Beranda Opinion Bahasa NU dan “Politik Kerakyatan”

NU dan “Politik Kerakyatan”

1181
0

Pada tanggal 22-27 Maret 2010, NU kembali akan menggelar hajat besar, yakni Muktamar yang akan berlangsung di Makassar, Sulawesi Selatan. Hajat yang akan digelar oleh ormas Islam terbesar di Indonesia ini tidak hanya akan memilih Ra’is ‘Am dan Ketua Umum PBNU yang baru melainkan juga membahas sejumlah agenda penting menyangkut masalah sosial-keagamaan, keumatan dan kebangsaan yang menjadi problem NU, bangsa, dan negara ini. Dalam kesempatan ini saya ingin mengusulkan agar dalam muktamar kali ini para pengurus dan aktor NU memperhatikan secara serius masalah kultural-keumatan dan menghentikan aktivitas politik praktis kekuasaan seperti yang selama ini dengan getol dilakukan oleh Ketum PBNU, H. Hazim Muzadi dan para pendukungnya.

Gara-gara ulah sejumlah tokoh NU yang bernafsu terhadap kekuasaan ini, NU menjadi kehilangan “wibawa kultural” sebagai ormas keagamaan dan agen “civil society” yang mestinya menjaga jarak terhadap kekuasaan politik agar ia bisa selalu bersikap kritis terhadap pemerintah. Pula, lantaran ulah sejumlah kiai dan ulama NU yang memiliki syahwat politik tinggi dan “mata duitan”, “kharisma tradisional” (untuk meminjam istilah Max Weber) kiai menjadi rontok di mata umat. Pesantren sebagai “lembaga pengkaderan” kaum santri pun ikut terkena getahnya. Dimana-mana terjadi pencibiran dan guyonan sarkastik tentang “kiai politik”, “kiai uang”, “ulama amplop”, “kiai proyek”, “kiai proposal”, dan masih banyak lagi. Akibat selanjutnya adalah terjadinya “krisis kepercayaan” terhadap kiai dan institusi pesantren. Kiai yang semestinya mengurusi rakyat banyak, berurusan dengan jama’ah NU di akar rumput, serta fokus pada gerakan pemberdayaan ekonomi-kultural masyarakat kemudian berubah menjadi “pelayan” politisi partai dan aparat pemerintah.

***

Oleh karena itu, ke depan, NU harus menghentikan strategi dan taktik “politik kekuasaan” untuk kemudian memikirkan secara serius masalah “politik kerakyatan” yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup komunitas NU di tingkat basis: masalah kemiskinan, problem pengangguran, rendahnya kualitas pendidikan, dan masih banyak lagi. Itu artinya bahwa NU harus kembali berpegang tegus pada Khittah 1926 yang dicetuskan pada Muktamar Situbondo tahun 1984 (yang kemudian dipertegas di Muktamar Krapyak 1989). 1984 memang telah menjadi tahun titik balik sejarah NU. Sejak itu, NU menyatakan putus hubungan dengan dunia politik praktis kekuasaan dan berkonsentrasi pada masalah-masalah sosial-kemasyarakatan dan hal-hal lain yang terkait dengan kebutuhan dasar warga NU di tingkat basis seperti pendidikan, ekonomi, dakwah dsb. Ketika NU di bawah kepemimpinan Gus Dur inilah (1984-1999), ormas ini memulai strategi berpolitik baru, yakni “kultural-kerakyatan” bukan lagi “struktural-kekuasaan”.

Strategi “politik kerakyatan” ini diprakarsai oleh sejumlah kiai/tokoh muda NU kala itu seperti KH Ahmad Shiddiq, KH Sahal Mahfudh, KH Muchit Muzadi, KH Mustafa Bisri, dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di antara mereka, Gus Dur-lah yang paling getol berkampanye memisahkan NU dari politik praktis. Sebagai Ketum PBNU, Gus Dur berbeda dengan para pendahulunya yang cenderung kompromistik dengan kekuasaan. Saat itu ia tampil  sebagai aktivis-intelektual yang kritis terhadap segala bentuk politisasi dan arogansi yang dilakukan negara.

