kekuasaan juga seharusnya dikembangkan dengan memperhatikan kebutuhan dasar masyarakat menyangkut keadilan, egalitarianisme, persamaan dan semacamnya. Politik kekuasaan tidak 100% buruk dan politik kerakyatan juga tidak 100% baik. Keduanya mengandung kelemahan dan kelebihan. Disinilah perlunya dialog, kritik sekaligus instropeksi bersama yang muaranya adalah membangun masyarakat NU yang kuat, mandiri dan otonom. Penguatan basis sosio-politik-kultural NU ini sangat diperlukan agar ke depan, organisasi ini tidak dijadikan sebagai ajang perebutan kekuasaan dari kelompok pragmatis yang hanya berpikiran pendek, ad hock dan temporal.

Artikulli paraprakMenyambut Muktamar II: PKB Menuju Partai Nasional dan Modern?
Artikulli tjetërNU dan “Politik Kekuasaan”
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini