Kritik yang sering didengar dari kelompok “NU kultural” atas “NU struktural” adalah mereka—kubu “NU struktural” itu—terlalu larut dalam “politik kekuasaan” dan mengabaikan “politik kerakyatan”.
Istilah “NU kultural” di sini mengacu pada pengertian kelompok NU—baik mereka yang duduk di struktur NU maupun bukan—yang gigih memperjuangkan ide-ide “politik kerakyatan” yang bersentuhan langsung dengan jama’ah NU di tingkat basis, sekaligus menentang segala upaya untuk menggunakan institusi NU untuk kepentingan politik praktis kekuasaan.
Sementara terma “NU struktural” merujuk kelompok NU—baik mereka yang berada di struktur kepengurusan atau bukan—yang getol menyuarakan dan menggunakan institusi NU untuk kepentingan politik praktis. Kubu “NU kultural” memandang keterlibatan NU dalam dunia politik kekuasaan sebagai sesuatu yang tabu sekaligus bentuk “pelanggaran institusi” ke-NU-an yang sejak 1984 menyatakan cerai dari aktivitas politik-kekuasaan.
***
Tanpa bermaksud menyudutkan kelompok “NU kultural”, tulisan ini ingin menggarisbawahi pentingnya strategi “politik kekuasaan” yang sudah lama dipraktekkan oleh NU. Memang jika kita simak sejarah sosial NU secara cermat, maka kita akan mendapatkan sejumlah fakta historis bahwa keterlibatan NU di ranah “politik-kekuasaan” bukanlah hal baru. Hal itu terjadi bahkan jauh sebelum ormas ini menjelma menjadi sebuah partai politik di tahun 1952.
Simak saja misalnya sebelum Indonesia merdeka, NU tampak sangat aktif di berbagai gerakan politik yang ditandai dengan, antara lain, bergabungnya ormas ini di MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) bahkan NU—terutama lewat KH Wahab Chasbullah dan KH Achmad Dahlan (dari Pondok Kebondalem Surabaya, bukan KH Achmad Dahlan pendiri Muhammadiyah seperti dengan ceroboh ditulis beberapa pengamat dan sejarawan) menjadi salah satu “prime mover” pembentukan MIAI. Kala itu, MIAI menjadi ormas “Pan-Islam” yang sangat penting di Tanah Air untuk memperjuangkan hak-hak kepolitikan rakyat yang “dibajak” pemerintah kolonial.
Selain itu, NU juga terlibat dalam proses pembentukan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) pada bulan Oktober 1943 yang merupakan wadah umat Islam lintas ormas yang kemudian menjadi parpol penting di era Orde Lama sebelum dibubarkan Bung Karno. Pimpinan tertinggi Masyumi bahkan diserahkan kepada Ra’is Akbar NU KH Hasyim Asy’ari. Melalui Masyumi ini, NU terlibat aktif melakukan kerja-kerja politik sebelum dan sesudah Indonesia merdeka (tentu saja ini dilakukan bersama para tokoh nasionalis dan ormas Islam lain). Tokoh NU KH Wahid Hasyim bahkan ikut merumuskan Dasar Negara dan termasuk dalam “Kelompok 9” yang membubuhkan tanda tangannya di Piagam Jakarta. Setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, KH Wahid Hasyim kemudian dipercaya oleh Soekarno untuk menjadi Menteri Agama.
Ilustrasi singkat ini menunjukkan bahwa sejak awal pembentukan ormas ini, NU sudah terlibat aktif di bidang politik-kekuasaan. NU kemudian all-out di ranah politik-kekuasaan ini terutama sejak Muktamar Palembang tahun 1952 ketika NU menjelma menjadi sebuah partai politik independen lepas dari Masyumi. NU menyatakan diri “cerai” dari Masyumi setelah merasa hak-hak kepolitikan NU tidak lagi digubris oleh elit Masyumi yang berlatar belakang modernis dan pendidikan Barat.
Ra’is ‘Am NU KH Wahab Chasbullah kala itu yang berperan sangat besar membidani proses transformasi NU dari ormas ke partai politik ini. Sejak NU berubah menjadi partai politik, NU kemudian total menceburkan diri ke dalam praktek “politik kekuasaan”. Bahkan meskipun sudah tidak lagi menjadi parpol akibat kebijakan Orde Baru yang membatasi partai politik dan mengharuskan semua parpol berbasis Islam harus bergabung ke PPP, aura kepolitikan praktis-kekuasaan terus menghinggapi tokoh NU di semua tingkatan: dari pusat sampai desa/ranting. Jadi ada dua fase selama periode “politik kekuasaan” ini, yakni tahap ketika NU menjadi partai politik (1952-1971) dan tahap ketika NU menjadi penyokong terbesar dan pendukung utama PPP (1971-1983).
Pengubahan status baru NU sebagai parpol ini menimbulkan sejumlah asumsi dan syakwasangka. Satu pihak ada yang menganggap NU ini sebagai “oportunistik” yang hanya berorientasi kekuasaan, tetapi ada juga kelompok yang berpandangan bahwa sikap NU itu merupakan wujud dari fleksibilitas politik yang mereka mainkan.
Sikap “luwes” dalam berpolitik ini ditunjukkan dengan beberapa kali NU menjadi bagian dari kekuasaan Bung Karno dan menggeser dominasi Masyumi. Sangking dekatnya dengan kekuasaan, NU berkali-kali menjadi “backer” rezim Soekarno untuk menghadang serangan parpol Islam yang memusuhinya, terutama Masyumi. Ketika kepemimpinan Soekarno didelegitimasi oleh sejumlah ormas/parpol Islam, NU kembali tampil terdepan. Pembelaan terhadap Presiden Soekarno ini diperkuat dan dipertegas pada Konferensi Alim Ulama yang diselenggarakan di Cipanas, Jawa Barat pada tahun 1954.
Konferensi di bawah Menteri Agama NU waktu itu, Kiai Masjkur, telah mengangkat Soekarno dan pemerintah sebagai “Waliyul Amri al-Dlaruri bi al-Syaukah.” Gelar ini membuat Soekarno menjadi Kepala Negara yang sah, dan oleh karenanya, ipso facto, harus dipatuhi semua umat Islam. Realitas politik di mana NU semakin kuat dan dekat dengan Bung Karno (baca kekuasaan) ini membuat Masyumi yang disokong ormas-ormas modernis Islam gusar dan meradang.
Meski NU pensiun dari parpol karena kebijakan rezim Orde Baru yang mengharuskan semua parpol berbasis Islam masuk dalam satu wadah PPP, bukan berarti elit NU pensiun dari politik praktis kekuasaan. NU—secara institusi—baru pensiun dari dunia politik praktis kekuasaan pada tahun 1984 ketika NU memutuskan diri untuk kembali ke Khittah 1926 (yakni menjadi ormas sosial keagamaan) lewat sebuah Muktamar yang digelar di Situbondo yang kemudian dipertegas di Muktamar 1989 di Krapyak, Yogyakarta. Muktamar Situbondo yang menghasilkan kepemimpinan duet KH Ahmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini telah “mengakhiri” kiprah NU di kancah politik kekuasaan dan membuka lembaran baru perjuangan lewat “politik kerakyatan.”
Meski begitu, penting untuk dicatat, meski jam’iyyah (institusi) NU menyatakan diri cerai dari dunia politik praktis bukan berarti jama’ah (warga) NU berhenti berpolitik. Banyak dari mereka yang tetap memilih berpolitik praktis baik di PPP, Golkar, PDI maupun di struktur pemerintahan Orde Baru. Meskipun juga banyak sekali yang memilih “strategi kultural” (meminjam istilah Gus Dur) berada di luar pemerintah sambil terus melakukan kritik terhadap kekuasaan.
***
Deskripsi singkat di atas menunjukkan bahwa kesejarahan NU tidak bisa dilepaskan dengan dunia “politik kekuasaan” dan karena itu susah sekali bagi NU untuk seratus persen independen sebagai ormas keagamaan dan berhenti berpolitik praktis. Kelompok “NU kultural” yang menghendaki agar NU jauh dari “politik kekuasaan” sebetulnya berlawanan dengan fakta sejarah sosial NU itu sendiri yang sangat dekat kekuasaan. Lebih lanjut, kubu “NU kultural” yang antipati terhadap pemerintah karena mengandaikan kekuasaan atau negara sebagai sesuatu yang “uncivil” tidak bisa dibenarkan mengingat di samping “uncivil states” yang memusuhi demokrasi, pluralisme, dan kebebasan, juga terdapat “civil states” yang pro kebebasan sipil, menghargai pluralitas, komitmen terhadap keadilan, dan berupaya mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Namun demikian penting untuk ditegaskan, kubu “NU struktural” yang begitu “keranjingan” terhadap kekuasaan sampai mengabaikan urusan mendasar jama’ah NU di tingkat basis (seperti problem kemiskinan, pengangguran, rendahnya kualitas pendidikan dll) juga tidak bisa dibenarkan. Apalagi dalam rangka menjalankan “politik kekuasaan” itu, para “oknum” pengurus NU rela menabrak rambu-rambu organisasi (misalnya melanggar butir-butir “Khittah 1926”) dan melawan otoritas keulamaan syuriah, khususnya Rais ‘Am sebagai pemimpin tertinggi NU.
Jelasnya, meskipun saya mengakui pentingnya strategi “politik kekuasaan” bukan berarti saya mendukung segala upaya untuk menjadikan jam’iyah NU sebagai kendaraan politik praktis. Sepanjang butir-butir “Khittah 1926” belum “diamandemen” oleh peserta muktamar, maka para pengurus NU tidak dibolehkan menggunakan institusi dan jaringan sosial NU untuk kepentingan politik praktis.
Selanjutnya, meskipun saya mendukung gerakan “NU kultural” dengan “politik kerakyatan”-nya tetapi saya mengkritik kelompok ini yang terkesan alergi terhadap kekuasaan atau antipati terhadap pemerintah padahal tidak semua elemen pemerintah itu buruk, dan kita semua membutuhkan pemerintah atau negara “sebagai partner” untuk mewujudkan “kultur citizenship”, cita-cita demokrasi, dan “civic pluralism” di negeri ini.
Akhirul kalam, NU ke depan membutuhkan kedua “strategi pemberdayaan” atau “pendekatan berpolitik” ini, yakni “politik kekuasaan” dan “politik kerakyatan”, guna mewujudkan keadilan sosial atau, dalam bahasa NU, kemaslahatan umat, baik umat NU maupun bukan.