Sejak 1984 (bahkan hingga kini), Gus Dur menjadi ikon gerakan “politik kultural-kerakyatan” di tubuh NU. Di bawah komando Gus Dur pula, NU kemudian menjelma menjadi kekuatan civil society ala Tocquevillean yang sangat kritis terhadap pemerintah/kekuasaan. Gerakan dan pemikiran Gus Dur yang anti kekuasaan waktu itu bisa jadi karena dilatari oleh fakta sejarah bahwa rezim Orba adalah prototype pemerintahan otoriter dan anti-demokrasi. Selain itu, rezim Orba telah memangkas akses politik NU (misalnya dengan menunjuk menteri agama-menteri agama yang tidak berasal dari NU). Sepanjang Orba berkuasa, NU memang menjadi salah satu ormas keislaman yang menderita karena perlakukan sang rezim di bawah komando Suharto yang sangat tidak ramah dengan NU. Meski begitu perlu untuk dicatat bahwa meskipun secara organisasi NU menyatakan “cerai” dari politik praktis-kekuasaan, sebagai sebuah jama’ah, sebagian warga NU masih aktif dalam kancah politik kekuasaan bahkan tidak sedikit yang menjadi “bamper” rezim Suharto dan bahkan rela “memusuhi” kader-kader NU yang menjadi oposan rezim Orba.

***

Strategi politik kerakyatan NU ala Gus Dur yang dulu begitu bergemuruh ini lambat laun mulai meredup seiring “lengsernya” Gus Dur dari kursi Ketum PBNU yang kemudian diganti dengan H. Hasyim Muzadi. Tidak seperti Gus Dur yang sewaktu tiga periode menjadi Ketum PBNU begitu gigih memperjuangkan “politik kerakyatan” dan getol mengkampanyekan “strategi kultural” dalam mewujudkan cita-cita ke-NU-an, H. Hasyim Muzadi tidak berselera dengan jenis politik kultural-kerakyatan semacam ini. Alih-alih memperjuangkan warga NU di tingkat basis melalui program-program pemberdayaan masyarakat atau penguatan civil society, ia justru sibuk melakukan “politik kekuasaan” dengan menjadikan institusi NU sebagai medium untuk meraup dukungan politik praktis.

Oleh H. Hasyim Muzadi dan para tokoh NU lain yang mendukung “politik kekuasaan”, butir-butir “Khittah 1926” yang diputuskan di Muktamar Situbondo yang dengan jelas menarik garis tegas NU dengan dunia politik praktis pun ditabrak atau minimal diberi tafsir baru yang memberi ruang bagi aktivitas kepolitikan. Pada era H. Hazim Muzadi inilah, wajah NU kemudian menjadi tidak jelas. Sebab secara institusi, meskipun NU bukan lagi parpol atau orpol tetapi olehnya NU digiring ke aktivitas politik kekuasaan layaknya sebuah parpol/orpol. Demi memuaskan nafsu kekuasaan ini, H. Hasyim Muzadi dan para pendukungnya tidak lagi mengindahkan tausiyah Rais ‘Am PBNU (KH MA Sahal Mahfudh) sebagai pemimpin tertinggi NU. Meskipun Kiai Sahal berkali-kali mengingatkan agar jangan menggunakan institusi NU sebagai kendaraan politik praktis, “mereka” ibarat sebuah pepatah: anjing menggonggong kafilah berlalu! Karena syahwat berpolitik praktis H. Hasyim Muzadi yang begitu besar, seringkali masalah-masalah mendasar yang dihadapi warga NU di tingkat akar rumput menjadi terbengkelai. Gerakan kelompok “NU struktural” yang begitu “keranjingan” dengan kekuasaan sampai mengabaikan urusan jama’ah NU di tingkat basis ini tentu saja tidak bisa dibenarkan. Apalagi “politik kekuasaan” itu dilakukan dengan menabrak rambu-rambu organisasi (misalnya melanggar butir-butir “Khittah 1926”) dan melawan otoritas keulamaan syuriah, khususnya Rais ‘Am. Sepanjang butir-butir “Khittah 1926” belum “diamandemen” oleh muktamirin, maka para elit NU tidak diperbolehkan menggunakan institusi NU untuk kepentingan politik praktis. Sebagai ormas, NU harus tetap menjaga jarak dengan kekuasaan agar bisa melakukan fungsi kontrol terhadap pemerintah serta menjaga eksistensinya sebagai elemen civil society yang otonom dan kritis terhadap penguasa.

Artikulli paraprakNU dan “Politik Kekuasaan”
Artikulli tjetërIslam dan Sistem Perbankan di Timur Tengah dan Indonesia
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini